Lalu secara tidak langsung, hal ini melemahkan peran gender tradisional yakni laki-laki sebagai pencari nafkah dan perempuan sebagai pengurus rumah tangga. Paradigma ini selama ini menghambat perempuan dalam memperoleh kenaikan pangkat dan upah.
Terdapat segudang fakta empiris yang membuktikan manfaat dari cuti ayah. Dari analisis 21,980 perusahaan di 91 negara oleh Peterson Institute for International Economics, ditemukan bahwa perusahaan yang memberikan cuti ayah lebih lama memiliki lebih banyak perempuan di jabatan senior. Korelasi yang sama tidak ditemukan dengan cuti bersalin tanpa cuti ayah. Di Swedia, pendapatan masa depan seorang ibu baru meningkat sebesar 7% rata-ratanya dari setiap bulan cuti ayah yang diambil pasangannya.
Oleh karena itu, meningkatkan lamanya cuti ayah bukan sekadar penyetaraan perlakuan yang bersifat simbolis, melainkan merupakan kebijakan dengan implikasi yang nyata. Namun ada syaratnya: cuti ayah harus diwajibkan. Jika tidak, pekerja laki-laki akan terlalu takut untuk menggambilnya dan hanya perempuan yang akhirnya akan bercuti pada kelahiran --- sama saja seperti di status quo.
Implementasi di Indonesia
Hal yang selanjutnya perlu diperhatikan adalah tantangan dalam implementasi cuti ayah di Indonesia. Pertama, siapa yang sebaiknya menanggung biaya dari cuti ayah? Membebankannya pada perusahaan dapat mengganggu iklim bisnis Indonesia, sedangkan kebijakan anggaran saat ini kurang memungkinkan bagi pemerintah untuk mensubsidi penuh. Alternatifnya dapat dengan melakukan pengurangan gaji (payroll deductions) dari para karyawan di perusahaan terkait untuk mendanai cuti ayah.Â
Kedua, kebijakan ini berpotensi mendapat resistensi sosial di Indonesia, dimana banyak orang berpendapat bahwa hanya perempuan yang kodratnya di rumah. Tentunya, penerapan cuti ayah sendiri tidak akan cukup untuk mengubah persepsi sosial di masyarakat terkait peran gender. Mungkin kebanyakan masyarakat Indonesia sudah merasa nyaman dengan peran suami sebagai pencari nafkah utama, namun justru karena itu kita membutuhkan kebijakan seperti ini untuk melakukan social engineering.Â
Dan jika pemerintah serius dalam menyetarakan gender di bidang ketenagakerjaan, cuti ayah harus disertai oleh kebijakan komplementer seperti fasilitas penitipan anak yang terjangkau dan kampanye sosial di media untuk menentang kepercayaan tradisional yang membatasi perempuan. Melihat kondisi sosial Indonesia, harus diakui bahwa pergeseran paradigma gender memang pasti akan sulit dan lambat. Terakhir, diperlukan juga mekanisme pengawasan agar pekerja yang mengambil cuti ayah benar-benar membantu istrinya dan tidak malah memakan gaji buta.
Sampai sekarang belum ada detail terkait implementasi cuti ayah oleh pemerintah mendatang. Ada kemungkinan bahwa kebijakan ini hanya akan diberikan untuk pegawai negeri sipil dan tidak bersifat wajib seperti yang penulis harapkan. Selain itu, perlu diingat bahwa kebijakan ini hanya akan dilakukan di Jakarta.Â
Terlepas dari berbagai keterbatasannya, usulan ini patut diapresiasi karena mendekatkan kita terhadap kesetaraan gender, setidaknya di sektor formal tertentu. Kapan lagi kita memiliki win-win solutionyang menguntungkan kedua gender? Dengan implementasi yang tepat, kebijakan ini memberikan libur untuk laki-laki, bonus untuk perempuan, dan perhatian lebih untuk sang buah hati. Memang benar kata Anies Baswedan, cuti ayah dapat menambah kebahagiaan keluarga. Hanya saja, alasannya lebih dari yang ia lontarkan.
Oleh I Gede Sthitaprajna Virananda | Ilmu Ekonomi 2016 | Staf Kajian Kanopi 2017
Referensi