Arab Saudi kian menjadi sorotan semenjak disetujuinya draft reformasi ekonomi oleh kabinet negara tersebut pada April 2016 lalu. Kebijakan reformasi yang diberi nama Visi 2030 ini berisi sejumlah perombakan kebijakan dalam bidang perekonomian yang bertujuan untuk mencapai diversifikasi ekonomi. Target jangka panjang dari Visi 2030 ini adalah mengurangi ketergantungan Arab Saudi pada sektor minyak bumi sebagai basis penerimaan negara. Visi 2030 dielaborasi dalam sebuah dokumen bernama National Transformation Plans (NTP). NTP memuat target detail yang harus dicapai oleh setiap kementerian, agar pada tahun 2030 seluruh agenda restrukturisasi perekonomian yang dikomandoi oleh Pangeran Mohammad bin Salman tersebut dapat berhasil.
Visi 2030 ini berawal dari hasil konsultasi dengan IMF dan laporan dari McKinsey. IMF dalam Press Release-nya menuliskan bahwa lembaga tersebut mendukung adanya reformasi struktur fiskal Arab Saudi dengan memotong pengeluaran untuk subisidi dan meningkatkan peran sektor swasta. Sementara itu, McKinsey dalam laporannya yang berjudul The Investment and Productivity Transformation pada Desember 2015, menyoroti bahwa Arab Saudi yang telah menikmati kemakmuran karena tingginya harga minyak (oil boom) selama satu dekade (2003-2013), kini harus mulai memikirkan sebuah transisi yang berfokus pada investasi, produktivitas, dan manajemen kebijakan fiskal. Tiga hal itu, menurut McKinsey, menjadi kunci utama bagi Arab Saudi untuk dapat keluar dari ketergantungan pada minyak bumi.
Meninjau Urgensi Reformasi
Pasca berakhirnya periode oil boom, Arab Saudi dihadapkan pada dua tantangan besar. Tantangan pertama berkaitan dengan minyak yang menjadi jantung perekonomian negara tersebut. Arab Saudi adalah negara yang memiliki ketergantungan pada hasil minyak bumi sebagai sumber penerimaan negara. Sektor minyak bumi menyumbang 70% pendapatan negara yang memiliki cadangan minyak sebesar 268 miliar barel (Gbbl) atau yang terbesar di dunia. Sayangnya, kejayaan minyak yang telah mengangkat ekonomi kerajaan itu belakangan mulai surut sehingga mereka mengalami defsit besar-besaran. Hal tersebut terjadi karena penurunan harga minyak dunia, yang pada 2014 berada pada kisaran US$ 100 per barel, namun saat ini hanya US$ 40 per barel. Akibatnya, Defisit anggaran Arab Saudi melebar dari 3,14% dari total GDP pada 2014 menjadi 16,3% dari total GDP pada 2016.
Tantangan kedua adalah persoalan demografi. Saat ini, lebih dari 50% populasi Arab Saudi berusia di bawah 25 tahun. McKinsey memperikirakan dengan profil demografi ini, setidaknya terdapat 4,5 juta angkatan kerja baru pada pasar tenaga kerja tahun 2030. Pertumbuhan penduduk yang sangat signifikan ini memaksa Arab Saudi harus dapat menyerap tenaga kerja tiga kali lebih besar dari masa oil boom2003-2013.
Sementara itu, di Arab Saudi, sektor yang paling banyak menyerap tenaga kerja adalah sektor pemerintahan atau pegawai negeri. Lebih dari 70% tenaga kerja di Arab Saudi bekerja sebagai pegawai pemerintah, khususnya pada perusahaan minyak. Artinya, jika bertahan dengan kebijakan ekonomi saat ini, beban fiskal negara tersebut tentu akan semakin besar. Beban fiskal yang semakin membengkak juga menjadi ancaman mengingat akan semakin banyaknya penduduk berusia lanjut yang membutuhkan dana pensiun serta layanan kesehatan pada tahun 2030.
Apa Saja Reformasi yang dilakukan?
Untuk mendiversifikasi basis penerimaan, Arab Saudi memperkenalkan pajak pertambahan nilai seperti pada minuman bersoda. Selain itu, pajak pendapatan yang lebih besar juga dikenakan kepada para pekerja yang berasal dari luar Arab Saudi. Kebijakan yang tidak kalah kontroversial adalah memanfaatkan monopoli sebagai ‘tanah suci’ dengan menarik keuntungan langsung sebesar US$512 dari biaya pengurusan setiap visa haji dan umrah.
Kebijakan yang paling mendapat sorotan dari berbagai pihak adalah soal privatisasi sejumlah perusahaan nasional. Termasuk diantaranya adalah penjualan saham Aramco, salah satu perusahaan produsen minyak terbesar di dunia sekaligus perusahaan minyak paling berpengaruh di dunia, yang menguasai 13% pasar global. Sebanyak 5% dari saham Aramco akan ditawarkan pada investor domestik dan asing. Valuasi pasar dari penjualan saham ini diperkirakan akan mencapai US$2 Triliun atau setara dengan 11% GDP Amerika Serikat.
Sementara itu, untuk memacu meningkatnya jumlah penyerapan tenaga kerja dan menyikapi ancaman pengangguran, Arab Saudi mulai membuka peluang investasi pihak swasta secara besar-besaran. Sebab, berdasarkan laporan McKinsey, jika Arab Saudi ingin menciptakan enam juta lapangan kerja baru pada tahun 2030, negara tersebut membutuhkan investasi sebesar US$ 4 Triliun yang berasal dari sektor nonminyak. Adapun sektor yang menjadi sasaran adalah pertambangan dan metal, petrokimia, manufaktur, perdagangan retail dan grosir, pariwisata, pelayanan kesehatan, keuangan, dan konstruksi.
Pada umumnya, kebijakan yang termuat di dalam Visi 2030 bukanlah kebijakan baru. Negara-negara tetangga seperti Bahrain, Qatar, Kuwait, dan UAE telah lebih dulu menerapkan ‘Visi 2030’ versi mereka. Hanya saja, menurut sejumlah analis, kebijakan reformasi ekonomi Arab Saudi kali ini sedikit berbeda karena akan mencoret image negara tersebut sebagai negara yang ‘dermawan’. Pasalnya, sejumlah kebijakan yang akan diterapkan memiliki kesan terlalu berambisi untuk menyelamatkan kondisi fiskal sehingga mengorbankan pengeluaran pemerintah untuk sektor publik.
Sebagai gambaran, pemerintah Arab Saudi akan memotong subsidi untuk bensin, listrik dan air hingga 200 Miliar Riyal. Hal ini cukup kontras dengan tradisi kebijakan Arab Saudi sebelumnya. Padahal, sejarah mencatat, pada tahun 1992 Arab Saudi  berhasil mewujudkan swasembada gandum akibat diberikannya subisidi air kepada petani.
Apa Dampak Bagi Saudi dan Timur Tengah?
Bagi Arab Saudi, rumusan kebijakan ini menjadi agenda mutlak yang harus dicapai dan dikelola dengan serius. Sebab, jika target ini berhasil, Arab Saudi akan menikmati kesuksesan ekonomi yang lebih sustainable. Dalam 15 tahun ke depan, GDP negara tersebut dapat meningkat hingga US$ 800 Miliar. Selain itu, pendapatan rumah tangga juga akan meningkat hingga 60%. Terciptanya 6 juta lapangan kerja baru, turunnya angka pengangguran hinga 7%, dan meningkatnya basis peneriman dari sektor nonminyak hingga 70% merupakan sejumlah kesuksesan yang ditawarkan jika skenario dalam Visi 2030 tersebut berjalan dengan baik.
Penawaran perdana saham Aramco juga akan mempercepat tumbuhnya penerimaan, meningkatkan transparansi dan efisiensi, serta mempermudah ekspansi internasional perusahaan tersebut. Selain itu, rencananya, penerimaan bunga dari penjualan saham Aramco akan dialokasikan pada Public Investment Fund (PIF), yakni alokasi dana dari hasil sektor minyak bumi untuk kepentingan generasi yang akan datang. PIF diproyeksikan akan meningkat dari 600 Miliar Riyal menjadi 7 Triliun Riyal (US$1,84 Triliun).
Di lain sisi, kebijakan reformasi ekonomi Arab Saudi ini justru membuat dunia Timur Tengah ketar-ketir. Berdasarkan data Departemen Statistik dan Informasi setempat, Arab Saudi menampung sekitar 10,4 juta pekerja migran. 75% diantaranya berasal dari India, Pakistan, Bangladesh, Mesir, dan Filipina. Mesir sendiri bahkan memiliki 2 juta pekerja migran di Arab Saudi. Pengurangan pada permintaan tenaga kerja asing akan menimbulkan dua masalah utama. Pertama, hal ini akan memaksa para ekspatriat untuk kembali ke tanah air mereka dan berdampak pada meningkatnya jumlah pengangguran di negara tersebut. Hal ini pernah terjadi ketika sekitar satu juta pekerja Mesir yang bekerja di Libya kembali ke negaranya akibat konflik berkepanjangan di Libya sehingga memperburuk kondisi pengangguran di Mesir saat itu.
Masalah kedua pun tidak kalah serius. Pekerja migran adalah salah satu sumber devisa terbesar bagi negara-negara tersebut. Artinya, penurunan permintaan tenaga kerja asing di Arab Saudi akan mengancam aliran remitansi pada negara pengirim. Sebagai gambaran, Mesir adalah negara yang menempatkan remitansi pekerja migran sebagai sumber cadangan devisa utama. Pendapatan dari pekerja migran menyumbang 7% bagi GDP negara tersebut. Maka, jika Arab Saudi sukses mewujudkan agenda reformasi mereka, hal tersebut benar-benar akan menjadi ancaman serius bagi perekonomian Mesir.
Tidak dapat dimungkiri bahwa diversifikasi ekonomi merupakan sebuah langkah maju yang berdampak baik bagi kelangsungan perekonomian di masa depan. Hal yang patut diapresiasi ini justru dihujani sinisme dan keraguan dari masyarakat global. Arab Saudi dinilai tidak akan mampu menyudahi ‘bulan madu’ dengan minyak bumi seperti yang dilakukan sejumlah negara tetangganya. Keberhasilan diversifikasi ekonomi yang dilakukan UAE dan Kuwait dinilai sulit untuk diwujudkan di Arab Saudi mengingat adanya perbedaan kompleksitas permasalahan yang dimiliki negara tersebut, seperti ideologi, kemajemukan, dan birokrasi. Selain itu, agenda reformasi ini juga akan memicu kesulitan ekonomi regional yang mengancam Timur Tengah menjadi semakin tidak menentu.
Jika kita melihat lebih dekat agenda yang tercantum pada NTP, maka tidak salah bila banyak pihak yang meyakini upaya reformasi ini tidak akan mencapai banyak hal. Pasalnya, dokumen dengan tebal lebih dari 100 halaman tersebut tidak menyentuh persoalan Arab Saudi yang paling mendasar, yakni pengembangan human capital.
Terlebih lagi, statistik mencatat bahwa ekonomi tidak tumbuh dengan perencanaan yang kompleks. Akan tetapi, ekonomi tumbuh lewat ide-ide radikal, institusi yang baik, dan membiarkan pasar bekerja dengan caranya. Kunci utamanya adalah perencanaan yang sederhana, sebab yang lebih penting adalah mewujudkan lingkungan yang mendukung dan kebebasan yang menjadikan pertumbuhan itu nyata.
Oleh: Zihaul Abdi | Ilmu Ekonomi 2016 | Trainee Divisi Kajian KANOPI
--
Referensi:
Ezzeldin, Ahmad. (27 Oktober 2016). Saudi Reform Could Shake The Middle EastDikases Dari http://www.fairobserver.com/region/middle_east_north_africa/economic-reform-saudi-arabia-middle-east-security-20301/
Grennes, Thomas. (15 Juni 2016). The Saudi Arabia Oil Shock: Crisis and Opportunity for Economic Reform.Diakses dari
International Monetary Fund. (8 Juni 2016). Learning to Live with Cheaper Oil:  Policy Adjustment in MENA and CCA Oil-ExportingCountries. Diakses dari    http://www.imf.org/external/pubs/ft/dp/2016/mcd1603.pdf
International Monetary Fund. (13 Oktober 2016). Saudi Arabia: 2016 Article IV Â Â Consultation-Press Release; Staff Report; and Informational Annex. Diakses dari
http://www.imf.org/external/pubs/ft/scr/2016/cr16326.pdf
McKinsey Global Institute. (Desember 2015). SAUDI ARABIA BEYOND OIL: THE INVESTMENT AND PRODUCTIVITY TRANSFORMATION.Diakses dari
file:///C:/Users/w10/Downloads/MGI%20Saudi%20Arabia_Executive%20summ     ary_Dec     ember%202015%20(1).pdf
Nakhle, Carole. (23 Juni 2016). Saudi Arabia’s economic reform. Diakses dari
    http://www.crystolenergy.com/saudi-arabias-economic-reform/
http://www.saudi-expatriates.com/2015/05/foreign-workers-population-in-ksa.html
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H