[caption id="attachment_263895" align="aligncenter" width="578" caption="ilustrasi : metrotvnews.com"][/caption]
Menyambut kedatangan kelompok aktivis Papua Merdeka dari Australia yang tergabung dalam “Freedom Flotilla”, Rabu pekan lalu para aktivis Papua merdeka di kota Sorong menggelar ibadat syukur di aula Maranatha Remu, Sorong. Usai kebaktian, tiga pentolan aktivis langsung digiring ke Mapolres Kota Sorong untuk diperiksa.
Ketiga tokoh itu salah satunya adalah AS, alias Apolos Sewa yang saat ini menjabat Ketua Dewan Adat Papua (DAP) Sorong. Mereka dibawa petugas Polres Sorong karena melakukan pengibaran bendera Bintang Kejora di aula Maranatha sehabis ibadat syukur itu.
Saya menilai apa yang dilakukan oleh petugas Polres Sorong sudah sesuai dengan fungsinya untuk memberikan rasa aman kepada warga Sorong, khususnya kepada jemaat gereja. Sudah tepat pula ketiga orang itu dikenakan Pasal 106 juncto 110 KUHP tentang Perbuatan Makar.
Sebaliknya saya tegas menolak sikap para pengurus DAP yang menjadikan tempat ibadat (gereja) untuk kegiatan politik. Toh masih banyak tempat lain kalau hanya sekadar mengibarkan bintang kejora. Kenapa harus dalam lingkungan gereja?
Dalam agenda politik legal saja, calon legislatif, calon kepala daerah, maupun calon presiden tidak boleh menggunakan tempat ibadat untuk kegiatan kampanye. Apalagi kegiatan politik Papua merdeka yang jelas-jelas bertentangan dengan undang-undang NKRI.
Semoga aksi-aksi konyol seperti dalam insiden Sorong ini tidak terjadi lagi di semua gereja di Tanah Papua.Dan media asing tak perlu mempolitisasi penangkapan ketua DAP Sorong ini sebagai pelanggaran HAM. Ini sama sekali tak ada hubungannya dengan HAM. Tetapi semata-mata karena salah tempat saja. Semoga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H