Mohon tunggu...
Kanis WK
Kanis WK Mohon Tunggu... -

Pelayan Umat di Mindiptana, dan guru keliling di Merauke.\r\nPeduli pada masalah sosial dan kesejahteraan orang kecil

Selanjutnya

Tutup

Politik

Mengenang 50 Tahun New York Agreement, Sejarah Integrasi Papua akan Ditulis Ulang

16 Agustus 2012   03:26 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:41 2752
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_193362" align="aligncenter" width="503" caption="Foto Bersama Setelah Penanda Tanganan Perjanjian New York 15 Agustus 1962. Sumber: John Anari Document "][/caption]

Ada gagasan menarik yang terlontar dari seorang Wakil Rakyat dari Papua, Drs. Paulus Sumino. Yakni gagasan untuk menulis kembali sejarah Integrasi  Papua  ke dalam pangkuan  Negara Kesatuan Republik  Indonesia (NKRI). http://www.bintangpapua.com/headline/25686-integrasi-papua-ke-nkri-perlu-ditulis-kembali

Gagasan itu disuarakannya persis pada 15 Agustus 2012 bertepatan dengan 50 tahun Kesepakatan New York (New York Agreement) yang menjadi salah satu tonggak sejarah perjuangan NKRI membebaskan Tanah Papua dari cengkeraman penjajah Belanda.

Dampak Tidak Paham

Keingingan untuk menulis ulang sejarah Integrasi Papua itu terasa sangat aktual, mengingatsalah satu faktor pemicu konflik Papua terkait erat dengan adanya berbagai interpretasi, baik di kalangan  masyarakat  Papua maupun masyarakat  internasional tentang sejarah Integrasi Papua ke dalam NKRI. Karena ketidakpahaman itulah, banyak tokoh Papua yang terpaksa harus mendekam dalam penjara karena mereka tidak bisa lagi membedakan antara kebebasan berdemokrasi dan makar. Ada juga yang terpaksa harus  mengungsi ke luar negeri untuk meminta suaka politik dari negara lain. Sementara sebagian aktivis pro-M lainnya yang terus bergerilya di dalam negeri harus pintar-pintarmensiasati aktivitasnya dengan berlindung pada kebebasan berdemokrasi dan HAM.

Kembali soal New York Agreement yang baru saja genap berusia setengah abad itu, jika gagasan penulisan sejarah integrasi itu jadi dilaksanakan, tentu saja ia akan menjadi salah satu materi utama. Karena dari kesepakatan itulah penjajah Belanda “dipaksa” untuk tidak lagimengingkari atau mengulur-ulur waktu untuk mengembalikan Papua menjadi bagian tak terpisahkan dari NKRI.

Ingkar Janji

Ingkar janji Belanda paling tampak adalah ketidak-konsisten Belanda terhadap isi Konferensi Meja Bundar (KMB) yang diteken di Den Haag pada tgl 22 Desember 1949. Dalam perjanjian itu disepakati bahwa seluruh bekas jajahan Belanda adalah wilayah Republik Indonesia, yang harus diserahkan ke dalam pangkuan NKRI, kecuali penyerahan Papua Barat akan dilakukan2 (dua)tahun kemudian.

KMB itu diikuti dengan Penyerahan kedaulatan atas wilayah jajahan Belanda kepada Indonesia pada tanggal 27 Desember 1949. Penyerahan itu dilakukan secara simbolis dengan dua upacara. Upacara pertama berlangsung di Amsterdam, di Istana Op de Dam, dihadiri oleh Wakil Presiden/Perdana Menteri Mohamad Hatta yang sekaligus sebagai pemimpin delegasi Indonesia dan Ratu Juliana serta segenap kabinet Belanda. Upacara kedua berlangsung di Istana Negara, Jakarta, dihadiri oleh wakil tinggi mahkota Belanda di Indonesia Tony Lovink dan Sri Sultan Hamengku Buwono IX sebagai wakil perdana menteri Indonesia.

http://www.rnw.nl/bahasa-indonesia/article/upacara-ketiga-dan-sumber-kedaulatan-indonesia

Kesepakatan New York

Pasca-penyerahan kedaulatan tanggal 27 Desember 1949 itu, Belanda tampak enggan meninggalkan Papua bagian barat. Penyerahan Papua bagian barat yang telah disepakati akan diselesaikan dalam tempo dua tahun sejak KMB, ternyatatidak terealisasi hingga tahun 1961.

Belanda tidak hanya sekedar bertahan di Papua, tetapi lebih dari itu, Belanda ternyata sedang mempersiapkan langkah-langkah untuk memisahkan Tanah Papua dari NKRI. Belanda membentuk Dewan Nasional Papua dibentuk dan secara tergesa-gesa mendeklarasikan kemerdekaan Papua bagian Barat tanggal 1 Desember 1961.

Kelicikan Belanda membentuk negara bonekanya di papua itu, tentu saja membuat bangsa Indonesia marah. Maka pada tanggal 19 Desember 1961di Alun-alun Utara Jogjakarta, Presiden Indonesia Soekarno mengumumkan Trikora ( Trikomando Rakyat) untuk mengembalikan Irian Barat kepangkuan Ibu Pertiwi. Konfrontasi dengan Belandapun tak terhindarkan.

Kendati perang fisik akhirnya tidak terjadi, namun hasil penggalangan dukungan yang dilakukan Bung Karno ke negara-negara Asia-Afrika hinggaUni Sovyet yang mendukung peralatan perang senilai 2,5 miliar dollar, tentu saja membuat negara-negara Barat khususnya AS dan Inggris khawatir. Kekhawatiran Amerika adalah masalah Papua bisa menyebabkan Perang Dunia Ketiga.

[caption id="attachment_193365" align="aligncenter" width="549" caption="Pertemuan antara Indonesia dan Belanda untuk membicarakan Irian Barat, di Villa Huntlands di Middleburg, Virginia, Amerika Serikat, Agustus 1962. Pihak Indonesia dipimpin oleh Menlu Soebandrio. Diplomat AS Ellsworth Bunker bertindak sebagai penengah. (Foto: www.kemlu.go.id)"]

1345089101734789893
1345089101734789893
[/caption]

Berangkat dari kekhawatiran itulah, AS lalu mendesak Belanda untuk mengadakan perundingan dengan Indonesia. Maka pada tanggal 15 Agustus 1962 terselenggaralah perjanjian New York yaitu persetujuan antara pemerintah Belanda dan pemerintah Indonesia mengenai Irian Barat. Delegasi Indonesia dipimpin oleh Adam Malik dan Belanda oleh Dr. Van Royen, sedang E. Bunker dari Amerika Serikat menjadi perantaranya.

Inti isi kesepakatan itu adalah Belanda menyerahkan kembali Papua bagian barat ke dalam pangkuan NKRI. Agar Belanda tidak kehilangan muka, disepakati agar penyerahan itu tidak secara langsung dari Belanda kepada Pemerintah Indonesia, tetapi melalui PBB. Maka dibentuklah suatu Badan Pelaksana Sementara PBB yang diberi nama United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA). Badan ini berada di bawah kekuasaan Sekretaris Jenderal PBB.

UNTEA dikepalai seorang Administrator PBB yang diangkat Sekretaris Jenderal PBB dengan persetujuan dari pemerintah Indonesia dan Belanda. Administrator tersebut menjalankan pemerintahan di Irian Barat untuk jangka waktu satu tahun sesuai petunjuk dari Sekretaris Jenderal PBB.

Penyerahan pemerintahan kepada UNTEA itu kemudian dituangkan dalamResolusi Majelis Umum PBB No. 1752 tanggal 21 September 1962. Pelaksanaan resolusi itu efektif mulai 1 Oktober 1962, yang ditandai dengan pengibaran bendera PBB (UNTEA) berdampingan dengan bendera Belanda di Irian Barat. Tanggal 31 Desember 1962 bendera Belanda diturunkan dan sebagai gantinya dikibarkanlah bendera Indonesia berdampingan dengan bendera PBB (UNTEA).

Pemerintahan UNTEA dipimpin oleh Administrator Jose Rolz Bennet yang tidak lama kemudian digantikan oleh Dr. Djalal Abdoh. Dalam perjalannya memang pemerintahan UNTEA menghadapi rintangan, namun pada akhirnya UNTEAberhasil melaksanakan tugasnya menyerahkan kekuasaan kepada pemerintah Indonesia dengan baik sesuai dengan persetujuan New York 1962.

Baru pada tanggal 1 Mei 1963 Papua bagian barat kembali berintegrasi ke dalam NKRI, namun pengukuhannya harus melalui plebisit para penduduknya, yang kita kenal dengan PEPERA (Penentuan Pendapat Rakyat).PEPERA akhirnya berhasil digelar tahun 1969, dengan hasil akhir : rakyat Papua bagian barat memilih tetap dalam bingkai NKRI.

Peneliti Papua dari LIPI, Muridan Wijoyo yang menjelaskan bahwa Pepera itu digelar untuk menjalankan perintah dari perjanjian New York pada 1962, yang menyebutkan bahwa untuk memastikan apakah Papua bagian dari NKRI atau bukan harus dilakukan Pepera. Pepera 1969 dihadiri oleh sekitar 1025 perwakilan rakyat Papua. Pepera digelar di sejumlah kabupaten antara lain di Jayapura, Biak, dan Merauke. Berdasarkan hasil Pepera saat itu, semua perwakilan menyatakan mau bergabung dengan RI.

“Hasil Pepera 1969 ini pun kemudian diakui oleh PBB dan dikeluarkan resolusi yang menyatakan Papua sebagai bagian yang sah dari NKRI. Resolusi ini juga disetujui 80 negara anggota PBB dan hanya 20 negara yang abstain,” jelasnya. “Tidak ada negara di dunia yang menolak masuknya Papua ke Indonesia.” Tegas Muridan. http://news.viva.co.id/news/read/261252-faktor-rusuhnya-papua

Itupun belum cukup. Hasil PEPERA harus diuji terlebih dahulu oleh Majelis Umum PBB. Dan proses itupun dilaksanakan dengan baik dan demokratis. Tanggal 19 Oktober 1969, Majelis Umum PBB mengesahkan hasil PEPERA dengan mengeluarkan Resolusi Majelis Umum PBB No. 2504. Resolusi itu sekaligus mengakhiri perdebatan panjang tentang status politik wilayah Papua. Artinya, keberadaan Papua sebagai bagian tak terpisahkan dari NKRI sudah FINAL.

Kalaupun saat ini muncul gagasan untuk menulis kembali sejarah integrasi Papua, itu dilakukan semata-mata untuk menegaskan kepada generasi muda bangsa Indonesia sekaligus penegasan kepada dunia bahwa Papua adalah Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun