Pertama adalah komposisi demografi masyarakat Jepang. Jika mengacu pada data tahun 2014, tercatat bahwa hampir dua perlima masyarakat Jepang berusia diatas 55 tahun dengan tingkat pertumbuhan penduduk -0,13%[7]. Menurut teori “Life-Cycle Hypothesis”, manusia akan cenderung lebih banyak mengonsumsi saat usia produktif, karena harga untuk tidak bekerja relatif lebih mahal dibanding usia lainnya.
Jika usia rata-rata masyarakat Jepang semakin bertambah tua, maka kecenderungan untuk menabung akan menjadi lebih besar, sehingga kebijakan tersebut tidak akan berpengaruh secara signifikan, terutama untuk meningkatkan konsumsi domestik.
Kedua adalah keterbatasan dari kebijakan tersebut. Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, secara teori kebijakan suku bunga negatif dapat mengurangi jumlah tabungan. Akan tetapi, kebijakan tersebut tidak dapat memastikan bahwa pinjaman akan digunakan untuk konsumsi, terlebih mengingat kecenderungan menabung masyarakat Jepang cukup tinggi.
Sebagai contoh, apabila masyarakat tidak ingin membayar bunga untuk menabung, maka mereka dapat menarik tabungannya untuk disimpan di tempat lain – bantal misalnya[8]. Dalam skenario ini, maka masyarakat Jepang dapat menyimpan uang tanpa harus “merugi” akibat membayar bunga.
Bahkan, mereka juga dapat memperoleh bunga dengan meminta pinjaman dari bank untuk kemudian disimpan sampai waktu jatuh tempo. Sebagai gambaran, dengan meminjam uang sebesar ¥1 juta (tingkat bunga -0,1%), tanpa perlu membelanjakan uangnya, masyarakat akan memperoleh bunga sebesar ¥1000 saat jatuh tempo. Hal ini akan berbahaya apabila dilakukan secara masif, karena penarikan uang secara besar-besaran akan menyebabkan bank mengalami kesulitan likuiditas, yang dapat menyebabkan runtuhnya sistem perbankan.
Oleh karena itu, apa yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah Jepang untuk mendorong perekonomian Jepang? Pertama adalah kebijakan untuk mendukung negative interest rate. Pemerintah harus mendorong masyarakat Jepang untuk meningkatkan tingkat konsumsi dan investasinya, mengingat kunci dari lambatnya pertumbuhan ekonomi Jepang adalah rendahnya kecenderungan konsumsi dan investasi.
Selain itu, menurut Kocherlakota[9], kebijakan moneter nonkonvensional merupakan “kompensasi” dari buruknya kebijakan fiskal. Sehingga, pemerintah Jepang harus menerapkan kebijakan fiskal yang lebih efektif untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, tanpa harus bergantung pada suku bunga negatif. Terakhir, dalam jangka panjang, Jepang harus melakukan perbaikan pada struktur demografinya, mengingat dominasi usia lanjut merupakan penyebab utama dari stagnasi perekonomian Jepang.
Oleh:Fandy Rahardi | Ilmu Ekonomi 2014 | Kepala Divisi Kajian Kanopi 2016
Referensi:
[1]Here's Why ECB and BOJ Can't Copy Danish Negative Rate Success
[2]Negative Interest Rates
[3] Mankiw, N. Gregory. 2013. Macroeconomics (8th ed.). New York: Worth Publishers
[4] Japan Exports
[5] Exports of Goods and Services
[6] Krugman, Paul R., M. Obstfeld, & M. J. Melitz. 2012. International Economics: Theory and Policy (9th ed.). Boston: Pearson Education Inc.
[7] Japan Demographics Profile 2014
[8] Why negative interest rates have arrived—and why they won’t save the global economy
[9] 'Negative Rates: A Gigantic Fiscal Policy Failure'
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H