Pada kasus Venezuela, kehancuran harga minyak menyebabkan perekonomiannya ikut terseret karena tidak ada satupun industri yang mampu menopang perekonomian. Sebagai gambaran, saat ini ekspor minyak memegang peranan atas setengah GDP Venezuela. Jika sektor yang berkontribusi terhadap setengah dari GDP terkena masalah, jangan terkejut melihat perekonomian Venezuela ikut terseret dan terkena masalah yang sangat menghawatirkan.
Di sisi lain, Norwegia juga terindikasi terkena “Dutch Disease” mengingat kontribusi ekspornya yang cukup besar (34% dari total GDP). Namun, ketergantungan yang relatif lebih rendah menyebabkan dampak turunnya harga minyak tidak terlalu berpengaruh bagi perekonomian. Ketika harga minyak masih tinggi, pemerintah Norwegia berhasil memanfaatkan monmentum tersebut untuk mendorong pertumbuhan sektor lainnya, seperti industri alumunium, perikanan, dan kesehatan. Dampaknya, ketika harga minyak anjlok, Norwegia masih memiliki sektor lain yang dapat diandalkan.
Indonesia: Next Venezuela, atau Next Norway?
Dengan melihat kasus dari dua negara tersebut, pertanyaan yang jauh lebih krusial muncul, yakni “Bagaimana prospeknya untuk Indonesia; akan menjadi Venezuela atau Norwegia yang baru?”
Berdasarkan komposisi ekspornya, saat ini komoditas yang menjadi tulang punggung ekspor Indonesia adalah batubara (10% dari total ekspor; 2,5% dari GDP) dan crude palm oil(8,9% dari total ekspor; 2,3% dari GDP). Melihat angka ini, terlihat bahwa tidak ada satu sektor yang menjadi tumpuan utama. Akan tetapi, patut dicermati bahwa 5 hasil ekspor utama Indonesia adalah barang yang sifatnya ekstraktif dan jumlahnya terbatas[9]. Implikasinya, tetap ada risiko fluktuasi harga yang dapat memengaruhi perekonomian Indonesia.
Kualitas institusi politik di Indonesia juga berperan penting menentukan apakah Indonesia terkena Commodity Curse.Meskipun tidak seburuk Venezuela, indikator peringkat antikorupsi dan demokrasi Indonesia (masing-masing ke-77 dan ke-60)[10] tidak bisa dibilang membanggakan. Belajar dari kasus Norwegia, tingginya kualitas institusi politik (Peringkat 5 untuk antikorupsi dan 7 untuk demokrasi) merupakan faktor penting untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.
Selain kedua hal tersebut, kontribusi sektor manufaktur di Indonesia juga menunjukkan tren yang menurun. Padahal, tulang punggung dalam perekonomian seharusnya ada di sektor manufaktur. Oleh karena itu, selain melakukan perbaikan di institusi politik, pemerintah harus mendorong pertumbuhan sektor manufaktur yang selama ini ditinggalkan. Jika kedua hal ini dapat dilakukan, perekonomian Indonesia akan melaju dengan cepat dan menjauh dari Commodity Curse; Jika tidak, berdoalah semoga Indonesia tidak menjadi Venezuela 2.0.
Oleh: Fandy Rahardi | Kepala Divisi Kajian Kanopi 2016 | Ilmu Ekonomi 2014
--
Referensi: