Mohon tunggu...
Kanis WK
Kanis WK Mohon Tunggu... -

Pelayan Umat di Mindiptana, dan guru keliling di Merauke.\r\nPeduli pada masalah sosial dan kesejahteraan orang kecil

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Papua Itu NKRI Bukan Karena PEPERA, Mengapa?

9 Juli 2012   06:22 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:09 2838
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_186867" align="aligncenter" width="552" caption="Peristiwa 1 Mei 1963 di Papua. sumber : dok Deplu"][/caption]

Saya tidak akan pernah bosan menulis topik ini, karena banyak dari kalangan kami generasi muda Papua yang dicekoki argumen yang salah tentang PEPERA (Penentuan Pendapat Rakyat tahun 1969). Kampanye bahwa PEPERA itu ilegal karena terjadi berbagai praktek yang tidak sesuai dengan hak asasi manusia, maupun standar-standar hukum internasional (one people one vote), sepintas memang tampak logis dan rasional. Tetapi sebetulnya, ia adalah bagian dari upaya pihak asing untuk memisahkan Papua dari NKRI.

Padahal jika aspek HAM yang mau dikedepankan, mana yang lebih hakiki :melepaskan diri dari penjajah atau teknis demokrasi one people one vote? Demokrasi baru bisa dinikmati kalau penjajah sudah berhasil diusir. Tidak ada demokrasi di wilayah yang sedang dijajah. Tegasnya, kita sudah berhasil mengusir penjajah dari wilayah Nusantara, dan PEPERA 1969 itu adalah penegasan bahwa orang Papua adalah Bangsa Indonesia.

Mengapa perlu penegasan? Karena Belanda tidak mau kehilangan pengaruhnya di wilayah bekas jajahannya. Ia tidak mau melepaskan Papua dengan berbagai dalih. Dan dalih-dalih itulah yang kemudian ditransformasikan ke dalam pikiran kami generasi muda Papua saat ini.

Sekedar kilas balik, Proklamasi kemerdekaan RI tanggal 17 Agustus 1945 meliputi wilayah Nusantara yang dijajah oleh Belanda (wilayah Hindia Belanda). Wilayah itu adalah dari Sabang sampai Merauke. Ingat azas Possedetis Juris yang mengatur bahwa batas wilayah negara bekas jajahan yang kemudian merdeka, mengikuti batas wilayah sebelum negara tersebut merdeka.

Bukan pekerjaan mudah bagi Bung Karno dan para founding fathers waktu itu untuk menata negeri yang baru merdeka ini. Belanda yang sudah ratusan tahun menjajah negeri ini, enggan melepaskannya dalam tempo singkat. Maka penyerahan kekuasaan atas wilayah NKRI yang sudah diproklamirkan itu dilakukan secara bertahap oleh Belanda kepada Pemerintah Indonesia. Ingat perundingan Linggarjati di Kuningan, Jawa Barat tanggal 11-12 November 1946 serta Perjanjian Renville tanggal 17 Januari 1948.

Gangguan keamanan terus terjadi di banyak daerah. Ada juga gangguan dari negara tetatangga Malaysia, serta pemberontakan di dalam negeri oleh anak bangsa sendiri. (Detailnya kita bisa baca dari buku-buku otobiografi para pelaku sejarah).

Dalam kondisi yang demikian, wilayah Papua nyaris tak tersentuh, sehingga Belanda tampak leluasa menanamkan kuku kekuasaannya. Namun perkembangan dunia internasional waktu itu tampaknya tidak lagi berpihak pada para penjajah. Perang Dunia II telah mengubah semuanya. Banyak bangsa-bangsa di Asia dan Afrika memproklamirkan kemerdekaannya dari penjajahan kulit putih.

Belanda Meniru Jepang

Dengan sendirinya keberadaan Belanda di Papua kian terusik. Ditambah lagi dengan upaya diplomasi Indonesia yang menggalang kekuatan dari bangsa Asia dan Afrika, serta dukungan peralatan perang dari Sovyet membuat Belanda semakin terdesak. Dalam kondisi seperti itu,Belanda buru-buru membentuk Dewan Nasional Papua serta pasukan tentara yang berisikan orang-orang Papua. Tujuannya untuk mempersiapkan pembentukan negara (boneka) Papua.Berhasilkah Belanda? Baca juga : http://internasional.kompas.com/read/2012/01/17/15172084/Belanda.Khianati.Orang.Papua

Hal yang sama dilakukan Belanda sebelumnya terhadap orang Maluku. Belanda membawa ribuan warga Maluku ke negaranya dengan iming-iming akan membantu proses kemerdekaan Maluku Selatan (RMS). Namun yang terjadi kemudian, keberadaan orang Maluku di Belanda malah menjadi duri dalam daging bagi Belanda sendiri hingga saat ini.

Ini mirip dengan apa yang dilakukan Jepang sebelumnya yang membentuk sebuah badan untuk mempersiapkan kemerdekaan Indonesia, yang kita kenal dengan nama PPKI atau dalam bahasa Jepang Dokuritsu Zyunbi Tjosakai. Badan ini dibentuk tanggal 29 April 1945 dan para pengurusnya dilantik secara resmi oleh pemerintah pendudukan Jepang pada tanggal 28 Mei 1945. Tetapi sejarah akhirnya menentukan lain, kemerdekaan RI bukan karena buah “kebaikan” hati Jepang, tetapi hasil perjuangan penuh darah dan airmata dari anak-anak negrinya sendiri.

Klaim Indonesia

Kongres Rakyat Papua 1961 yang diklaim sebagai dasar yang sah pengakuan kedaulatan rakyat Papua untuk membentuk pemerintahan sendiri belumlah diakui secara international. Justru sebaliknya, negara-negara barat pemenang perang dunia ke-2 seperti Amerika Serikat, Inggris dll, mengakui klaim Pemerintah Indonesia yang menggunakan Peta Hindia Belanda 1931 dimana Papua ditempatkan dibawah kendali pemerintahan lokal Hindia Belanda dengan Ambon sebagai ibu kota.

Itu berarti, klaim pemerintah RI menjadi lebih legitimate secara hukum international ketimbang upaya Belanda memisahkan Papua dengan mendorong Kongres Rakyat Papua 1961. Penentuan Pendapat Rakyat atau Pepera 1969 hanyalah sebuah upaya “demokratis” dengan melibatkan “unsur-unsur masyarakat Papua” demi melegalkan penyatuan wilayah setelah Belanda dengan segala taktik dan strategi berupaya mengakali perjanjian yang telah dibuat dan disetujuinya sendiri.

http://politik.kompasiana.com/2012/01/24/kasus-papua-jika-sadar-belanda-berkhianat-lalu/

Hal ini sejalan dengan penuturan Peneliti Papua asal LIPI, Muridan Wijoyo yang menjelaskan bahwa Pepera itu digelar untuk menjalankan perintah dari perjanjian New York pada 1962, yang menyebutkan bahwa untuk memastikan apakah Papua bagian dari NKRI atau bukan harus dilakukan Pepera. Pepera 1969 dihadiri oleh sekitar 1025 perwakilan rakyat Papua. Pepera digelar di sejumlah kabupaten antara lain di Jayapura, Biak, dan Merauke. Berdasarkan hasil Pepera saat itu, semua perwakilan menyatakan mau bergabung dengan RI.

“Hasil Pepera 1969 ini pun kemudian diakui oleh PBB dan dikeluarkan resolusi yang menyatakan Papua sebagai bagian yang sah dari NKRI. Resolusi ini juga disetujui 80 negara anggota PBB dan hanya 20 negara yang abstain,” jelasnya. “Tidak ada negara di dunia yang menolak masuknya Papua ke Indonesia.” Tegas Muridan.

http://news.viva.co.id/news/read/261252-faktor-rusuhnya-papua

Irian Barat sejak 17 Agustus 1945 sudah masuk dalam wilayah Republik Indonesia. Orang kadang-kadang berkata, memasukan Irian Barat ke dalam wilayah Ibu Pertiwi. Salah! Tidak! Irian Barat sejak daripada dulu sudah masuk ke dalam wilayah kekuasaan Republik Indonesia…” (Pidato Bung Karno di Kota Baru, Jayapura, tanggal 4 Mei 1963)

Sekali lagi, sebelum ada PEPERA, Papua sudah NKRI. Pepera digelar karena keras kepalanya Belanda yang enggan angkat kaki dari Indonesia. Dan Pepera adalah hasil kesepakatan New York bahwa untuk memastikan apakah Papua bagian dari NKRI atau bukan.Dan... terbukti kan?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun