Mohon tunggu...
Kanisius Kami
Kanisius Kami Mohon Tunggu... -

Aku apa adanya..... Aku ada apanya..... Aku ada dan berada.... Semoga berguna bagi sesama....

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Hobbit 'Ebu Gogo', Antara Kanibalisme, Fakta dan Legenda

26 Februari 2016   17:44 Diperbarui: 26 Februari 2016   20:54 2563
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

Oleh: Kanisius Kami & Robert Eppedando

[caption caption="Ebu Gogo, Homo Floresiensis"][/caption]

Ebu Gogo merupakan cerita rakyat yang berasal dari Nagekeo - Flores - NTT. Tidak seperti cerita rakyat tentang Sangkuriang dari Jawa Barat dan Maling Kundang dari Sumatra Barat, cerita tentang Ebu Gogo belum banyak dikenal masyarakat Indonesia. Meski demikian, cerita rakyat tentang Ebu Gogo telah mendunia melalui film “The Cannibal in The Jungle” dan novel “Legends of the Ebu Gogo”. Cerita Ebu Gogo mencuatkan misteri antara kanibalisme, legenda dan fakta.

Adalah Dr. Gregory Forth.  Dalam bukunya dengan judul “Images of the Wildman in Southeast Asia: An Anthropological Perspective” ia menulis tentang Ebu Gogo sebagai berikut :

Ebu Gogo were like humans: they walked erect and did not have tails, but were covered in hair and their faces resembled a monkey or an orang utan, with large canine teeth. The females had long breasts – so long that they carried them over their shoulders and suckled their infants from behind. Ebu gogo were shorter than people, just over one metre, but they were exceptionally strong and very powerful runners; humans were unable to catch them.

There were perhaps as many as fifty ebu gogo living in Lia Ua, a cave about a kilometer upslope of the old village of ‘Ua; the cave was very large and contained a passage, perhaps a kilometer in length, that led to an eastern exit. Ebu gogo knew no tools or weapons; nor did they use fire. They ate their food raw. They never bathed and therefore smelled very bad; people could detect them by their smell. Ebu gogo stole corps from the gardens and field huts of ‘Ua people. They would sometimes appear at feasts held in ‘Ua village and in smaller subsidiary settlements. People would then give them food, which they would swallow whole. Being greedy and uncultivated, they also swallowed vessels made of gourd and coconut shells. When attending these feasts, the ebu gogo would perform a kind of circle dance, by themselves and separately form their hosts. They were able to speak, but their speech was different from Nage and difficult to understand. 

Once a female ebu gogo was caught stealing from the fields of an ‘Ua ancestor named Huma Leli. Before beginning her foray, she left her infant in Huma’s field hut; and when he later returned and discovered the small creature, he promptly stabbed it to death with a palm rib. The mother then came back to collect her baby, but was set upon by Huma Leli’s dogs. Ebu gogo were scared of dogs; they were also frightened of bamboo head combs. Addressing Huma by name, the female ebu gogo exclaimed that his dogs had bitten her child to death. She then fled with the dead infant.

Because of their thieving ways, the ‘Ua people later decided to exterminate the ebu gogo. Once, after the creatures had attended a feast, ‘Ua men waited until the ebu gogo had all returned to their cave. They then sealed the cave’s eastern exit and tossed a large quantity of arenga palm fibre, 500 bales in all, into the entrance at Lia Ula. This, they told the ebu gogo, was for them to use as sleeping mats; but being stupid, the creatures mistook the fibre for clothing. In the last bale of fibre the ‘Ua men inserted a firebrand, thus causing a conflagration that killed the ebu gogo inside the cave. Only a male and female pair, who had been out searching for food, were able to escape destruction. They fled to Mount Ua, in the region of Tana Wolo. After the ebu gogo were exterminated a great mass of maggots emereded from Lia Ua and crawled for half a kilometer, before dying in the heat of the sun.

(Ebu Gogo mirip manusia: mereka berdiri tegak dan tidak punya ekor namun badan mereka berbulu dan wajah mereka mirip kera dan orang utan, dengan gigi taring yang besar. Yang perempuan punya susu yang panjang - begitu panjang sehingga susu mereka bisa dibentangkan di bahu dan anak mereka boleh susu dari belakang. Ebu Gogo hanya punya tinggi satu meter tapi mereka sangat kuat dan lari sangat kencang, jadi manusia tidak bakal bisa mengejar dan menangkap mereka.

Mungkin sekitar 50 orang Ebu Gogo hidup di gua Lia 'Ua, satu kilometer dari kampung asli 'Ua. Gua itu sangat besar dan punya lorong masuk hingga satu kilometer panjangnya menuju pintu keluar bagian timur. Ebu Gogo tidak mengenal alat-alat atau perkakas atau senjata, juga tidak mengenal api. Mereka makan mentah makanan yang mereka dapati, tidak pernah mandi jadi bau badan luar biasa. Manusia bisa mendeteksi mereka lewat bau. Ebu Gogo mencuri makanan dari kebun dan gubuk orang 'Ua. Kadang-kadang mereka muncul di tempat pesta di kampung 'Ua atau permukiman-permukiman kecil di sekitar. Orang-orang di kampung lalu memberi makanan untuk bangsa Ebu Gogo ini, mereka lalu makan semuanya.

[caption caption="Ebu Gogo. Homo Floresiensis"]

[/caption]

Karena rakus dan tidak mau menanam, bangsa Ebu Gogo juga mencaplok perahu yang berisi labu dan kerang kelapa. Saat menghadiri pesta, Ebu Gogo mempertunjukkan sejenis tarian dengan formasi melingkar. Mereka bisa bicara namun berbeda dengan bahasa orang Nage sehingga sulit dimengerti.

Suatu saat, seorang Ebu Gogo perempuan ditangkap saat mencuri di wilayah salah satu leluhur 'Ua bernama Huma Leli. Sebelum memulai perampokan, dia meninggalkan bayinya di gubuk milik Huma; dan ketika itu Huma pulang ke gubuknya dan menemukan bayi itu. Huma lalu menikam mati bayi Ebu Gogo itu dengan dahan sawit. Ibu dari bayi itu akhirnya datang untuk mengambil bayinya tapi kaget karena digongong anjing. Ebu Gogo sangat takut dengan anjing. Mereka juga takut pada sisir rambut kepala yang terbuat dari bambu. Ebu Gogo perempuan itu lalu berteriak bahwa anjing Huma telah menggigit mati bayinya lalu melarikan diri sambil membawa bayinya yang telah mati itu.

Akibat cara hidup mencuri itu, orang 'Ua kemudian memutuskan untuk membasmi Ebu Gogo. Suatu ketika, setelah Ebu Gogo menghadiri sebuah pesta, kelompok laki2 'Ua menuggu hingga seluruh Ebu Gogo telah kembali ke gua mereka. Orang-orang 'Ua tadi lalu menutup pintu keluar bagian timur dan melempar sekitar 500 koli ijuk di pintu masuk Lia 'Ua. Mereka bilang Ebu Gogo untuk menggunakan ijuk-ijuk buat alas tidur atau tikar.

Karena bodohnya, Ebu Gogo justru membungkus ijuk-ijuk itu pada badan mereka. Setelah semuanya membungkus ijuk di badan, orang 'Ua lalu melempar puntung berapi ke arah Ebu Gogo, tentu kebakaran besar di tempat itu tak terhindarkan, seluruh Ebu Gogo mati terpanggang dalam gua.

Hanya menyisakan sepasang Ebu Gogo karena mereka sedang pergi mencari makanan. Sepasang Ebu Gogo ini melarikan diri ke gunung 'Ua, di wilayah Tana Wolo. Setelah Ebu Gogo dibasmikan, segerombolan besar belatung keluar dari gua Lia 'Ua dan merayap hingga setengah kilometer, lalu akhirnya mati tersengat panas matahari.)

Kisah Menyeramkan “Ebu Gogo” Dalam Film “The Cannibal in the Jungle”

"The Cannibal in the Jungle" merupakan film gabungan antara realita, sejarah, legenda, dan fiksi murni.berformat dokumenter dengan gendre horor. Film ini dirilis di Amerika Serikat pada Pekan Rakasasa Animal Planet, 27 April 2015 yang lalu.

Pembuatan film ini mengacu pada kisah nyata dan kesaksian Dr. Timothy Darrow tentang sekelompok makhluk kanibal menyerupai manusia yang sangat misterius dan menyeramkan. Makhluk ini bertubuh pendek, kulitnya berbulu, berjalan layaknya manusia tapi agak kaku. Mereka mampu bergelantungan dari dahan ke dahan yang lain seperti monyet raksasa dan sangat berbahaya serta mematikan. Makluk ini diduga sebagai Ebu Gogo dalam cerita rakyat Nagekeo – Flores Tengah.

Film ini juga terinspirasi oleh temuan ilmiah dan menakjubkan tentang Homo FLORESIENSIS atau hobbit serta tulang-tulangnya yang telah berusia 13.000 tahun di Liang Bua, Manggarai - Flores pada tahun 2003 oleh sejumlah arkeolog.

[caption caption="Dr Gary Ward, Dr Timoty Darrow dan Drajat “Reggie” Suputra. Peneliti spesies burung langka, khususnya spesies ‘Flores Scops Owl’ – burung hantu endemic Flores di kawasan Ebu Lobo tahun 1977 "]

[/caption]

Film dengan durasi sekitar satu setengah jam ini juga dibuat atas data historis kesaksian Dr Timoty Darrow, seorang peneliti dan ilmuwan burung (ornithologist) asal Amerika, yang lolos dari terkaman dan pembantaian bobbit Ebu Gogo di sekitar kampung ‘Ua lama - Ebu Lobo - Flores tahun 1977 yang lalu.

Dalam kesaksiannya, Timothy mengatakan tatkala dia dan dua temannya sedang membuat rumah pohon untuk meneliti burung-burung di gunung Ebu Lobo, mereka melihat jejak-jejak kaki mirip manusia. Mereka penasaran dan menelusurinya lebih jauh. Timothy dan dua rekannya sempat mengabadikan hobbit yang diduga Ebu Gogo itu dalam beberap momen yakni saat salah satu Ebu Gogo sedang berjalan di salah satu lembah (kali), berjalan dan melompat di atas pohon dan saat segerembolan Ebu Gogo ada diatas bukit jauh di dalam hutan.

Namun, sekonyong-konyong, mereka diserang kawanan Ebu Gogo. Timothy sempat mengabadikan momen penyerangan yang menyeramkan itu dari atas pohon. Sayangnya, kedua rekannya tewas seketika diterkam, dicabik-cabik dan dimakan Ebu Gogo. Timothy sendiri hampir tewas dalam penyerangan itu. Pelipisnya luka cabik dan kedua telapak tangannya sobek dicakar Ebu Gogo. Ia sempat melarikan diri dan diselamatkan oleh warga kampung sekitar.

Kisah Timothy ini menjadi kontroversial hingga kini, karena tak ada saksi lain yang melihat dan ikut menyaksikan momen penyerangan hobbit Ebu Gogo yang menyeramkan itu.

Film ini juga diangkat untuk mengenang jasa dan karya Timothy dan kedua rekannya, yang adalah peneliti spesies burung langka, khususnya spesies ‘Flores Scops Owl’ – burung hantu endemic Flores di kawasan Ebu Lobo.

Film ini juga mendukung kesaksian Timothy, bahwa dia bukanlah pelaku pembunuhan dan kanibalisme kedua rekanya, seperti yang dituduhkan kepadanya, melainkan Ebu Gogo pelakunya--- membunuh Dr. Gary Ward (sesama ornithologist)  dan Drajat “Reggie” Saputra (peneliti Indonesia). Timothy akhirnya dijatuhi hukuman semumur hidup hingga menemui ajalnya di penjara Kerobokan, Denpasar, Bali pada 3 Februari 2013 lalu.

[caption caption="Jasad Drajat “Reggie” Saputra yang dituduh dibunuh dan dimakan oleh Dr. Timothy Darrow temannya. Meski Timothy mengatakan bahwa Drajat dan Gary diterkam oleh makhluk yang diduga Ebu Gogo"]

[/caption]

Kasus ini sempat menggemparkan Indonesia dan dunia tahun 1977. Kanibalisme yang dituduhkan kepada Timothy telah menyebabkan demo besar-besaran dan pembakaran bendera Amerika di Kedutaan Amerika. Berbagai koran menurunkan berita bahwa Timothy membunuh dan memakan temannya sendiri. Tak heran ada koran menurunkan berita ini dengan judul “American Cannibal: Guilty!”.

Semua properti milik Timothy diteliti tim Australia, sebelum Animal Planet Film merilis film ini. Kameranya berhasil ditemukan di kawasan kampung Ua, sembilan bulan sebelum Timothy wafat.

Proyek film ini ditangani oleh tim dari Australia bekerja sama dengan beberapa pihak terkait. Beberapa properti etnik Nagekeo juga digunakan dalam film tersebut atas kebaikan Helena Muga, kakak kandung Fransiskus Muga, yang sempat ke Filipina membawa pakaian adat Nagekeo, yang digunakan dalam adegan film oleh kepala kampung sekaligus menjadi penterjemah dalam kisah film tersebut. Karena ada beberapa teks asli bahasa Nage, Boawae harus diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, yang membutuhkan bantuan Helena, asal Nagekeo.

Sayangnya, film ini memilih lokasi shooting di Filipina Selatan dengan banyak dialek Tagalog, bukan di Boawae, di Kampung Ua, Nageoga, salah satu tempat di mana Ebu Gogo pernah menetap di sana. Tetapi, unsur Nagekeo seperti properti pakaian etnik Nagekeo dan beberapa dialog bahasa Nage, yang diterjemahkan ke bahasa Inggris ada dalam adegan film ini.

Antara Fakta Dan Legenda

Cerita tentang Ebu Gogo bisa jadi hanya sebuah legenda yang berkembang di Nagekeo – Flores. Cerita ini melekat erat dengan masyarakt Nagekeo puluhan bahkan ratusan tahun. Tapi, jika kesaksian Timothy Darrow benar-benar terjadi maka cerita tentang Ebu Gogo bukan lagi sebuah legenda tapi FAKTA.

Pembelaan dan kesaksian Timothy di pengadilan kala itu (tahun 1977) terbilang sangat lemah. Pertama, karena tidak ada seorangpun yang ikut menyaksikan peristiwa menyeramkan yang berujung pada kematian Gary Ward dan Drajat “Reggie” Saputra temannya. Timothy tidak saja dituduh membunuh tetapi memakan temannya sendiri.

Kedua, belum ada temuan atau penelitian sebelumnya yang membuktikan bahwa makhluk dengan ciri-ciri seperti dikisahkan dalam cerita rakyat sebagai Ebu Gogo benar-benar ada atau fakat.  

Namun, kesaksian Timothy layak dipertimbangkan kembali setalah temuan ilmiah dan menakjubkan tentang Homo FLORESIENSIS atau hobbit (manusia kerdil – pendek) serta tulang-tulangnya yang telah berusia antara 94.000 hingga 13.000 tahun di Liang Bua, Manggarai - Flores pada tahun 2003 yang lalu.

Penggalian arkeologi di Liang Buah yang dialakukan oleh tim Pusat Penelitian Arkeologi Nasional yang dipimpin oleh Raden Pandji Soejono bekerja sama dengan Australia yang dipimpin oleh Mike Morwood dari Universitas New England setidaknya telah mengguat kembali tuduhan yang diarahkan kepada Timothy Darrow. Dalam penggalian ini mereka menemukan 9 kerangka manusia kerdil. Salah satunya diperkirakan perempuan setinggi 100 sentimeter (cm).

[caption caption="Homo Floresiensis, penemuan arkelogi di Liang Bua - Manggarai - Flores"]

[/caption]

Penemuan ini sempat menjadi kontroversi di kalangan para ahli arkeologi. Sejumlah ilmuwan menganggap bahwa "The Hobbit" merupakan anggota spesies Homo erectus. Hanya saja, "The Hobbit" mengalami isolasi dan evolusi sehingga mengecil.

Karaena itu, Antoine Balzeau, ilmuwan dari Natural History Museum Perancis meneliti ulang tulang belulang "The Hobbit". Dia bekerja sama dengan Philippe Charlier, ahli misteri medis kuno dari Paris Descartes University seperti dilansir Kompas.Com (16/2/2016).

Dengan menggunakan teknologi pemindaian tinggi, Balzeau dan Charlier menganalisis tulang tengkorak manusia yang ditemukan di Liang Bua, Flores, itu. "Sejauh ini, kami mendasarkan kesimpulan pada gambar yang belum banyak dilihat sebelumnya," kata Balzeau seperti dikutip Telegraph, Selasa (16/2/2016).

Balzeau mengatakan, ada banyak informasi yang terdapat pada setiap lapisan tulang tengkorak. Namun, dia mengatakan, "Tak ada karakteristik dari spesies kita."

Meskipun menemukan tanda-tanda adanya penyakit, Balzeau dan Charlier tak menemukan tanda penyakit itu berhubungan dengan kelainan genetik yang menyebabkan kekerdilan.

Jika kesimpulan Balzeau dan Charlier diterima sebagai kebenaran maka kesaksian Dr. Timothy Darrow bahwa dan dua temannya (Dr. Gary Ward  dan Drajat “Reggie” Saputra) diserang hobbit Ebu Gogo (manusia bertubuh kerdil atau pendek) adalah sebuah KEBENARAN dan FAKTA.

Ada tiga kesimpulan yang bisa ditari dari film The Cannibal in The Jungle, kesaksian Dr Timothy Darrow dan penggalian arkeologi di Liang Buang tentang Homo Floresiensis.

Pertama, hobbit Ebu Gogo benar-benar hidup dan pernah ada di Flores. Itu berarti hobbit Ebu Gogo tidak sekedar ceita rakyat atau legenda saja. Mereka diperkirakan masih menghuni gua-gua bawa tanah disekitar kampung Rua (Ua), kaki gunung Ebo Lobo - Boawae. Dan, kemungkinan besar mereka juga mendiami beberapa gua lain di Nagekeo dan daerah lain di Flores.

Kedua, kalua Ebu Gogo pernah hidup dan ada di Flores maka kesaksian Dr. Timothy Darrow tentang penyerangan hobbit Ebu Gogo tahun 1977 benar-benar terjadi. Karena itu, pemerintah Indonesia harus segera merehabilitasi nama baik Dr. Timothy Darrow sebagai canibalist. Selain itu, perlu dilakukan kajian dan penelitian lebih jauh tentang keberadaan hobbit Ebu Gogo ini.

Ketiga,  jika Ebu Gogo sungguh NYATA dan masih hidup hingga tahun 1977, maka masyarakat Flores secara khusus masyarakat Nagekeo, harus sangat berhati-hati jika ingin menelusuri hutan-hutan rimba dan gua-gua yang ada di Flores karena hobbit Ebu Gogo diperkirakan masih hidup hingga saat ini.

Keempat, perlu dicatat bahwa kanibalisme di Flores dilakukan oleh species hobbit Home Floresiensis bukan species homo erectus atau homo sapiens atau yang lebih dikenal sebagai manusia Flores modern yang hidup di Flores saat ini. Jadi, manusia Flores modern saat ini bukan pembunuh dan pemakan manusia (cannibal).

Kisah “Hobbit EBU GOGO dari Gunung EBU LOBO” bisa menjadi DESTINASI UNGGULAN PARIWISATA Nagekeo - Flores dengan memperkuat narasi serta publikasinya.

 

  • Dr. Gregory Forth, Images of the Wildman in Southeast Asia: An Anthropological Perspective. 2008. London: Routlege. Pp. 12-13.
  • Film The Cannibal in the Jungle disutradarai oleh Simon GEORGE,  sementara TIMOTHY Darrow perankan oleh RICHARD Brake. Film ini diproduksi tahun 2015 oleh Animal Planet Film

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun