Mohon tunggu...
Kanopi FEBUI
Kanopi FEBUI Mohon Tunggu... Jurnalis - Himpunan Mahasiswa Ilmu Ekonomi FEB UI

Kanopi FEBUI adalah organisasi yang mengkhususkan diri pada kajian, diskusi, serta penelitian, dan mengambil topik pada permasalahan ekonomi dan sosial di Indonesia secara makro. Selain itu, Kanopi FEBUI juga memiliki fungsi sebagai himpunan mahasiswa untuk mahasiswa program studi S1 Ilmu Ekonomi dimana seluruh mahasiswa ilmu ekonomi merupakan anggota Kanopi FEBUI.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Negative Interest Rate, Studi Kasus Jepang: Solusi untuk Stagnasi Ekonomi Berkepanjangan?

14 April 2016   22:56 Diperbarui: 14 April 2016   23:08 1611
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="http://www.trbimg.com/img-56ab7b6b/turbine/ct-japan-negative-interest-rate-explained-20160129"][/caption]Awal tahun 2016, Shinzo Abe sebagai Perdana Menteri Jepang membuat gebrakan yang cukup mengejutkan pelaku pasar di seluruh dunia. Untuk pertama kalinya dalam sejarah, Bank of Japan (BoJ) menurunkan tingkat suku bunganya menjadi -0,1%. Kebijakan ini memicu pandangan yang berbeda dari berbagai ekonom, mengingat hal ini dianggap hanya berhasil diterapkan di Denmark[1]. Lalu, mengapa kebijakan Shinzo Abe menjadi isu yang banyak diperdebatkan? Apakah yang dimaksud dengan kebijakan suku bunga negatif, dan apa dampaknya terhadap perekonomian Jepang?

Suku bunga negatif adalah kebijakan moneter nonkonvensional yang bertujuan untuk meningkatkan jumlah uang beredar[2], dimana pertambahan uang tersebut diharapkan akan digunakan untuk kegiatan ekonomi yang produktif. Kebijakan moneter nonkonvensional biasa digunakan apabila kebijakan moneter konvensional dan kebijakan fiskal tidak dapat memberikan pengaruh signifikan bagi perekonomian. Dalam kasus ini, kebijakan suku bunga negatif digunakan untuk menggerakan perekonomian Jepang yang sudah mengalami stagnasi (perekonomian tidak mengalami pertumbuhan maupun penurunan) selama 20 tahun terakhir, bahkan setelah upaya quantitative easing yang pernah diterapkan di Jepang

Suku bunga negatif bekerja dengan cara yang berlawanan dari suku bunga yang diterapkan selama ini. Dalam konsep suku bunga yang berlaku secara umum, kreditur (bank sentral/bank umum) akan mengenakan beban bunga saat debitur (bank umum/nasabah) meminjam uang, sedangkan simpanan dana bank umum akan memberikan imbal hasil berupa bunga.

Pada suku bunga negatif, debitur justru menerima bunga apabila meminjam uang dari kreditur. Memakai contoh kasus Jepang pada tingkat suku bunga -0,1%, apabila bank umum meminjam uang sebesar ¥1 juta, maka bank tersebut akan mendapatkan bunga sebesar ¥1,000. Sebaliknya, apabila kita menabung ¥1 juta, maka tabungan kita akan dipotong ¥1,000 per tahun.

Lalu, mengapa negative interest-rate digunakan sebagai kebijakan untuk menggerakan roda perekonomian Jepang? Alasan pertama adalah untuk meningkatkan likuiditas uang di Jepang. Dengan negative interest rate, biaya untuk menyimpan uang (opportunity cost) akan menjadi lebih mahal, baik bagi masyarakat yang menyimpan dananya di bank maupun bank umum yang menyimpan dana di bank sentral. 

Akibatnya, jumlah simpanan masyarakat dan bank umum akan cenderung berkurang dan secara teori, uang tersebut akan masuk ke dalam perekonomian, baik dalam bentuk konsumsi maupun investasi. Mengacu pada teori penghitungan GDP (Y = C + I + G + X – M) , penambahan konsumsi dan investasi akan meningkatkan output – atau Y, dalam persamaan – meningkat[3].

Alasan kedua dari penerapan negative-interest rate (NIR) adalah untuk meningkatkan daya saing ekspor dengan cara melemahkan nilai mata uang.

 [caption caption="Nilai Ekspor Jepang (Jan 2015 - Jan 2016) dalam juta Yen"]

[/caption]Mengacu pada gambar diatas, kita dapat melihat bahwa diawal tahun 2016 Jepang mengalami penurunan ekspor yang cukup signifikan. Tercatat bahwa terjadi penurunan sebesar 12,9% secara year-on-year (yoy) pada bulan Januari 2016 (6.35 triliun Yen menjadi 5,3 triliun Yen)[4]. Padahal, dalam 20 tahun terakhir, ekspor memiliki kontribusi yang cukup besar terhadap GDP Jepang, yaitu berkisar antara 14-16% dari GDP total[5]. Oleh karena itu, peningkatan ekspor menjadi hal yang diperlukan apabila Jepang ingin meningkatkan pertumbuhan ekonominya.

[caption caption="Pengaruh penurunan tingkat bunga terhadap nilai tukar"]

[/caption](Dollar diasumsikan sebagai Yen; Euro diasumsikan sebagai mata uang negara lain)

Dari kurva diatas, dapat dilihat bahwa penurunan suku bunga di Jepang (R2s ke R1s) akan menyebabkan nilai E¥/Euro meningkat, atau nilai JP¥ relatif melemah (terdepresiasi) dibandingkan mata uang negara lain. Menurut Krugman dalam teori “J-Curve”, pelemahan mata uang pada awalnya akan menyebabkan neraca perdagangan – dan GDP – memburuk karena jumlah ekspor belum mampu menyesuaikan sementara harga barang domestik lebih murah. Akan tetapi, dalam jangka panjang akan terjadi peningkatan jumlah ekspor akibat penyesuaian dalam proses produksi[6].

Jika melihat dua teori ini, maka dapat dikatakan bahwa tampaknya penerapan suku bunga negatif dapat berdampak positif bagi Jepang, terutama apabila melihat hasil dari kebijakan serupa di negara lain, yaitu Denmark dan Swiss. Pada kedua negara tersebut, kebijakan suku bunga negatif berhasil mempertahankan nilai mata uang terapresiasi terlalu tinggi. Akan tetapi, nyatanya dalam kasus Jepang, banyak faktor yang dapat menggagalkan keberhasilan dari kebijakan tersebut.

Pertama adalah komposisi demografi masyarakat Jepang. Jika mengacu pada data tahun 2014, tercatat bahwa hampir dua perlima masyarakat Jepang berusia diatas 55 tahun dengan tingkat pertumbuhan penduduk -0,13%[7]. Menurut teori “Life-Cycle Hypothesis”, manusia akan cenderung lebih banyak mengonsumsi saat usia produktif, karena harga untuk tidak bekerja relatif lebih mahal dibanding usia lainnya. 

Jika usia rata-rata masyarakat Jepang semakin bertambah tua, maka kecenderungan untuk menabung akan menjadi lebih besar, sehingga kebijakan tersebut tidak akan berpengaruh secara signifikan, terutama untuk meningkatkan konsumsi domestik.

Kedua adalah keterbatasan dari kebijakan tersebut. Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, secara teori kebijakan suku bunga negatif dapat mengurangi jumlah tabungan. Akan tetapi, kebijakan tersebut tidak dapat memastikan bahwa pinjaman akan digunakan untuk konsumsi, terlebih mengingat kecenderungan menabung masyarakat Jepang cukup tinggi. 

Sebagai contoh, apabila masyarakat tidak ingin membayar bunga untuk menabung, maka mereka dapat menarik tabungannya untuk disimpan di tempat lain – bantal misalnya[8]. Dalam skenario ini, maka masyarakat Jepang dapat menyimpan uang tanpa harus “merugi” akibat membayar bunga.

Bahkan, mereka juga dapat memperoleh bunga dengan meminta pinjaman dari bank untuk kemudian disimpan sampai waktu jatuh tempo. Sebagai gambaran, dengan meminjam uang sebesar ¥1 juta (tingkat bunga -0,1%), tanpa perlu membelanjakan uangnya, masyarakat akan memperoleh bunga sebesar ¥1000 saat jatuh tempo. Hal ini akan berbahaya apabila dilakukan secara masif, karena penarikan uang secara besar-besaran akan menyebabkan bank mengalami kesulitan likuiditas, yang dapat menyebabkan runtuhnya sistem perbankan.

Oleh karena itu, apa yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah Jepang untuk mendorong perekonomian Jepang? Pertama adalah kebijakan untuk mendukung negative interest rate. Pemerintah harus mendorong masyarakat Jepang untuk meningkatkan tingkat konsumsi dan investasinya, mengingat kunci dari lambatnya pertumbuhan ekonomi Jepang adalah rendahnya kecenderungan konsumsi dan investasi. 

Selain itu, menurut Kocherlakota[9], kebijakan moneter nonkonvensional merupakan “kompensasi” dari buruknya kebijakan fiskal. Sehingga, pemerintah Jepang harus menerapkan kebijakan fiskal yang lebih efektif untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, tanpa harus bergantung pada suku bunga negatif. Terakhir, dalam jangka panjang, Jepang harus melakukan perbaikan pada struktur demografinya, mengingat dominasi usia lanjut merupakan penyebab utama dari stagnasi perekonomian Jepang.

Oleh:Fandy Rahardi | Ilmu Ekonomi 2014 | Kepala Divisi Kajian Kanopi 2016

Referensi:
[1]Here's Why ECB and BOJ Can't Copy Danish Negative Rate Success
[2]Negative Interest Rates
[3] Mankiw, N. Gregory. 2013. Macroeconomics (8th ed.). New York: Worth Publishers
[4] Japan Exports
[5] Exports of Goods and Services
[6] Krugman, Paul R., M. Obstfeld, & M. J. Melitz. 2012. International Economics: Theory and Policy (9th ed.). Boston: Pearson Education Inc.
[7] Japan Demographics Profile 2014 
[8] Why negative interest rates have arrived—and why they won’t save the global economy
[9] 'Negative Rates: A Gigantic Fiscal Policy Failure'

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun