[caption caption="www.drillingcontractor.org"][/caption]Sudah sejak 2008 nasib proyek regasifikasi Kilang Abadi, Blok Masela di Laut Arafuru, Maluku maju-mundur. Jika sesuai dengan Plan Of Development (POD) yang disepakati antara Inpex Corporation selaku investor dengan SKK Migas seharusnya konstruksi kilang dimulai pada 2018 dan dapat mulai berproduksi pada tahun 2040. Namun, hingga 2016 rencana pengembangan masih belum mendapatkan keputusan resmi dari Presiden Joko Widodo sekalipun POD yang diajukan mengalami perubahan yang sebelumnya hanya akan berproduksi dengan kapasitas 2,5 juta metrik ton per tahun menjadi 7,5 juta metrik ton per tahun pada tahun 2015 silam.
Kasus ini mendapat perhatian dari pemerintah karena diperkirakan dapat menyumbang penerimaan negara lebih dari Rp 500 triliun per tahunnya selama 24 tahun kedepan. Angka fantasitis untuk dijadikan suntikan dana untuk APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) dan menggairahkan perekonomian negara yang cenderung lesu. Menurut perhitungan SKK Migas setiap tahunnya negara akan merugi sebesar US$ 3,6 miliar (Rp 49 triliun) dengan skema kilang darat, sementara dengan skema kilang terapung negara merugi sebesar US$ 4,2 miliar (Rp 57 triliun) jika pembanguannya tidak mengalami perubahan.
Pada awalnya rencana pengembangan regasifikasi Blok Masela akan menggunakan skema kilang terapung di laut karena Inpex Corporation dengan mitra bisnisnya, Royal Dutch Shell berpendapat dapat meraup keuntungan lebih besar dan dapat berproduksi lebih efisien. Pendapat Inpex dan Shell juga didukung hasil kajian dan studi Poten & Partners, perusahaan broker dan konsultan Inggris spesialis di industri minyak dan gas, yang ditunjuk SKK Migas sebagai konsultan independen. Â Hasil studi dan kajian SKK Migas menunjukan dengan berproduksi sama-sama sebanyak 7,5 mtpa :
[caption caption="Tabel Hasil Studi"]
Di pihak lain Menteri Koordinator Maritim dan Sumberdaya, Rizal Ramli blak-blakan menolak pengembangan Blok Masela dengan skema kilang terapung. Beliau mempertanyakan apakah Inpex Corporation mau menanggung biaya kelebihannya jika ternyata biaya konstruksi dari kilang terapung lebih dari  US$ 14,8 miliar. Sementara total biaya proyek Masela ini berasal kurang lebih separuh dari investasi asing langsung (FDI) 2014 dengan nilai $ 28,5 miliar, yang meliputi 24 sektor. Lantas karena Inpex Corporation tidak bisa menjawab pertanyaan tersebut, Kementerian Koordinator Maritim menyarankan agar Inpex mengganti mitra bisnisnya. Untuk memperkuat argumennya Rizal Ramli mendapat dukungan dari hasil kajian dari koleganya di Forum Tujuh Tiga (Fortuga), kumpulan alumnus Institut Teknologi Bandung tahu 1973.
Hasil kajian Fortuga berbeda dengan hasik kajian SKK Migas. Untuk biaya operasi akan menghabiskan sebanyak US$ 7 miliar sedangkan dengan biaya operasi kilang darat hanya US$ 2 miliar. Biaya konstruksi kilang laut akan memakan dana sebesar US$ 22 miliar sementara kilang darat mengabiskan dana sebesar US$ 16 miliar. Rizal Ramli juga berpendapat dengan didirikanya kilang darat dapat berdampak langsung dalam meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat Maluku dan Maluku Selatan. Multiplier effect yang akan timbul juga lebih besar, seperti industri baja, petrokimia, dan pupuk. Beliau juga berpendapat bahwa teknologi yang digunakan terbilang baru karena hanya enam proyek gas alam cair di dunia yang menggunakan teknologi kilang terapung. Bahkan di Indonesia teknologi ini belum ada dan belum ada fasilitas kilang terapung yang secara resmi dioperasikan.
Memang hasil kajian dari dua kubu yang berbeda ini sama seperti dua mata koin yang tidak akan pernah bertemu. Satu sama lain merasa lebih benar dibandingkan yang lain. Memilih kilang laut akan berdampak besar bagi Indonesia, yaitu dengan masuknya teknologi baru akan ada transfer teknologi, kemudian memacu industri galangan kapal untuk berkembang karena untuk memfasilitasi kilang terapung galangan kapal seluas 485 meter sementara di Indonesia saat ini hanya seluas 380 meter. Indonesia adalah negara maritim, inilah saat yang tepat bagi manufaktur perkapalan dan industri berbasis kelautan untuk berkembang dan semakin terpacu berteknologi tinggi dan maju. Jika Presiden memilih kilang terapung sebagai prosedur yang akan digunakan tidak menutup akan banyak investor yang tergiur akan teknologi baru yang mendatangkan keuntungan lebih besar dibandingkan kilang darat.
Hal positif lainnya adalah kilang terapung di laut cocok dengan lokasi Blok Masela yang terpencil dan dengan kilang laut tidak akan memakan lokasi besar. Perlu diketahui pembebasan lahan di Indonesia tidak mudah apalagi jika kabar ini sudah bocor ke para spekulan tanah. Mereka akan membeli murah harga tanah dari warga sekitar dan tidak akan menjual tanah tersebut. Di karenakan lokasi yang dibutuhkan untuk membangun kilang darat terlalu luas yaitu 600 – 800 hektar maka akan memakan waktu lebih lama untuk pembebasan tanah. Akan semakin lama pula pembangunan kilang, produksi kilang, dan akan terus menunda pendapatan negara yang seharusnya diterima jika dari tahun 2010 sudah mendapat persetujuan. Selain itu kilang darat memakan dana yang lebih besar dalam pembangunanyanya, kemudian ada satu hal lagi yaitu kebutuhan pipa sepanjang 600 kilometer yang dibutuhkan karena proyek ini akan menjadi proyek terbesar di Indonesia. Sudah pasti pemerintah akan membuka tender, tetapi siapa lagi yang akan menang? Pemain lama? Atau pihak tertentu yang akan dipentingkan?
Kembali lagi apa tujuan utama pengembangan proyek Blok Masela ini? Jika jawabannya untuk kepentingan rakyat maka Presiden harus melakukan kaji ulang dengan memilih konsultan independen. Pertama, Presiden harus tegas menentukan pembagian keuntungan dan analisis mengenai dampak lingkungan secara cermat. Kedua, Presiden harus membuat persetujuan tertulis yang jelas sampai kapan perjanjian ini berakhir dan berpikir ke depan untuk tidak bergantung dengan teknologi asing karena ini adalah proyek jangka panjang. Ketiga, keuntungan yang diperoleh harus dialirkan untuk melakukan pembangunan tetapi tidak dengan menyerahkan uang kepada pemimpin daerah atau Gubernur, melainkan dalam bentuk barang sehingga jika ada tindak pidana korupsi dapat lebih mudah ditelusuri.
Keputusan Presiden Joko Widodo adalah membangun kilang di darat (onshore) dan diperkirakan Shell Indonesia akan angkat kaki dalam proyek kilang lapangan Abadi tersebut, lantaran dinilai bukan spesialis penyedia teknologi kilang LNG di darat. Keputusan ini diambil Jokowi setelah mempertimbangkan banyak masukan yang diberikan kepadanya. Ujar Jokowi “Oleh sebab dari kalkulasi, dari perhitungan, dari pertimbangan-pertimbangan yang sudah saya hitung, kita putuskan dibangun di darat,". Kilang di laut atau di darat  sama saja asalkan fungsi negara untuk mensejahterakan dan memakmurkan rakyat dapat terpenuhi.
Oleh: Semitta Bungamega | Ilmu Ekonomi 2015 | Staf Kajian Kanopi 2016
Â
Referensi:
Macet Investasi di Lapangan Abadi
Pemerintah Diminta Pilih Opsi Kilang Terapung di Blok Masela Â
Jokowi Akhirnya Putuskan Kilang Blok Masela Dibangun di Darat
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H