Kata ‘lokalisasi’ ataupun ‘diskotik’ sering dihubungkan dengan berbagai hal berkonotasi negatif. Bukan tanpa sebab, kedua tempat tersebut selalu dikaitkan dengan pergaulan bebas. Meskipun berada dalam frame penilaian yang sama secara subjektif, lokalisasi dan diskotik secara definisi. Lokalisasi adalah pembatasan terhadap suatu tempat[1]. Dalam konteks ini lokalisasi adalah pembuatan satu wilayah khusus untuk mempertemukan supplydari para wanita tunasusila dengan demandoleh para pelanggan atau pengunjung wilayah tersebut. Sedangkan diskotik adalah tempat hiburan atau klub malam dengan alunan musik yang dibawakan oleh disc jockey(DJ). Berdasarkan definisi dari kedua tempat tersebut, dapat disimpulkan bahwa lokalisasi dan diskotik adalah dua tempat dengan kegiatan operasional dan pangsa pasar yang berbeda, namun berada dalam satu stereotip yang sama.
Meski begitu, sebagai ekonom penting bagi kita untuk melihat secara objektif dari berbagai sudut pandang, termasuk menggunakan sudut pandang ekonomi dan untung rugi dari keberadaan kedua tempat tersebut. Salah satuanalisis yang dapat dilakukan yaitu melalui Pendapatan Asli Daerah (PAD). Sebagai tempat hiburan, diskotik tidak lepas dari pengenaan pajak sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 45 Ayat (1) UU PDRD dengan tarif tertinggi yang dapat dibebankan sebesar 35%. Tetapi, pengenaan tarif secara spesifik tetap menjadi hak daerah. Mengambil contoh dari Jakarta besarnya tarif untuk diskotik, karaoke, dan klab malam adalah sebesar 25%. Jakarta sendiri memiliki PAD dari sektor pajak hotel, restoran, dan hiburan mencapai Rp3,5 triliun pada tahun 2015[2].
Lalu bagaimana dengan lokalisasi? Mari kita mengenang masa-masa kejayaan dari Gang Dolly di Surabaya yang mana dikenal sebagai lokalisasi terbesar se-Asia Tenggara mengalahkan Thailand dan Singapura. Gang Dolly telah lama tumbuh dan berkembang menjadi sentra ekonomi prostitusi. Dalam kegiatannya, lokalisasi tersebut menyimpan lebih dari 30 jenis pekerjaan dalam beberapa bidang baik utama maupun pendukung dari kegiatan operasionalnya. Penggerak utama lokalisasi ini sudah tentu adalah mereka yang terlibat langsung dengan kegiatan prostitusi. Diantaranya adalah mucikari, PSK, makelar, dan pemilik rumah bordir. Tidak berhenti disitu, keberadaan bisnis prostitusi ini memberikan efekterhadap perekonomian yaitu dengan munculnya banyak lapangan pekerjaan untuk mendukung berjalannya bisnis ini Seperti laundry, warteg, ojek, dll. Sehingga tidak mengherankan bahwa dalam sehari semalam uang yang berputar di Gang Dolly senilai Rp300 hingga Rp500 juta[3].
Melihat pengaruhnya yang cukup besar dalam perekonomian, penutupan dari kedua tempat tersebut tentu akan menimbulkan berbagai efek. Mulai dari munculnya banyak pengangguran hingga menurunnya PAD. Penutupan Stadium, diskotik di kawasan Taman Sari Jakarta Barat Mei 2014 lalu telah menelantarkan 700-an karyawannya menjadi pengangguran. Pun begitu dengan penutupan Gang Dolly. Berdasarkan data yang dilansir Pemkot Surabaya pada bulan Mei 2014 terdapat 1.181 PSK dan 300 mucikari yang apabila Gang Dolly ditutup akan kehilangan sumber pendapatan utamanya.
Diatas adalah opportunity costyang harus dirasakan pemerintah ketika menutup kedua tempat tersebut. Tentu usaha meminimalisir dampak-dampak yang terjadi terus dilakukan. Seperti memberikan pelatihan dan membentuk sentra ekonomi baru untuk menampung para mantan PSK dan mucikari tersebut. Namun,apabila kita lihat lebih jauh lagi, itu semua hanya dampak yang terjadi pada jangka pendek. Disini terdapat satu tujuan pemerintah untuk meningkatkan moral bangsa. Dalam jangka panjang yaitu moral generasi mudanya. Karena moral disini adalah salah satu aspek pembentuk sumber daya manusia. Moral yang baik akan membentuk sumber daya manusia yang baik. Sumber daya manusia merupakan investasi besar yang akan menjadi faktor utama penentu keberhasilan suatu negara. Dimana ketika telah tiba waktunya, investasi ini diharapakan dapat memberi timbal balik yang jauh lebih besar dari oppportunity costsaat menutup lokalisasi dan diskotik.
Oleh: Hasyim Ali Shahab | Ilmu Ekonomi 2016 | Trainee Divisi Kajian Kanopi 2016
--
Referensi:
Faidah, Mutimmatul. 2014. “Pusaran Ekonomi di Balik Bisnis Prostitusi di Lokalisasi Dolly - Jarak Surabaya.” ejournal.unesa.ac.id/article/13647/107/article.pdf (26 Sep. 2016)
Fauziah, Anggita. 2016. “Hitung Hitungan Keuntungan Daerah dari Diskotik, Bar, dan Karaoke.”http://www.kompasiana.com/fzhanggita/hitung-hitungan-keuntungan-daerah-dari-diskotik-bar-dan-karaoke_576073d562afbd4607ad3920 (26 Sep. 2016)
Nurcahyani, Ida. 2014. “Ahok: mending PAD turun daripada diskotik tempat narkoba.” http://www.antaranews.com/berita/435654/ahok-mending-pad-turun-daripada-diskotik-tempat-narkoba (26 Sep. 2016)
Hairani, Linda. 2015. “Pengurangan Jam Operasional Diskotik, Ini Efeknya.” https://metro.tempo.co/read/news/2015/10/04/231706208/pengurangan-jam-operasional-diskotik-ini-efeknya (26 Sep. 2016)
Handayani, Triana Dianita. 2014. “Dolly Riwayatmu Kini.” Jurnal Ilmiah Ilmu-ilmu Sosial dan Humaniora. http://dev2.kopertis7.go.id/uploadjurnal/Humaniora%20Vol%2011%20No%202%20Desember%20%202014.pdf (9 Okt. 2016)
Jatmiko, Bambang Priyo. 2014. “Dolly Ditutup, Inilah Pendapatan Surabaya yang Melayang” http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2014/06/16/1212315/Dolly.Ditutup.Inilah.Pendapatan.Surabaya.yang.Melayang (26 Sep. 2016)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H