Apabila kita berbicara mengenai fluktuasi kehidupan, maka makna yang terkandung dalam frasa tersebut sejatinya tidak hanya merujuk kepada kehidupan individu secara individual, namun juga dapat diartikan sebagai fluktuasi kehidupan kelompok secara kolektif. Berangkat dari pernyataan diatas, kita dapat melihat contoh nyata atas suatu fluktuasi yang telah diprediksikan dan dianalisis menggunakan berbagai indikator sedang berada di titik maksimum-nya dan akan segera mengalami penurunan, yaitu kekuasaan negara-negara barat di dalam hampir segala bidang, termasuk ekonomi.
Negara-negara “barat” telah bercokol di atas tampuk kepemimpinan perekonomian dunia selama berabad-abad lamanya apabila dilihat dari berbagai aspek. Salah satu contohnya adalah bahwa pada data World Bank bulan februari 2017, Amerika Serikat kokoh menyumbang 24,3% dari total PDB dunia.
Namun, karena adanya hukum diminishing return yang berlaku secara umum dikalangan ekonom, cepat atau lambat suatu pergeseran kekuasaan diprediksi akan terjadi. Negara-negara yang diprediksikan untuk menggantikan mereka apabila dilihat dari angka-angka di dalam tabel-tabel dan grafik-grafik yang relevan dan juga kinerja pihak-pihak terkait secara riil, adalah negara-negara Asia.
Dari abstraksi diatas, terbentuklah suatu terminologi yang bernama The Asian Century, suatu kondisi dimana negara-negara Asia menggeser negara-negara Barat sebagai pemimpin di berbagai bidang, termasuk ekonomi. Terminologi tersebut telah hangat diperbincangkan dikalangan para pemerhati ekonomi selama beberapa tahun belakangan ini.
Beberapa diantara pemicunya adalah pertumbuhan GDP riil negara-negara di Asia yang cenderung pesat berada di kisaran 6-7% (beberapa diantara mereka seperti Cina dan Mongolia bahkan pernah mencapai dua digit), dan juga tingginya promised return dari investasi di negara-negara Asia yang juga didukung oleh sikap yang sangat welcome terhadap invetasi asing oleh beberapa negara Asia tersebut seperti India dan Singapura.
Asian Development Bank (ADB) bahkan memproyeksikan bahwa pada tahun 2050, 51% PDB dunia akan berasal dari negara-negara Asia. Selain itu, standar hidup warga negara-negara Asia di masa tersebut akan menyamai standar hidup warga negara-negara Eropa saat ini.
Namun, realita yang ada menunjukan bahwa terealisasikannya Asian Century memiliki beberapa hambatan. Hal-hal yang berkaitan dengan kondisi makroekonomi dan politik global yang akan dijelaskan oleh penulis dibawah adalah beberapa dari hambatan dari terealisasinya The Asian Century, yaitu;
Berkurangnya Peluang Pemanfaatan Globalisasi dari Sudut Pandang Ekonomi
Pemanfaatan globalisasi bagi perusahaan-perusahaan besar dari negara-negara Barat dalam mencari tempat termurah untuk melakukan produksi (global sourcing) hampir mencapai titik maksimumnya. Saat ini, hampir seluruh negara yang mumpuni di kawasan Asia telah dimanfaatkan untuk melakukan hal tersebut, sehingga lahan untuk melakukan produksi di kawasan tersebut yang dihitung sebagai invetasi asing telah menyempit.
Selain itu, pembangunan infrastruktur di sebagian kawasan Asia yang semakin hari semakin komplit membuat lahan untuk melakukan invetasi menjadi semakin sempit. Dua hal tersebut berdampak langsung terhadap terhambatnya alur invetasi swasta baik asing maupun domestik yang berpengaruh terhadap pertumbuhan PDB negara-negara di kawasan Asia tersebut.
Melemahnya sektor invetasi di kawasan Asia, (dan beberapa faktor lainnya) telah mendukung perlambatan pertumbuhan ekonomi Cina yang berdampak sangat besar secara negatif terhadap negara-negara di dunia, beberapa diantaranya merupakan negara di kawasan Asia, yang memiliki ketergantungan ekspor terhadap negara tersebut.
Selain itu, alur ekspor negara-negara Asia ke negara-negara “barat” juga telah terdisrupsi dikarenakan adanya kejenuhan dari negara-negara tersebut terhadap ekspor Asia, ditambah lagi dengan fakta bahwa belum stabilnya perekonomian kawasan Eropa sejak krisis 2008 yang mengakibatkan permintaan ekspor dari kawasan tersebut menjadi semakin terbatas.
