Kembali ke permasalahan awal, risiko turunnya remitansi akibat moratorium merupakan ancaman jangka pendek. Hal ini dikarenakan moratorium yang dilakukan hanya pada pekerja migran informal. Sementara pekerja migran formal, yang level jabatannya lebih baik akan terus ditingkatkan. Dalam jangka panjang, upaya pemerintah untuk melakukan peningkatan skill kepada calon pekerja migran informal akan berdampak besar. Jika program tersebut berjalan sukses, bukan tidak mungkin Indonesia akan mencapai fase dimana tidak ada lagi pekerja migran informal.Â
Ketika seluruh pekerja migran adalah mereka yang memiliki skill dan literasi yang mumpuni, maka remitansi pun akan terdongkrak sebab upah yang diterima para pekerja migran akan lebih besar. Hal ini dapat terbukti ketika kita mencoba membandingkan data pada tahun 2011 dan 2015. Pada tahun 2011, perbandingan pekerja migran pada sektor formal dengan infomal adalah 55:45. Saat itu, remitansi yang diterima Indonesia berjumlah US$ 6,73 Miliar. Sementara itu, pada tahun 2015, ketika perbandingannya terbalik menjadi 45:55, remitansi yang diterima justru lebih besar, yakni US$ 8,65 Miliar10.
Memutus Siklus Bekerja ke Luar Negeri
Jika moratorium berhasil diterapkan, maka ada sekitar tujuh juta pekerja migran yang masih bekerja di luar negeri. Setengah dari mereka bekerja di sektor informal dan berpotensi ‘terjebak’ begitu mereka pulang ke tanah air. Hal ini dikarenakan siklus migrasi ‘tradisional’ yang memaksa setiap pekerja migran tidak dapat bertahan lebih dari satu tahun untuk tidak kembali bekerja ke luar negeri akibat uang yang didapatkan tidak digunakan untuk produk investasi. Mereka lebih memilih membelanjakan uangnya untuk konsumsi harian, renovasi rumah, bahkan membeli kendaraan.
Tidak jarang juga mereka mengabaikan kesehatan dan pendidikan. Ketika uang itu habis, mereka akan kembali bekerja ke luar negeri11. Begitu seterusnya dari generasi ke generasi. Inilah yang membuat membuat siklus untuk bekerja di luar negeri akan terus berlanjut .
Untuk memutus siklus tersebut, diperlukan sebuah siklus baru agar setiap pekerja migran yang sudah ke luar negeri tidak perlu kembali untuk memenuhi kebutuhannya. Siklus baru ini disebut Productive Migration Cycle12.
Sumber: Â ILO, 2012
Pendidikan dan skill merupakan dua kunci utama untuk meningkatkan kesempatan menjadi tenaga kerja dan akses untuk pekerjaan yang lebih berkualitas. Dalam kasus pekerja migran, pelatihan pra-keberangkatan perlu menekankan kembali pentingnya literasi keuangan. Akses terhadap layanan keuangan bagi para pekerja migran dan keluarga di tanah air memainkan peran penting dalam Productive Migration Cycle. Hal ini dikarenakan pekerja migran dan keluarganya akan melakukan berbagai transaksi keuangan dalam pengiriman remitansi. Untuk itu, dibutuhkan skema layanan keuangan yang efektif dan terjangkau, baik bagi para pekerja migran maupun bagi keluarga.
Kombinasi skema layanan keuangan yang baik dan pengetahuan literasi keuangan yang mumpuni akan berdampak pada pola penggunaan keuangan yang lebih teratur. Uang yang diterima oleh keluarga dapat digunakan untuk keperluan investasi seperti pendidikan, pembelian lahan, atau modal dalam mebuka usaha. Hal tersebut dapat tercapai melalui program-program dan layanan khusus perbankan untuk pekerja migran dan keluarganya.
Pada akhirnya, ketika pekerja migran kembali ke tanah air, mereka bisa menikmati jerih payah selama bekerja di luar negeri karena uang yang mereka kirimkan digunakan untuk investasi. Jika siklus seperti di atas dapat dilakukan dalam ruang lingkup dan skala yang lebih luas, bukan tidang mungkin pemberantasan kemisikinan dapat dipercepat dan pertumbuhan ekonomi dapat tercipta dari masyarakat yang berada di rural area.
Daftar rujukan