Mohon tunggu...
Kanopi FEBUI
Kanopi FEBUI Mohon Tunggu... Jurnalis - Himpunan Mahasiswa Ilmu Ekonomi FEB UI

Kanopi FEBUI adalah organisasi yang mengkhususkan diri pada kajian, diskusi, serta penelitian, dan mengambil topik pada permasalahan ekonomi dan sosial di Indonesia secara makro. Selain itu, Kanopi FEBUI juga memiliki fungsi sebagai himpunan mahasiswa untuk mahasiswa program studi S1 Ilmu Ekonomi dimana seluruh mahasiswa ilmu ekonomi merupakan anggota Kanopi FEBUI.

Selanjutnya

Tutup

Money

Reformasi Ekonomi Saudi: Salam Perpisahan pada Sektor Minyak Bumi

30 November 2016   08:42 Diperbarui: 30 November 2016   19:40 598
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
http://www.insider.gr/agores/emporeymata/27202/oi-ependytes-den-pisteyoyn-ton-opec-kai-rihnoyn-petrelaio

Sebagai gambaran, pemerintah Arab Saudi akan memotong subsidi untuk bensin, listrik dan air hingga 200 Miliar Riyal. Hal ini cukup kontras dengan tradisi kebijakan Arab Saudi sebelumnya. Padahal, sejarah mencatat, pada tahun 1992 Arab Saudi  berhasil mewujudkan swasembada gandum akibat diberikannya subisidi air kepada petani.

Apa Dampak Bagi Saudi dan Timur Tengah?

Bagi Arab Saudi, rumusan kebijakan ini menjadi agenda mutlak yang harus dicapai dan dikelola dengan serius. Sebab, jika target ini berhasil, Arab Saudi akan menikmati kesuksesan ekonomi yang lebih sustainable. Dalam 15 tahun ke depan, GDP negara tersebut dapat meningkat hingga US$ 800 Miliar. Selain itu, pendapatan rumah tangga juga akan meningkat hingga 60%. Terciptanya 6 juta lapangan kerja baru, turunnya angka pengangguran hinga 7%, dan meningkatnya basis peneriman dari sektor nonminyak hingga 70% merupakan sejumlah kesuksesan yang ditawarkan jika skenario dalam Visi 2030 tersebut berjalan dengan baik.

Penawaran perdana saham Aramco juga akan mempercepat tumbuhnya penerimaan, meningkatkan transparansi dan efisiensi, serta mempermudah ekspansi internasional perusahaan tersebut. Selain itu, rencananya, penerimaan bunga dari penjualan saham Aramco akan dialokasikan pada Public Investment Fund (PIF), yakni alokasi dana dari hasil sektor minyak bumi untuk kepentingan generasi yang akan datang. PIF diproyeksikan akan meningkat dari 600 Miliar Riyal menjadi 7 Triliun Riyal (US$1,84 Triliun).

Di lain sisi, kebijakan reformasi ekonomi Arab Saudi ini justru membuat dunia Timur Tengah ketar-ketir. Berdasarkan data Departemen Statistik dan Informasi setempat, Arab Saudi menampung sekitar 10,4 juta pekerja migran. 75% diantaranya berasal dari India, Pakistan, Bangladesh, Mesir, dan Filipina. Mesir sendiri bahkan memiliki 2 juta pekerja migran di Arab Saudi. Pengurangan pada permintaan tenaga kerja asing akan menimbulkan dua masalah utama. Pertama, hal ini akan memaksa para ekspatriat untuk kembali ke tanah air mereka dan berdampak pada meningkatnya jumlah pengangguran di negara tersebut. Hal ini pernah terjadi ketika sekitar satu juta pekerja Mesir yang bekerja di Libya kembali ke negaranya akibat konflik berkepanjangan di Libya sehingga memperburuk kondisi pengangguran di Mesir saat itu.

Masalah kedua pun tidak kalah serius. Pekerja migran adalah salah satu sumber devisa terbesar bagi negara-negara tersebut. Artinya, penurunan permintaan tenaga kerja asing di Arab Saudi akan mengancam aliran remitansi pada negara pengirim. Sebagai gambaran, Mesir adalah negara yang menempatkan remitansi pekerja migran sebagai sumber cadangan devisa utama. Pendapatan dari pekerja migran menyumbang 7% bagi GDP negara tersebut. Maka, jika Arab Saudi sukses mewujudkan agenda reformasi mereka, hal tersebut benar-benar akan menjadi ancaman serius bagi perekonomian Mesir.

Tidak dapat dimungkiri bahwa diversifikasi ekonomi merupakan sebuah langkah maju yang berdampak baik bagi kelangsungan perekonomian di masa depan. Hal yang patut diapresiasi ini justru dihujani sinisme dan keraguan dari masyarakat global. Arab Saudi dinilai tidak akan mampu menyudahi ‘bulan madu’ dengan minyak bumi seperti yang dilakukan sejumlah negara tetangganya. Keberhasilan diversifikasi ekonomi yang dilakukan UAE dan Kuwait dinilai sulit untuk diwujudkan di Arab Saudi mengingat adanya perbedaan kompleksitas permasalahan yang dimiliki negara tersebut, seperti ideologi, kemajemukan, dan birokrasi. Selain itu, agenda reformasi ini juga akan memicu kesulitan ekonomi regional yang mengancam Timur Tengah menjadi semakin tidak menentu.

Jika kita melihat lebih dekat agenda yang tercantum pada NTP, maka tidak salah bila banyak pihak yang meyakini upaya reformasi ini tidak akan mencapai banyak hal. Pasalnya, dokumen dengan tebal lebih dari 100 halaman tersebut tidak menyentuh persoalan Arab Saudi yang paling mendasar, yakni pengembangan human capital.

Terlebih lagi, statistik mencatat bahwa ekonomi tidak tumbuh dengan perencanaan yang kompleks. Akan tetapi, ekonomi tumbuh lewat ide-ide radikal, institusi yang baik, dan membiarkan pasar bekerja dengan caranya. Kunci utamanya adalah perencanaan yang sederhana, sebab yang lebih penting adalah mewujudkan lingkungan yang mendukung dan kebebasan yang menjadikan pertumbuhan itu nyata.

Oleh: Zihaul Abdi | Ilmu Ekonomi 2016 | Trainee Divisi Kajian KANOPI

--

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun