Demikian judul sebuah situs berita kriminal Australia www.residentsagainstcrimes.com pekan lalu yang mengulas sikap pemerintahnyaterkait pemberian visa kepada seorang napi yang masih sedang menjalani 3 tahun hukuman penjara.
Yang menarik dari berita itu, napi dimaksud ternyata Alfons Pirimapun (32 tahun), warga Papua yang dihukum tiga tahun penjara lantaran terbukti memperkosa dua wanita Australia di North Queensland. Alfons adalah salah satu dari 43 orang Papua yang tahun 2006 lalu kabur dari kampung halamannya di Kab. Asmat untuk meminta suaka politik dari Pemerintah Australia.
Vonis tiga tahun penjara itu dijatuhkan kepadanya tahun 2009 oleh County Courtsetempat. Namun ketika masa hukumannya baru berjalan 18 bulan, ia mendapat pembebasan bersyarat lalu pindah ke Viktoria setelah mendapatkan kembali visanya.
Publik baru tahu ikhwal pemberian kembali visa kepada Pirimapun itu dua pekan lalu ketika Pirimapun kembali disidangkan di Country Court Melbourne karena melakukan kejahatan yang sama. Kali ini korbannya adalah wanita Melbourne berusia 20-an tahun.
Media Australia menulis, sekitar 20 menit Alfons memperhatikan perempuan berusia 20-an melalui jendela kamar yang terbuka, lalu menyelinap masuk ke dalam rumah . Ketika korban terbangun, ia menemukan Alfons di tempat tidurnya dengan tangan di celananya pada Melbourne Cup Day tahun lalu. http://www.residentsagainstcrimes.com/
Media lain, Herald Sun menulis, visa yang diberikan kepada Pirimapun itu seakan memberinya jalan untuk memperkosa wanita lain di Melbourne. Salah satu korban perbuatan Pirimapun di Queensland mengatakan kepada Herald Sun, ia juga diserang secara seksual oleh Pirimapun di kamarnya di malam hari saat ia sedang tidur di samping pasangannya.
Jumat (6/9/2013) pekan lalu, Alfons kembali disidangkan. Sejauh ini media Australia belum meng-up date hasil sidang itu. Namun media sedang ramai mengangkat “kemarahan” para korban pemerkosaan Alfons itu yang menuntut Pemerintah menjelaskan mengapa pelaku kambuhan penyerangan seksual tetap diizinkan untuk tinggal di Australia.
Hingga kini Menteri Imigrasi federal Tony Burke belum mengomentari mengapa visa Pirimapun itu tidak dibatalkan setelah ia dihukum karena penyerangan seksual di Queensland.
Pelajaran Berharga dari Kasus Alfons Pirimapun
1.Ada yang salah dengan sistem hukum Australia? Saya tidak tahu persis seperti apa peraturan imigrasi yang berlaku di negeri Kangguru itu. Apalagi peraturan khususnya bagi seorang pengungsi yang mendapatkan suaka politik. Namun dari tuntutan para korban itu menjadi jelas bagi kita bahwa visa seorang pengungsi seperti yang dimiliki Alfons Pirimapun itu semestinya sudah dibatalkan, dan yang bersangkutan segera dideportasi ke negara asalnya.
2.Sebagai sesama orang Papua, perbuatan amoral Pirimapun itu tentu saja membuat kami malu. Daripada keberadaannya di Australia menimbulkan banyak masalah dan Menteri Imigrasi federal Tony Burke menjadi tidak nyaman karena “diadili” warganya sendiri, lebih baik kirim pulang Pirimapun ke kampung halamannya di Asmat. Bila perlu, jangan hanya Pirimapun, tetapi juga ke-43 warga Papua lainnya yang dulu ikut mengungsi bersama Pirimapun ke Australia.
3.Jangan ada lagi orang-orang yang membawa warga Papua untuk minta suaka ke Australia. Tidak benar bahwa di kampung halaman kami di Papua, termasuk di kampung halaman Pirimapun di Asmat ada intimidasi dan dikejar-kejar aparat keamanan. Itu hanya cerita bikinan orang-orang yang menyelundupkan Pirimapun dkk ke pemerintah Australia supaya mereka cukup alasan untuk mendapatkan suaka politik. Kami di sini baik-baik saja.
4.Alfons Pirimapun telah memberikan pelajaran berharga bagi kami orang Papua untuk mentaati hukum yang berlaku di negeri ini, ataupun di negara mana saja dimana kita berada. Tidak ada negara tanpa hukum. Kalaupun benar sebelum mengungsi ke Australia Pirimapun pernah berurusan dengan aparat keamanan, tentu ada indikasi Pirimapun telah melakukan pelanggaran hukum.Apa bedanya dengan aparat keamanan di Australia? Prinsipnya sama : semua yang melanggar hukum dan kenyamanan warga langsung berhadapan dengan aparat hukum. Australia sudah membuktikannya kepada Pirimapun.
Semoga tulisan sederhana ini bisa mencerahkan, khususnya bagi saudara-saudara saya orang Papua yang suka melanggar hukum. Bahwa hukum itu penting dalam rangka menciptakan masyarakat yang tertib dan nyaman. Tanpa hukum, masyarakat akan berubah anarkis. Maka hormatilah dan patuhilah hukum. Semoga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H