*) Sebuah catatan kritis atas Surat terbuka Pimpinan Gereja-Gereja Papua Sebagai orang Papua yang tinggal di Tanah Papua dan setiap hari menyaksikan dari dekat hiruk-pikuk gejolak politik terkait masalah Papua, saya bisa merasakan sendiri dan bisa menangkap sinyal-sinyal kegelisahan warga Papua dengan lebih baik.
Kegelisahan itu kian Nampak ketika sejumlah Pimpinan Gereja-Gereja di Papua menandatangani surat terbuka yang ditujukan kepada Presiden SBY tanggal 16 Desember 2011. Surat terbuka itu antara lain berisikan penolakan UP4B serta merekomendasikan hak rakyatPapua untuk menentukan nasib sendiri (the right for self determination).
http://suarabaptis.blogspot.com/2011/12/surat-terbuka-gereja-geraja-papua-untuk.html#more
Rekomendasi pimpinan gereja-gereja Papua itu sekaligus juga menguak kecurigaan sementara pihak atas keterlibatan otoritas gereja di Papua dalam perjuangan separatisme.Baca hasil polling yang pernah saya buat beberapa bulan lalu terkait hal tersebut : http://politik.kompasiana.com/2011/09/12/hasil-polling-apakah-gereja-boleh-mendukung-gerakan-papua-merdeka/
Entah ada kaitannya atau tidak, pasca-publikasi surat terbuka pimpinan gereja-gereja papua itu, muncul pernyataan FUI (Forum Umat Islam) yang ingin berjihad ke Papua. Seperti diberitakan, tanggal 23 Desember 2011 Habib Rizieq dari FUI mengeluarkan statement yang meminta agar negara tetap mempertahankan Papua dan Maluku dari kemungkinan referendum, dan jika tak mampu FUI akan berjihad ke Papua untuk mempertahankan kedua wilayah ini.
Pernyataan FUI itu sontak mendapat reaksi keras dari sejumlah tokoh Papua, seperti dari KNPB yang diwakili Viktor Yeimo (Juru Bicara Internasional KNPB), Turius wenda (Ketua Forum Gerakan Pemuda Baptis Papua /FGPBP), orum Dialog Intelektual Papua dan bahkan dari tokoh Muslim Papua Ismail Aso (Ketua Muslim Pegunungan Tengah Papua ).
Keaadan ini tentu saja telah menambah suhu politik di Tanah Papua bertambah panas. Ibarat bom yang sumbunya semakin pendek. Jika tidak diantisipasi secara tepat, bisa saja meledak ke berbagai arah. Mudah-mudahan beberapa saran di bawah ini (yang saya cuplik dari pendapat-pendapat hasil polling tersebut) bisa memberikan manfaat bagi penataan pembangunan dan perdamaian di Tanah Papua dalam koridor NKRI :
1.Harus dipisahkan dulu, gerakan politik dan gerakan sosial. Politik dalam arti luas adalah mempengaruhi keputusan untuk pencapaian kehidupan yang lebih baik dengan cara-cara strategis. misalnya perjuangan HAM, perlindungan kaum minoritas dll. Gereja justru harus merasa terpanggil untuk mendukungnya. Tetapi dalam arti sempit, polilitk adalah upaya untuk mendapatkan kekuasaan. Gereja tidak boleh bermain di wiayah ini.
2.Jika tokoh-tokoh gereja ingin berpolitik praktis, lepaskan baju keagamaannya, lalu bikin partai baru atau masuk partai politik yang dianggap cocok. Walaupun hanya sekedar menyuarakan sikap kritis, namun belum tentu idealisme dalam kritikan mereka itu baik dan benar, lantas serta merta secara masif didukung oleh pengikut fanatis mereka. Ini tidak fair dan sekaligus berbahaya, karena mereka telah “memanfaatkan” fanatisme pengikutnya untuk urusan yang tak ada hubungannya dengan iman dan ibadah.
3.Gereja di Papua mendukung penentuan nasib sendiri bagi rakyat Papua (baca : referendum) sebagai model penyelesaian alternatif atas gejolak Papua. Gereja jangan memberikan cek kosong kepada umatnya. Siapa yang bisa menjamin, setelah lepas dari NKRI kehidupan mereka akan lebih baik?
4.Kalau ada pemimpin gereja yang memaksa-maksa umatnya untuk mengikuti idealisme politik mereka, lebih baik pindah gereja saja daripada mengikuti pemimpin seperti itu.
5.Pemimpin agama yang memprovokasi umatnya untuk memisahkan diri dari NKRI adalah separatis……
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H