Stabilitas Pertahanan Kawasan Asia yang Rentan
Terdapat 6 negara di kawasan Asia yang memiliki senjata pemusnah massal berjenis bom nuklir, yaitu: Cina, Rusia, Iran, India, Pakistan, dan Korea Utara. Permasalahannya, negara-negara tersebut dapat dikatakan memiliki “temperamen” yang cukup meresahkan bagi stabilitas kawasan tersebut. Salah satu ancaman yang aktual datang dari Korea Utara yang diketahui tidak menginginkan adanya intervensi berbentuk pemberhentian dari program long-range missiles-nya dari pihak manapun. Ini mengakibatkan hubungannya dengan Cina, yang melihat program tersebut sebagai sebuah ancaman dan berusaha memberikan larangan, menjadi terganggu dengan adanya larangan impor komoditas batu bara dari Korea Utara.
Amerika Serikat dalam masalah ini juga telah mengambil langkah diplomatis terhadap Cina untuk menekan Korea Utara menghentikan program nuklir-nya, yang sampai sekarang belum ditindak-lanjuti oleh Cina yang masih menimbang baik buruk pengambilan langkah tersebut, dimana Korea Utara sejatinya adalah salah satu partner dari Cina. Meskipun begitu, Amerika Serikat melalui kepemimpinan Donald Trump telah mengkonsiderasi masalah Korea Utara sebagai hal yang seriussehingga ia berjanji akan menekan Korea Utara sendirian apabila Cina tidak mau mengambil langkah yang riil dalam waktu dekat ini.
Ketidakstabilan yang menimbulkan ancaman konflik di kawasan Asia ini telah menjadi hambatan tersendiri untuk mencapai kepemimpinan Asia.
Kebijakan Perekonomian Amerika Serikat
Perekonomian Amerika Serikat diprediksi akan merugikan banyak negara setelah adanya kebijakan-kebijakan bersifat proteksionis yang menyebabkan hilangnya market bagi beberapa kawasan, termasuk Asia. Amerika Serikat telah menjadi ancaman yang nyata terhadap terealisasinya Asian Century karena akan menjadi semakin sulit untuk negara-negara Asia untuk berkembang dan melawan dominasi negara adidaya tersebut. Adanya trade war antara Amerika Serikat dengan Cina dimana impor dari Cina akan dikenakan tarif 45% sehingga dikalkulasikan akan mengambil 4,8% dari PDB Cina saat ini juga menjadi salah satu faktor yang merugikan, dimana hal tersebut akan menyebabkan slowdown di negara tersebut menjadi semakin parah.
Naiknya suku bunga bank sentral Amerika Serikat yaitu The Fed dari 0,75% ke 1% juga menjadi sinyal akan berpindahnya aliran invetasi ke negara tersebut yang akan membuat perekonomiannya dan juga mata uang dollar menjadi semakin kuat dan di sisi lain menekan negara-negara lainnya, termasuk negara-negara di kawasan Asia.
Asian Century, Sebuah Tantangan Untuk Direalisasikan
Bagaimanapun juga, telah menjadi sebuah tantangan untuk para pemimpin bangsa di kawasan ini, termasuk Indonesia, untuk bertindak. Peran pemerintah selain untuk mencari alternatif lain untuk mengambil keuntungan dalam perdagangan, pastinya adalah untuk memberikan augmentasi kepada calon pekerja dan pemimpin bangsa di masa depan untuk meningkatkan kompetensinya, salah satu cara yang paling nyata untuk melakukan ini adalah pendidikan. Selain itu, inefisiensi dan kecurangan di dalam tubuh pemerintahan juga menjadi hal yang mutlak untuk dihentikan agar dapat mengurangi berbagai biaya yang tidak diperlukan.
Sebuah wacana akan selamanya hanya menjadi wacana apabila tidak disertai oleh langkah-langkah konkrit untuk mewujudkannya, begitu juga dengan wacana akan The Great Asian Century. Langkah-langkah yang mengharuskan adanya kompetensi ilmiah yang mumpuni antar generasi yang juga diintegrasikan dengan tingkat kreativitas yang dapat melahirkan inovasi di masa depan haruslah diambil untuk menaklukan hambatan-hambatan yang ada. Indonesia sebagai bagian dari kawasan Asia juga patut mempersiapkan diri menghadapi hal tersebut. Sejatinya, sebuah momentum pertumbuhan telah tersaji dengan matang di depan mata, yang tersisa hanyalah bagaimana kita memanfaatkan momentum tersebut.
Oleh Fadli Jihad DS | Staff Divisi Kajian Kanopi 2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H