Mohon tunggu...
Kanopi FEBUI
Kanopi FEBUI Mohon Tunggu... Jurnalis - Himpunan Mahasiswa Ilmu Ekonomi FEB UI

Kanopi FEBUI adalah organisasi yang mengkhususkan diri pada kajian, diskusi, serta penelitian, dan mengambil topik pada permasalahan ekonomi dan sosial di Indonesia secara makro. Selain itu, Kanopi FEBUI juga memiliki fungsi sebagai himpunan mahasiswa untuk mahasiswa program studi S1 Ilmu Ekonomi dimana seluruh mahasiswa ilmu ekonomi merupakan anggota Kanopi FEBUI.

Selanjutnya

Tutup

Money

USA: Unequal State of America

6 Desember 2016   19:46 Diperbarui: 6 Desember 2016   19:52 122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Pada saat Donald Trump terpilih sebagai Presiden ke-45 Amerika Serikat (AS) yang berasal dari Partai Republik pada pemilihan presiden 2016. Ia mengalahkan calon dari Partai Demokrat, Hillary Clinton. Tentunya banyak dari kita terutama orang Indonesia yang mayoritas beragam muslim sangat kecewa dan takut akan berita ini. Namun, sebagian banyak dari warga AS memang sudah memprediksikan dan menginginkan kemenangan Trump sebagai Presiden AS, ditambah sepanjang sejarah AS belum pernah dipimpin oleh Presiden perempuan. Di sini penulis ingin menuliskan pendapatannya tentang hal apa yang mendorong kemenangan dari seorang pengusaha properti. Penulis juga tidak mendukung siapa pun yang mencalonkan diri sebagai calon Presiden AS.

Dari hasil pemilihan yang sudah sering dimuat dalam surat kabar, dan media lainnya menujukan bahwa memang seperti di gambar di sisi kiri ini di mana persentase pemilih atau jumlah individu yang memilih Hillary lebih besar yang menunjukkan Hillary lebih populer dibandingkan Trump. Akan tetapi, meski warga AS menunjuk calon presiden Hillary Clinton atau Donald J. Trump pada  kertas suara mereka namun, sesungguhnya yang mereka tunjuk adalah anggota Electoral College (lembaga pemilih presiden)[1]

Sistem Electoral College artinya adalah setiap warga negara AS yang dipilih dewan pimpinan partai di tingkat negara bagian yang menjadi perwakilan daerahnya untuk memberikan hak suara dalam memilih presiden.Electoral college yang memiliki electoral votes (suara pemilih pemilu) yang tersebar ke dalam 50 negara bagian ditambah Washington, DC. Lantas untuk memenangi pemilu, calon presiden AS harus mendapatkan minimal 270 dari 538 electoral votes. Setiap negara bagian memiliki jatah electoral votes yang berbeda, yang mana ditentukan oleh banyaknya alokasi kursi Senat dan DPR yang dimiliki tiap-tiap negara bagian. Sedangkan alokasi kursi Senat dan DPR ini ditentukan oleh jumlah populasi penduduk di daerah tersebut. Rumit memang namun, menurut saya cara ini adil karena 270 electoral votes setara dengan 50.19% yang cukup menggambarkan harapan masyarakat AS.

Banyak dari kita bisa menebak dari janji Trump pada saat kampanye, seperti kebijakan anti imigrasi, mengetatkan pendatang masuk ke AS, mendeportasi imigran gelap, dan membangun “tembok” di perbatasan antara AS dan Meksiko sudah pasti sangat disambut baik dengan warga negara AS berkulit putih (58% memilih Trump sebagai Presiden AS[2]) yang mendambakan motto dalam kampanye Trump terwujud yaitu, “Make America Great Again”, yang berarti buatlah Amerika kembali hebat. Akan tetapi, jika kita tilik lebih dalam lagi ada dalam peta di atas mungkin banyak dari kita lupa dan tidak sadar bahwa ada 8% orang AS beras hitam, 29% orang AS keturunan Hispanik, dan 29% orang AS keturunan Asia yang juga memilih Trump sebagai bakal Presiden mereka[3]. Angka pendukung Partai Republikan dari ras Hispanik naik 2% dibandingkan pada saat pemilihan kandidat Mitt Romney pada tahun 2012 silam.

Pada tabel di samping ini kita dapat mengetahui bahwa kemenangan Trump diraih di daerah rural (pedesaan)AS yang sebagian besar masyarakatnya adalah yang lebih berusia, berpendatan dan berpendidikan lebih rendah dibandingkan mereka yang tinggal di kota metropolitan. Kemenangan Trump juga di dorong dari besarnya pertumbuhan sektor keuangan yang mana tidak disadarai hanya memperoleh keuntungan yang besar namun, tidak menciptakan lapangan pekerjaan bagi mereka yang berpendidikan rendah sehingga banyak dari penduduk AS yang tidak bisa mengakses harus gigit jari atau menganggur. Harus kita sadari juga bahwa pesatnya pertumbuhan sektor finansial lebih menguntungkan “The 1%” yang menguasai 99% kekayaan penduduk dunia[4].

Setelah krisis keuangan global pada 2009 dan AS terkena dampak paling signifikan. Ketimpangan juga bertambah tajam di AS, di mana pendapatan semakin jumplang dan semakin menghilangnya kelas dengan pendapatan menengah. Orang yang masuk dalam kelas pendapatan menengah adalah mereka yang jika masih sendiri adalah minimumnya sebesar $24,173 kemudian, jika beranggotakan dua orang adalah sebesar $34,186; keluarga dengan 1 anak sebesar $41,869; keluarga dengan dua anak adalah $48,347; dan keluarga dengan 3 anak sebesar $54,053. Pada grafik ini dapat dilihat bahwa pendapatan rumah tangga pada tahun 1971 dalam kurva garis berwarna biru sementara apa yang terjadi pada tahun 2014 ke tahun 2015 terlihat dalam grafik batang berwarna merah muda. Maka sangat terlihat bahwa kelas dengan pendapatan $200K+ naik hampir 70% dan mereka yang berpendapatan $0k sekitar 20% sepanjang lebih dari 4 dekade. Menjadikan AS sebagai negara terkaya dengan tingkat kesenjangan tertinggi yang terlihat bahwa indeks gini (ukuran ketimpangan di mana 0 adalah kesetaraan sempurna dan 1 berarti ketimpangan sempurna di mana satu orang memiliki semua kekayaan) menunjukkan angka 0.856 pada tahun 2015[5].

Penyebab dari kondisi ini sering dikaitkan dengan globalisasi dan terlalu bebasnya perjanjian perdagangan yang diduga hanya menguntungkan perusahaan besar dan sektor tertentu juga, termasuk mereka yang pendatang, termasuk pekerja ilegal yang banyak, yang mengambil alih pekerjaan orang AS[6]. Bahkan pada saat ini generasi muda yang ingin bekerja setelah tamat SMA atau mereka yang jika lulus dengan tingkat pendidikan segitu sudah terjamin mendapat pekerjaan dan sekarang menjadi sangat sulit dan tidak semua berkesempatan mendapatkan pekerjaan sementara cicilan dan hutang pendidikan mereka sangat besar. Jika mengatakan seluruhnya sudah menjadi keputusan pasar dalam mengeliminasi mereka yang memang lebih tidak mampu bersaing dengan yang lainnya; maka dari itu middle class yang sudah pindah menjadi lower class;yang sudah memiliki pemikiran bahwa AS membutuhkan figur yang bisa menjawab kekhawatiran dan isu yang semakin menyebar di AS yang menjajikan perubahan, tegas, dan melakukan aksi yang kongkret. Maka dari itu kampanye Trump yang bersifat membidik golongan masyarakat yang “murka” dan “khawatir” akan kondisi meningkatnya pengangguran yang ditunjukan dari , gaji yang masih stagnan dengan kebutuhan yang semakin mahal.

Seharusnya, akal sehat dari seorang yang terpelajar bukanlah dengan membangun tembok dan dengan menutup diri dari perdagangan global. Di sinilah human capital dari setiap individu harus lebih dikembangkan dan jika memang ingin mengurangi jumlah ketimpangan pendapatan antara “the 1%” dengan the 99% sisanya, maka jumlah sektor finansial harus dibatasi bukan dihilangkan atau pemerintah bisa menciptakan keuangan yang inklusif yang terutama wajib dapat diakses masyarakat kelas bawah. Kemudian, bagi pemilik modal untuk mengalokasikan dananya untuk membangun direct investment dibandingkan dengan mengucurkan hot money karena dengan demikian maka akan lebih banyak peluang bekerja bagi mereka yang hanya terampil dengan tingkat pendidikan yang rendah. Ditambah perlu kita ketahui, berdasarkan thesis dari Thomas Picketty, Ekonom Prancis, dalam bukunya yang berjudul “Capital in the Twenty-First Century” mengatakan bahwa jika r (pertumbuhan kembali dari aset finansial) > g (pertumbuhan pendapatan) maka kesenjangan pendapatan dan kekayaan akan semakin meluas. Selain itu juga dibutuhkan intervensi dari pemerintah dalam membuat peraturan penanaman modal hot money, foreign investment, danjuga dapat mendongkrak perkembangan teknologi yang bisa diakses oleh semua masyarakat AS. Maka dari itu kemenangan dari Trump jangan langsung ditanggapi dengan sikap sinis karena kita tidak tinggal di AS sehingga tidak mengetahui sepenuhnya kondisi disana.

Oleh: Semitta Bungamega | Ilmu Ekonomi 2015 | Staf Kajian Kanopi 2016

--

Referensi:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun