Mohon tunggu...
Kanopi FEBUI
Kanopi FEBUI Mohon Tunggu... Jurnalis - Himpunan Mahasiswa Ilmu Ekonomi FEB UI

Kanopi FEBUI adalah organisasi yang mengkhususkan diri pada kajian, diskusi, serta penelitian, dan mengambil topik pada permasalahan ekonomi dan sosial di Indonesia secara makro. Selain itu, Kanopi FEBUI juga memiliki fungsi sebagai himpunan mahasiswa untuk mahasiswa program studi S1 Ilmu Ekonomi dimana seluruh mahasiswa ilmu ekonomi merupakan anggota Kanopi FEBUI.

Selanjutnya

Tutup

Money

Ironi Pekerja Migran: Mau Sampai Kapan?

1 November 2016   18:52 Diperbarui: 1 November 2016   19:12 224
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: ibtimes.com

Saat ini, sekitar tujuh juta pekerja migran asal Indonesia tersebar di sejumlah negara tujuan dengan berbagai sektor pekerjaan. Malaysia, Taiwan dan Arab Saudi menjadi negara yang paling banyak dituju. Sementara itu, domestic worker, care taker,dan plantation worker adalah tiga sektor pekerjaan teratas yang paling banyak digeluti1.

Dari latar belakang pendidikan, profil pekerja migran Indonesia terbilang sangat rendah. Data tahun 2015 menunjukkan hanya 3% dari pekerja migran tersebut yang merasakan pendidikan tinggi2. Data ini menunjukkan Indonesia tertinggal jauh dari Filipina yang 32% pekerja migrannya adalah lulusan perguruan tinggi3. Rendahnya tingkat pendidikan tersebut memaksa pekerja migran Indonesia hanya dapat bekerja di sektor informal akibat rendahnya skill yang dimiliki. Pekerja migran informal merupakan akar dari berbagai permasalahan yang terjadi. Sebab, unskilled labor erat kaitannya dengan jenis pekerjaan 3D (dirty, dangerous, and difficult). Pekerjaan jenis ini rentan terhadap perlakuan tidak layak dari majikan.

Mei 2015, pemerintah menandatangani kontrak perjanjian moratorium pengiriman tenaga kerja informal ke Arab Saudi, Yordania, dan Suriah4. Kedepannya, pada tahun 2019, pemerintah bahkan menargetkan tidak ada lagi pengiriman pekerja migran informal ke seluruh negara. Lantas, apakah masalah selesai ketika semua celah bagi pekerja migran informal ditutup?

Moratorium, Pengangguran, dan Remitansi

Masalah baru justru muncul jika kebijakan ini benar-benar berhasil diterapkan. Moratorium pekerja migran informal sama artinya dengan menutup jutaan potensi kesempatan kerja. Peningkatan angka pengangguran adalah konsekuensi paling logis yang timbul dari kebijakan ini. Tiap tahun, angka pengangguran Indonesia bisa membengkak dengan tambahan 1,3 juta angkatan kerja tak terserap ketika ekonomi masih tumbuh di bawah 6 persen5.

Masalah berikutnya adalah dalam jangka pendek kebijakan ini akan berimbas pada turunnya jumlah remitansi, yakni transfer uang yang dilakukan pekerja migran ke negara asalnya. Indonesia sebagai negara pengirim pekerja migran terbesar di Asia Tenggara ternyata tidak serta merta menjadi penerima remitansi terbesar. 

Filipina justru memuncaki posisi teratas di Asia Tenggara dengan total remitansi US$ 24 Miliar disusul oleh Vietnam dengan total remitansi US$ 9 Miliar. Bagi kedua negara tersebut, remitansi memiliki kontribusi yang signifikan sebagai penopang GDP yakni 12% dan 6,9% berurut-turut. Sementara itu, Indonesia di urutan ke-tiga dengan total remitansi hanya US$ 8,65 Miliar atau setara dengan 1% dari total GDP6. Pertanyaan yang muncul kemudian, apa yang menyebabkan ini terjadi?

Pertama, ada perbedaan kondisi yang mendasar antara Indonesia dan Filipina (di sini penulis mengambil Filipina sebagai pembanding karena menempati posisi teratas) terkait persoalan pengelolaan pekerja migran. Di Filipina, pekerja migran begitu dihargai oleh negara sebagai pahlawan yang menyelamatkan perekonomian. Bagi Filipina yang utangnya mencapai US$ 70 Miliar atau melebihi 50% GDP negaranya, pekerja migran adalah sumber penopang perekonomian yang amat berjasa. Bagi masyarakat Filipina, menjadi pekerja migran adalah bentuk sense of duty dan bahkan diberi gelar bagong bayani, pahlawan modern Filipina. 

Tidak sedikit juga masyarakat Filipina yang sudah mendapat pekerjaan layak di negaranya justru ikut bermigrasi ke luar negeri menjadi pekerja level rendah karena upah yang ditawarkan lebih tinggi. Selain itu, tipe pekerja migran Filipina juga lebih resilience dibanding Indonesia. Mereka cenderung mampu bertahan dengan segala perlakuan yang diterima dari employers di negara penerima. Hal ini dapat dipahami mengingat Filipina adalah negara yang memiliki 33% populasi di bawah garis kemiskinan dan 17% pengangguran, sehingga menjadi pekerja migran adalah pilihan terbaik untuk bertahan demi hidup yang lebih baik7.

Kedua, atas dasar kondisi tersebut, pengelolaan pekerja migran di Filipina tertata lebih baik karena bagi mereka, remitansi adalah sumber strategis bagi pertumbuhan dalam jangka panjang. The Philippines Overseas Employment Agency, lembaga yang bertanggung jawab terhadap pengelolaan pekerja migran Filipina telah memberlakukan dan bahkan menjalankan dengan konsisten sejumlah ketetapan untuk membasmi rekrutmen ilegal, perdagangan manusia, upah ilegal, penipuan, dan overcharging8. Upah minimum juga telah distandardisasi dalam kontrak yang jelas dan proses rekrutmen telah terintegrasi dengan pemerintah sehingga lebih akuntabel.

Ketiga, akses terhadap layanan keuangan yang sulit membuat para pekerja migran lebih memilih mengirimkan uang lewat jalur informal (seperti menitipkan uang pada teman yang pulang ke Indonesia). Jalur ini realtif mudah dijangkau, namun tidak memiliki jaminan keamanan. Berdasarkan hasil riset Pusat Penelitian, Pengembangan dan Informasi (Puslitfo) BNP2TKI dan Alvara Research Centre pada 2015 lalu, di Taiwan dan Hongkong, sebanyak 24,3% pekerja migran Indonesia masih mengirimkan uangnya lewat jalur informal karena sulitnya menemui bank atau jalur formal nonbank seperti Western Union atau perusahaan remitansi lokal9.

Kembali ke permasalahan awal, risiko turunnya remitansi akibat moratorium merupakan ancaman jangka pendek. Hal ini dikarenakan moratorium yang dilakukan hanya pada pekerja migran informal. Sementara pekerja migran formal, yang level jabatannya lebih baik akan terus ditingkatkan. Dalam jangka panjang, upaya pemerintah untuk melakukan peningkatan skill kepada calon pekerja migran informal akan berdampak besar. Jika program tersebut berjalan sukses, bukan tidak mungkin Indonesia akan mencapai fase dimana tidak ada lagi pekerja migran informal. 

Ketika seluruh pekerja migran adalah mereka yang memiliki skill dan literasi yang mumpuni, maka remitansi pun akan terdongkrak sebab upah yang diterima para pekerja migran akan lebih besar. Hal ini dapat terbukti ketika kita mencoba membandingkan data pada tahun 2011 dan 2015. Pada tahun 2011, perbandingan pekerja migran pada sektor formal dengan infomal adalah 55:45. Saat itu, remitansi yang diterima Indonesia berjumlah US$ 6,73 Miliar. Sementara itu, pada tahun 2015, ketika perbandingannya terbalik menjadi 45:55, remitansi yang diterima justru lebih besar, yakni US$ 8,65 Miliar10.

Memutus Siklus Bekerja ke Luar Negeri

Jika moratorium berhasil diterapkan, maka ada sekitar tujuh juta pekerja migran yang masih bekerja di luar negeri. Setengah dari mereka bekerja di sektor informal dan berpotensi ‘terjebak’ begitu mereka pulang ke tanah air. Hal ini dikarenakan siklus migrasi ‘tradisional’ yang memaksa setiap pekerja migran tidak dapat bertahan lebih dari satu tahun untuk tidak kembali bekerja ke luar negeri akibat uang yang didapatkan tidak digunakan untuk produk investasi. Mereka lebih memilih membelanjakan uangnya untuk konsumsi harian, renovasi rumah, bahkan membeli kendaraan.

Tidak jarang juga mereka mengabaikan kesehatan dan pendidikan. Ketika uang itu habis, mereka akan kembali bekerja ke luar negeri11. Begitu seterusnya dari generasi ke generasi. Inilah yang membuat membuat siklus untuk bekerja di luar negeri akan terus berlanjut .

Untuk memutus siklus tersebut, diperlukan sebuah siklus baru agar setiap pekerja migran yang sudah ke luar negeri tidak perlu kembali untuk memenuhi kebutuhannya. Siklus baru ini disebut Productive Migration Cycle12.

Sumber:  ILO, 2012

Pendidikan dan skill merupakan dua kunci utama untuk meningkatkan kesempatan menjadi tenaga kerja dan akses untuk pekerjaan yang lebih berkualitas. Dalam kasus pekerja migran, pelatihan pra-keberangkatan perlu menekankan kembali pentingnya literasi keuangan. Akses terhadap layanan keuangan bagi para pekerja migran dan keluarga di tanah air memainkan peran penting dalam Productive Migration Cycle. Hal ini dikarenakan pekerja migran dan keluarganya akan melakukan berbagai transaksi keuangan dalam pengiriman remitansi. Untuk itu, dibutuhkan skema layanan keuangan yang efektif dan terjangkau, baik bagi para pekerja migran maupun bagi keluarga.

Kombinasi skema layanan keuangan yang baik dan pengetahuan literasi keuangan yang mumpuni akan berdampak pada pola penggunaan keuangan yang lebih teratur. Uang yang diterima oleh keluarga dapat digunakan untuk keperluan investasi seperti pendidikan, pembelian lahan, atau modal dalam mebuka usaha. Hal tersebut dapat tercapai melalui program-program dan layanan khusus perbankan untuk pekerja migran dan keluarganya.

Pada akhirnya, ketika pekerja migran kembali ke tanah air, mereka bisa menikmati jerih payah selama bekerja di luar negeri karena uang yang mereka kirimkan digunakan untuk investasi. Jika siklus seperti di atas dapat dilakukan dalam ruang lingkup dan skala yang lebih luas, bukan tidang mungkin pemberantasan kemisikinan dapat dipercepat dan pertumbuhan ekonomi dapat tercipta dari masyarakat yang berada di rural area.

Daftar rujukan

[1]; [2] Ibid ; [3]Youth Migration Philippine: Brain Drain, Brain Waste. ; [4] ; [5] ; [6] ; [7] ; [8] ; [9] ; [10]

[11]Interview with female migrant workers and their families in Sukabumi, Malang, Bone and Lombok Tengah districts, 2004-2005 by World Bank Femare Migrant Worker Research Team ; [12]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun