Dengan kondisi seperti ini, disparitas pada tenaga kerja, khususnya dari segi keahlian, akan semakin tinggi. Pekerja yang memiliki kemampuan tinggi masih memiliki peluang kecil untuk beralih profesi, sedangkan pekerja yang berasal dari keluarga menengah ke bawah akan semakin tertinggal. Permasalahannya, mayoritas pekerja saat ini tidak memiliki kemampuan yang cukup untuk mendapatkan peluang tersebut. Akibatnya, muncul sebuah generasi yang mungkin 'tidak dapat diperkerjakan' dan tidak berpenghasilan yang dapat berakibat buruk bagi ekonomi. Muncul pertanyaan berikutnya: "Apakah ada solusinya?"
The Universal Basic Income: Satu Solusi Untuk Semua?
Dalam menghadapi generasi yang memiliki peluang tidak dapat diperkerjakan, sebuah konsep radikal bernama Universal Basic Incomepun muncul. Universal Basic Income atau UBI adalah pemberian sejumlah uang bulanan dari pemerintah kepada penduduk pada usia legal tanpa kriteria penghasilan dan ketentuan penggunaan uang tertentu.
UBI dapat menjadi solusi yang menguntungkan. Beberapa eksperimen pemberian UBI telah menunjukkan hasil yang mengesankan di beberapa negara. Di Namibia, UBI membuat rata-rata penghasilan naik hingga 29%, sekaligus menurunkan kemiskinan dari 86% menjadi 68%. Angka anak yang menderita malnutrisi pun menurun hingga 42%. Di Uganda, setelah pemerintah memberikan $400 kepada 12.000 penduduk yang berusia 16 sampai 35 tahun selama 5 tahun, penghasilan rata-rata masyarakat meningkat dua kali lipat dengan probabilitas penduduk yang dipekerjakan naik hingga 60%. Di Alaska, penerapan skema sejenis UBI sejak tahun 1992 menurunkan tingkat kemiskinan penduduk asli Amerika dari 25% menjadi 19% dalam waktu 10 tahun. Hasil positif dapat dihasilkan, karena UBI memberikan kebebasan terhadap para penerimanya untuk mengalokasikan uang sesuai prioritas masing-masing. Hal ini berlawanan dengan sistem kesejahteraan sosial yang selalu ditentukan secara agregat dan terlalu menyamaratakan kebutuhan penduduk.
Namun, bukan berarti UBI tidak memiliki kelemahan. Salah satu masalah terbesar yang mengganjal UBI adalah TheSamaritan's Dilemma. Dengan diberikan uang tanpa prasyarat apapun, muncul kekhawatiran bahwa penerima tidak akan merasa bertanggung jawab terhadap uang yang dimiliki dan menggunakan uang untuk tujuan lain. Terlebih, penerima UBI dapat terlena dengan free moneydan berbalik mematok taraf gaji yang tinggi dan malas untuk memulai pekerjaan. Namun hingga saat ini, kekhawatiran atas The Samaritan's Dilemmatersebut belum terbukti. Sebuah riset di Dauphin, Amerika Utara, pada tahun 1974 menunjukkan bahwa UBI hanya membuat penurunan jam kerja berkisar antara 1% sampai 5%. Percobaan lain oleh Bank Dunia juga menunjukkan bahwa dari 82% riset di Afrika, Latin Amerika dan Asia, UBI berhasil menurunkan konsumsi masyarakat terhadap alkohol dan rokok.
Oleh karena itu, Universal Basic Income merupakan solusi yang harus dipertimbangkan sebagai solusi ampuh dalam menanggulangi disparitas kerja yang diakibatkan oleh Industry 4.0. Namun, dampak dari Samaritan's Dilemmatetap harus diperhatikan dalam menentukan kapan UBI mulai diterapkan. Jika UBI diberikan terlalu cepat, atau pada saat negara masih memiliki capitalisation effect yang tinggi, maka UBI hanya akan membuat para pekerja kehilangan produktivitas dan kesempatan untuk meningkatkan standar hidup. Diperlukan persiapan menyeluruh bagi sebuah negara sebelum akhirnya menjalankan UBI, mulai dari kesiapan masyarakat, anggaran hingga waktu.
Oleh Safira Majory & Putra Prima Raka | Kanopi FEB Universitas Indonesia
Referensi:
Schwab, Klaus (2016). The Fourth Industrial Revolution, Switzerland: World Economic Forum
Bregman, Rutger (2016). Utopia for Realist: The case for a Universal Basic Income, Open Borders, and a 15-hour Workweek Germany: The Correspondent
Hardy, Q., 2015. The New York Times: At Kodak, Clinging to a Future Beyond Film.[Online]
Available at: https://www.nytimes.com/2015/03/22/business/at-kodak-clinging-to-a-future-beyond-film.html
[Accessed 25 August 2017].