Mohon tunggu...
Kasman Lion On The Table
Kasman Lion On The Table Mohon Tunggu... -

So Good, So Nice, Excited... \r\nMaklum lahirnya pada Minggu Pahing 21 Jumadil Akhir 1401 H\r\n\r\nTapi kalau terkesan kasar maklum aja yaa, karena saya alak Medan.\r\n\r\nAktivitas: Camp Conseling Goverment High School, \r\nSedang menempuh pendidikan di Ilmu Komunikasi di Sumatera Utara.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kepentingan Korporasi dalam Media Massa

28 Januari 2014   22:11 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:22 911
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

KEPENTINGAN KORPORASI DALAM MEDIA MASSA

1.Pendahuluan

Ada kecenderungan saat ini kepemilikan media massa lebih banyak dimiliki oleh orang-orang yang berorintasi pada kepentingan politik dan bisnis (ekonomi) semata. Sehingga muncul kekhawatiran media massa cenderung lebih digunakan untuk kepentingan bisnis dan politis pemilik serta kelompoknya yang seringkali berafiliasi dengan partai atau elit politik tertentu. Keadaan tersebut dikhawatirkan membuat media melupakan fungsinya utamanya untuk dapat memenuhi kepentingan informasi dan edukasi bagi masyarakat.

Saat ini ada beberapa media nasional yang dimiliki oleh korporasi yang terjun kedunia politik maupun berafiliasi pada partai politik tertentu:

No

MEDIA MASSA

PEMILIK

Afiliasi Partai Pemiliknya

Televisi Nasional/ Prabayar

Internet

Surat Kabar dan lainya

1

Metro TV

Media Group (Surya Paloh)

NasDem

2

RCTI

MNC Group (Hary Tanoesoedibjo)

HANURA

3

MNC TV

MNC Group (Hary Tanoesoedibjo)

HANURA

4

Global TV

MNC Group (Hary Tanoesoedibjo)

HANURA

5

Sindo TV

MNC Group (Hary Tanoesoedibjo)

HANURA

6

Top TV

MNC Group (Hary Tanoesoedibjo)

HANURA

7

TV One

Group Bakrie (Aburizal Bakrie)

Golkar

8

AVTV

Group Bakrie (Aburizal Bakrie)

Golkar

9

Jak-TV

Group Bakrie (Erick Thohir)

Golkar

10

TRANS TV

CT Corp (Chairul Tanjung

Demokrat

11

TRANS 7

CT Corp (Chairul Tanjung)

Demokrat

12

SCTV

PT. Elang Mahkota (Keluarga Sariatmadja)

13

INDOSIAR

PT. Elang Mahkota (grup Salim)

14

TVRI

Negara/Pemerintah

15

Media Indonesia

Media Group (Surya Paloh)

NasDem

16

Seputar Indonesia

MNC Group (Hary Tanoesoedibjo)

HANURA

17

Trust

MNC Group (Hary Tanoesoedibjo)

HANURA

18

MNC Radio

MNC Group (Hary Tanoesoedibjo)

HANURA

19

Jawa Pos

Multimedia Corp (JPMC)/ PT.Grafiti Pers (Dahlan Iskan)

Demokrat (?)

20

Rakyat Merdeka

PT.Grafiti Pers (Dahlan Iskan)

Demokrat (?)

21

Republika

Group Bakrie (Erick Thohir)

Golkar

22

Radio Parambos

Group Bakrie (Erick Thohir)

Golkar

23

Suara Karya

Group Bakrie

Golkar

24

Vivanews.com

Group Bakrie (Aburizal Bakrie)

Golkar

25

Detik.com

CT Corp (Chairul Tanjung

Demokrat

26

KOMPAS

PT Kompas Media Nusantara (Kel Kompas Gramedia

27

TEMPO

PT Tempo Inti Media Harian (Gunawan Muhammad

Demokrat (?)

28

MetroTv News

Media Group (Surya Paloh)

NasDem

29

Okezone.com

MNC Group (Hary Tanoesoedibjo)

HANURA

Sumber: http://hikmawansp.wordpress.com/2012/12/28/media-massa-milik-partai-politik/

Kepentingan politik dan korporasi ini menyebabkan banyaknya program atau tayangan yang terkesan dipaksakan atau dibuat-buat (misalnya: roadshow/iklan perjalanan politik partai Nasdem, roadshow/iklan kegiatan Politik Hary Tanoe dan Wiranto dengan partai Hanura, tayangan seputar Gubernur Joko Widodo yang sampai diputar di tayangan infotainment, roadshow/iklan politik Abu Rizal Bakrie dan Partai Golkar, kata-kata hikmah Dahlan Iskan di Koran berbasis Multimedia Corps, dll). Program dan tayangan yang demikian cenderung berpotensi merugikan publik karena lama-kelamaan masyarakat akan menjadi jenuh, antipati dan tidak perduli. Jika hal tersebut terjadi maka fungsi media sebagai jembatan informasi dan eduksi untuk masyarakat serta salah satu pilar demokrasi, yaitu pilar keempat demokrasi (the fourth estate) tidak akan terwujud. Karena media tidak lagi menjalankan fungsi mengontrol dan mengkritisi jalannya pemerintahan (kekuasaan) secara maksimal, namun menjadi alat propaganda politik segelitir orang dan korporasi guna mencapai tujuannya.

2.Kebebasan Pers, Kode Etik, dan Intervensi Korporasi

Dalam UU No. 32 tahun 2002 tentang penyiaran disebutkan, Penyiaran diselenggarakan dengan tujuan untuk memperkukuh integrasi nasional, terbinanya watak dan jati diri bangsa yang beriman dan bertakwa, mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum, dalam rangka membangun masyarakat yang mandiri, demokratis, adil dan sejahtera, serta menumbuhkan industri penyiaran Indonesia. (Pasal 3)

Penyiaran diarahkan untuk :

f. menyalurkan pendapat umum serta mendorong peran aktif masyarakat dalam pembangunan nasional dan daerah serta melestarikan lingkungan hidup;

g. mencegah monopoli kepemilikan dan mendukung persaingan yang sehat di bidang penyiaran;

h. mendorong peningkatan kemampuan perekonomian rakyat, mewujudkan pemerataan, dan memperkuat daya saing bangsa dalam era globalisasi;

i. memberikan informasi yang benar, seimbang, dan bertanggung jawab; (Pasal 5).

Dalam Kode Etik Jurnalistik disebutkan,

Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk. (Pasal 1).

Penafsiran

a. Independen berarti memberitakan peristiwa atau fakta sesuai dengan suara hati

nurani tanpa campur tangan, paksaan, dan intervensi dari pihak lain termasuk

pemilik perusahaan pers.

b. Akurat berarti dipercaya benar sesuai keadaan objektif ketika peristiwa terjadi.

c. Berimbang berarti semua pihak mendapat kesempatan setara.

d. Tidak beritikad buruk berarti tidak ada niat secara sengaja dan semata-mata untuk menimbulkan kerugian pihak lain.

Pasal 3, Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah.

Penafsiran

a. Menguji informasi berarti melakukan check and recheck tentang kebenaran informasi itu.

b. Berimbang adalah memberikan ruang atau waktu pemberitaan kepada masingmasing pihak secara proporsional.

c. Opini yang menghakimi adalah pendapat pribadi wartawan. Hal ini berbeda dengan opini interpretatif, yaitu pendapat yang berupa interpretasi wartawan atas fakta.

d. Asas praduga tak bersalah adalah prinsip tidak menghakimi seseorang.

Dalam Pedoman Perilaku Penyiaran Dan Standar Program Siaran Komisi Penyiaran Indonesia No. 9 tahun 2004 dalam Bab V Siaran Pemilihan Umum Dan Pemilihan Kepala Daerah, disebutkan; Pasal 63:

3. Lembaga penyiaran wajib bersikap adil dan proporsional terhadap para peserta pemilu dan pilkada.

4. Lembaga penyiaran dilarang bersikap partisan terhadap salah satu peserta pemilu dan pilkada.

5. Peserta pemilu dan pilkada dilarang membiayai atau mensponsori program yang ditayangkan lembaga penyiaran.

Menurut Siti Aminah (Jurnal: Politik Media, Demokrasi dan Media Politik, hal 4 – 5), terdapat 3 (tiga) pelaku dalam politik media, ialah politisi, jurnalis, dan orang -orang yang digerakkan oleh dorongan (kepentingan) khususBagi politisi, tujuan dari politik media adalah dapat menggunakan komunitas massa untuk memobilisasi dukungan publik yang mereka perlukan untuk memenangkan pemilihan umum dan memainkan program mereka ketika duduk di ruangan kerja. Bagi jurnalis, tujuan politik media adalah untuk membuat tulisan yang menarik perhatian banyak orang dan menekankan apa yang disebutnya dengan “suara yang independen dan signifikan dari para jurnalis”. Bagi masyarakat, tujuannya adalah untuk keperluan mengawasi politik dan menjaga politisi agar tetap akuntabel, dengan menggunakan basis usaha yang minimal. Tujuan tersebut merupakan sumber ketegangan konstan yang ada di ketiga aktor tadi. Politisi menghendaki para jurnalis untuk bertindak sebagai pembawa berita yang netral dalam statemen mereka dan dalam rilis pers. Sementara para jurnalis tidak ingin menjadi tangan kanan pihak lain; mereka lebih berharap untuk bisa membuat kontribusi jurnalistik khusus untuk berita, dimana mereka dapat menyempurnakannya dengan menggunakan berita terkini, investigasi, dan analisis berita yang sangat dibenci oleh kalangan politisi. Jurnalis menilai “suara jurnalistik”, paling tidak, sama besarnya dengan para pembaca dalam jumlah besar, dan para jurnalis ini sama sekali tidak ingin membantu politisi untuk menerbitkan berita mereka kepada publik. Jika jurnalis selalu saja melaporkan berita yang dikehendaki politisi, atau hanya melaporkan berita politik yang sesuai dengan keinginan pembaca, maka jurnalisme hanya akan menjadi profesi yang kurang menguntungkan dan kurang memuaskan bagi praktisinya, atau bahkan bukan lagi menjadi sebuah profesi. Pada dasarnya pihak publik menginginkan untuk mengawasi jalannya politik dan menjaga agar politisi tetap akuntabel dengan upaya yang minimal. Dan dikarenakan adanya kejenuhan pihak politisi dan para jurnalis yang bersaing untuk mendapatkan perhatian publik dalam pasar yang kompetitif, publik cenderung mendapatkan bentuk komunikasi politik yang mereka inginkan. Namun ini tidak berlaku seluruhnya. Kepentingan yang telah melekat pada diri politisi untuk mengontrol muatan berita politik, berpadu dengan kepentingan jurnalis untuk membuat kontribusi yang independen dalam berita, akan menciptakan ketegangan dan distorsi yang cukup besar. Pendekatan untuk mempelajari politik media terdiri dari dua poin utama. Pertama, seperti yang telah dibahas, ini akan berfokus pada kepentingan -diri yang berbeda dari para partisipan dan bagaimana mereka membentuk sifat politik media. Ini merupakan titik awal yang dari kebanyakan studi tentang politik media, yang cenderung melihat politik media melalui prisma teoritis yang berbeda. Satu riset media yang besar berfokus pada nilai dan konvensi jurnalis, seperti kesenangan mereka untuk meliput persaingan politik (Patterson, 1993; Lichter, Rothman dan Lichter, 1986), ataupun kegiatan rutin dimana reporter mengatur kerja mereka (Cohen, 1962; Sigal, 1973; Epstein, 1973; Gans, 1980). Poin penting dalam riset yang lain adalah penekanan pada sistem simbol ik dari politik media, terutama dalam penciptaan ilusi, citra, dan kaca mata yang dapat menyamarkan gambaran realitas (Edelman, 1980; Bernett, 1996).

Dalam studi tentang penyiaran sebagai komunikasi massa mesti melihat berbagai teori efek komunikasi massa. Diantara teori yang menjelaskan hal tersebut adalah teori stimulus-respons, teori two step flow dan teori difusi inovasi (Sendjaja, 1998: 188 dalam Mufid, 2007: 22). Dalam difusi inovasi terdapat paradigma liberal yang merupakan antithesis paradigma otoriter, paradigma ini menjelaskan bahwa penyiaran tidak lagi menjadi alat pemerintah, dan bisa dimiliki secara pribadi. Namun, hukum industrial membuat kepemilikan media hanya menjadi otoritas para pemodal besar. Kepemilikan pemodal pertama-tama adalah akumulasi keuntungan dan privilege sosial-politik dan kalau perlu – baru kemudian kritik sosial. Dalam sistem liberal, kontrol terhadap media penyiaran ada di tangan para pemilik modal. Dunia penyiaran Indonesia dan penyiaran dunia sekarang ini secara keseluruhan terpengaruh oleh iklim media penyiaran (Mufid, 2007: 24)

3.Pembahasan

Dalam percaturan politik ekonomi skala internasional maupun nasional tidak dapat dipungkiri bahwa media massa mainstream dikuasai oleh para pemilik modal dan digunakan untuk kepentingan para pemilik modal.

Mahendra (2013) menyebutkan bahwa, di dalam negeri media massa dikuasai oleh 12 kelompok media besar. Mereka adalah MNC Group, Kelompok Kompas Gramedia, Elang Mahkota Teknologi, Visi Media Asia, Grup Jawa Pos, Mahaka Media, CT Group, BeritaSatu Media Holdings, Grup Media, MRA Media, Femina Group dan Tempo Inti Media. Ditambah dengan Bisnis Indonesia Group (Harian Bisnis Indonesia, Majalah Business Weekly), Solopos/ Radio, Bali TV (Bali TV dan 10 TV Lokal), Pos Kota Grup (Jakarta dan Koran Rakyat), Pikiran Rakyat Group(penguasa Jawa Barat), termasuk group online baru: Kapanlagi.com dan merdeka.com.

Mahendra (2013) melanjutkan MNC Group di bawah Hary Tanoe (HT) memiliki tiga kanal televisi juga 20 jaringan televise lokal dan 22 jaringan radio dibawah SindoRadio. Grup Jawa Pos dibawah Dahlan Iskan memiliki 171 perusahaan media cetak termasuk Radar Group. KOMPAS, surat kabar nasional berpengaruh saat ini melakukan ekspansi dengan mendirikan penyedia konten yaitu KompasTV, disamping 12 penyiaran radio di bawah Radio Sonora, dan 89 perusahaan media cetak lainnya. Visi Media Asia telah memiliki dua saluran televisi (ANTVdan tvOne) serta media online yang berkembang dengan pesat vivanews.com. Sebuah perusahaan media di bawah Grup Lippo yakni Berita Satu Media Holding, telah mendirikan Internet Protocol Television (IPTV). BeritaSatuTV, kanal media online beritasatu.com dan juga memiliki sejumlah surat kabar dan majalah (http://www.theglobal-review.com).

Maka hampir dipastikan HT memanfaatkan MNC Group, ARB dengan Viva Groupnya serta Surya Paloh dengan Media Group menggunakan media massa milik mereka untuk menaikan profil dan propaganda politik mereka dalamrangka Pemilu 2014 nanti. Demikian juga bagaimana media massa saling ‘menghajar’ dengan membongkar berbagai borok (korupsi, skandal ataupun kebohongan) lawan politik mereka sementara menyembunyikan kebobrokannya sendiri. Namun pada satu sisi terkesan memiliki musuh bersama terhadap lawan politik/idiologi yang tidak memiliki media atau tidak melakukan ‘pembelian citra’ melalui media.

Mereka yang menguasai media massa tidak bisa dilepaskan dari fakta bahwa mereka juga memiliki kekuatan ekonomi dan atau bahkan kekuatan politik yang besar, seperti perusahaan retail (Chairul Tanjung), asuransi (HT), partai politik (HT, ARB dan Suryo Paloh), dsb. Demikian juga mereka yang bekerja di media massa mendapatkan upah dari para pemilik media massa. Dengan begitu maka kepentingan ekonomi politik mereka sebagai pemilik modal disebarkan melalui media massa yang mereka miliki agar tetap bertahan dan terus menjadi hegemoni ideologi yang dominan.

Dalam keadaan ini dapatlah kita saksikan berbagai pelanggaran terselubung terhadap peraturan perundangan, UU Penyiaran, Kode Etik Jurnalistik, serta aturan KPI. Antara lain berupa pemberitaan yang tidak berimbang dalam memberitakan baik memperkaya ataupun menutupi suatu objek berita.

Daftar Referensi

Adelina, Monica Dian. 2013. KEPENTINGAN POLITIK DAN KORPORASI MENGANCAM EKSISTENSI MEDIA SEBAGAI PILAR KEEMPAT DEMOKRASI. http://interseksi.org/blog/files/filantropi_media.php

Aminah, Siti. POLITIK MEDIA, DEMOKRASI DAN MEDIA POLITIK. Journal Fisip Unair: Surabaya.

Keputusan Komisi Penyiaran Indonesia Nomor 9 Tahun 2004 Tentang Pedoman Perilaku Penyiaran Dan Standar Program Siaran.

Kusumawardhana, Ignatius Mahendra. 2013. MEDIA MASSA DALAM KAPITALISMEhttp://www.theglobal-review.com/content_detail.php? lang=id&id=12251&type=120#.UmdK0XBHITy

Mufid, Muhammad. 2007. KOMUNIKASI DAN REGULASI PENYIARAN. KENCANA PRENADA GROUP: Jakarta.

Peraturan Dewan Pers No. 6 Tahun 2008 tentang Kode Etik Jurnalistik.

Undang Undang Republik Indonesia No 32 tahun 2002 Tentang Penyiaran.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun