Berakhirnya tragedi “Oil Bonanza”, harga minyak bumi dunia turun drastis sehingga pemerintah mengalihkan orientasi kebijakan perdagangannya ke ekspor. Dampaknya tahun 1990-an industri manufaktur Indonesia mengalami masa kejayaan dimana sektor manufaktur mendominasi separuh dari total ekspor. Namun, bagaimana kondisi manufaktur Indonesia saat ini?
Dengan jumlah penduduk mencapai 250 juta, Indonesia memiliki potensi pasar konsumsi yang luas. Selain itu, dalam sisi produksi Indonesia memiliki banyak perakit, produsen, dan eksportir komoditas. Untuk mengukur efektifitas dan efisiensi dari kinerja produksi Indonesia, figur ini adalah Global Value Chain (GVC) yang menggambarkan proses industri untuk membuat sebuah produk.
Figur 1: Global Value Chain (GVC)
Menurut data dari BPS, Industri hilir mendominasi 68.6% dari struktur industri nasional saat ini. Indonesia juga memiliki ketergantungan akan impor bahan baku dan mesin, padahal fluktuasi pada harga impor dapat merugikan produsen. Selain itu, mayoritas industri juga terkonsentrasi di pulau Jawa mengingat 60% populasi hidup di pulau Jawa dan sarana infrastruktur pulau Jawa juga yang sangat lebih memadai dibandingkan pulau besar lainnya. Menunjukan bahwa industri manufaktur nasional masih bersifat perakitan dan menggunakan teknologi sederhana sehingga mengakibatkan kapasitas produksi tidak terlalu besar.
Menurut catatan World Economic Forum (WEF) tahun 2004, posisi daya saing Indonesia masih berada di urutan ke-69 dari 104 negara. Menurut WEF ada faktor-faktor yang menyebabkan terpuruknya daya saing industri manufaktur. Namun, ada dua faktor yang paling signifikan adalah lemahnya kebijakan pengembangan teknologi dalam memfasilitasi kebutuhan peningkatan produktivitas dan rendahnya efisiensi usaha pada tingkat operasionalisasi perusahaan.
Menurut Bappenas, arah kebijakan yang sesuai adalah pengembangan sejumlah sub-sektor yang memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif dan mengikuti pola pendalaman bukan perluasan.Oleh sebab itu, semua bentuk pengembangan fasilitas harus ditujukan untuk memperkuat struktur industri, meningkatkan pemanfaatan teknologi, dan meningkatkan nilai pengganda di masing-masing sub-sektor yang ditetapkan.
Kebijakan menurut Bappenas ini dapat dikaitkan dengan faktor-faktor yang ditetapkan WEF. Dalam menjalankan kebijakan ini perlu penyediaan pengembangan fasilitas termasuk dengan pemanfaatan teknologi. Teknologi memegang peran yang sangat penting, terutama dalam dunia industri. Pemanfaatan teknologi digital telah menciptakan perkembangan baru dalam bentuk “Industry 4.0” atau yang juga dikenal sebagai Revolusi Industri Keempat. “Industry 4.0” didefinisikan sebagai internet of things dan industrial internet dimana dunia virtual dan internet memegang peranan penting dalam kemunculan industri ini.
Inovasi utama dari revolusi Industri keempat adalah adanya Cyber-Physical Production System (CPPS).CPPS menggambarkan pemanfaatan teknologi untuk menghasilkan sesuatu yang benar-benar nyata dan berbentuk fisik. Salah satu inovasi dari Industri ini adalah keberadaan 3-Dimension (3D) Printer yang memungkinan barang diproduksi hanya dari rancangan yang dibuat didalam software. Alhasil, revolusi industri keempat menghasilkan beberapa dampak yaitu mempersingkat waktu, meningkatkan flekibilitas, dan mendorong efisiensi.
Perlu dicamkan bahwa “Industry 4.0” adalah gambaran kinerja perindustrian yang ideal. Berdasarkan survei dari 235 perusahaan industri Jerman yang dilaksanakan oleh lembaga TNS Emnid, “Industry 4.0” mampu meningkatkan 18% produktifitas untuk 5 tahun kedepan dan memperkuat daya saing dengan menjanjikan pendapatan tambahan meningkat dari 2% hingga 3% rata-rata per tahun. Mengingat sudah banyak negara maju terutama Eropa dan Amerika yang menganggap “Industry 4.0” sebagai hal yang krusial. Industri keempat ini dipercaya dapat mendorong perekonomian sehingga penting bagi Indonesia untuk meningkatkan kompetensi dalam perkembangan teknologi. Salah satu cara Indonesia untuk melengkapi aset yang dibutuhkan “Industry 4.0” adalah dengan mengintensifkan Foreign Direct Investment (FDI). FDI membuka celah bagi investor domestik maupun asing untuk berkontribusi menanam aset teknologi di Indonesia.
Industri manufaktur Indonesia tergolong belum berkompeten karena masih banyak berperan hanya sebagai perakit.Lemahnya kebijakan pengembangan teknologi dan rendahnya efisiensi dari operasionalisasi perusahaan adalah dua faktor pemicu dari terpuruknya industri Indonesia. Bersamaan dengan kemunculan “Industry 4.0” Indonesia harus bergegas untuk meningkatkan kompetensi teknologinya. Dengan memanfaatkan fungsi FDI dan menjalankan aksi strategis lainnya, penting bagi Indonesia untuk mengoptimalisasi kinerja industri manufaktur agar bisa menjadi penopang ekonomi yang produktif.
OIeh: Salsabila Bratandari Nazief | Ilmu Ekonomi 2015 | Staf Kajian Kanopi 2016
--
Daftar Pustaka:
- http://www.bappenas.go.id/files/1813/5763/0712/bab-18-peningkatan-daya-saing-industri-manufaktur.pdf
- http://www.dec-ced.gc.ca/eng/publications/economic/studies/2012/268/index.html
- http://www.neraca.co.id/article/37995/industri-manufaktur-indonesia
- http://ekbis.sindonews.com/read/1023278/34/industri-manufaktur-dikembalikan-jadi-penopang-ekonomi-1436780260
- http://www2.deloitte.com/content/dam/Deloitte/ch/Documents/manufacturing/ch-en-manufacturing-industry-4-0-24102014.pdf
- https://i40-self-assessment.pwc.de/i40/study.pdf
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H