[caption id="attachment_344976" align="aligncenter" width="515" caption="ilustrasi: lampungtribunnews.com"][/caption]
Tulisan ini tidak mengulas secara hitam-putih apa perbedaan antara Presiden Jokowi dengan Presiden SBY. Lagi pula, setiap pemimpin punya cara dan gaya kepemimpinan yang berbeda satu dengan yang lainnya. Saya hanya ingin menyoroti satu aspek saja tentang bagaimana kedua pemimpin ini memandang persoalan Papua dan mengatasinya.
Mengapa Papua? Karena permasalahan di wilayah ini sungguh kompleks, dan perlu perhatian khusus dari setiap orang yang terpilih menjadi Presiden. Satu pekan setelah Presiden Jokowi dilantik, Deputi Tim Transisi Jokowi-JK, Hasto Kristiyanto menyatakan bahwa tekad Presiden Jokowi untuk berkunjung ke Papua. Menurut Hasto, kunjungan itu tidak hanya sekadar menunjukkan kepedulian terhadap Papua, tetapi lebih dari itu ingin merintis pengembangan dialog untuk menuntaskan secara bertahap luka-luka politik lama yang masih membekas di hati masyarakat asli Papua. (Kompas.com (29/8/2014).
Kunjungan dimaksud akhirnya terwujud, yaitu pada 27-29 Desember 2014 lalu, bertepatan dengan puncak perayaan Natal Nasional yang diselenggarakan di Stadion Mandala, Jayapura. Banyak hal yang dilakukan Presiden pada kesempatan itu, antara lain meresmikan rehabilitasi pasar tradisional, berdialog dengan Mama-mama pasar Papua, tokoh gereja, hingga berkunjung ke Wamena, ibukota Kabupaten Jayawijaya yang selama ini mendapat stereotip sebagai markasnya kelompok sipil bersenjata.
Cara yang ditempuh Presiden Jokowi ini memang sedikit berbeda dengan pendahulunya, Presiden SBY. Dalam menghadapi persoalan Papua, sikap Presiden SBY jelas, Papua adalah bagian integral dari NKRI. Maka dalam dalam 10 tahun masa pemerintahannya, kebijakan dan program pemerintah untuk membangun Papua, termasuk otonomi khusus, fokus pada tiga isu penting. Pertama, kedaulatan dan keutuhan wilayah, kedua, keamanan, dan ketiga, pembangunan dan upaya peningkatan kesejahteraan rakyat Papua. Menurut Presiden, soal kedaulatan itu sudah final, bahwa Papua dan Papua Barat itu wilayah sah NKRI. Selama dirinya memimpin pemerintah, negara-negara di dunia pada prinsipnya mendukung dan mengakui kedulatan Indonesia atas Papua. Namun diakuinya, masih ada satu dua negara yang masih mempermasalahnya.(situs Sekretariat Kabinet tanggal 7 Februari 2014).
Terkait keinginan untuk berdialog, Presiden SBY pada 16 Desember 2011 pernah mengundang sejumlah Pimpinan Gereja di Tanah Papua bertemu di kediamannya di Puri Cikeas untuk duduk bersama mencari solusi. Inti pertemuan itu sebagaimana diungkapkan Pendeta Yemima Krey (Ketua Sinode GKI Papua) yang juga ikut serta dalam pertemuan tersebut adalah membahas masalah kekerasan, pelanggaran HAM, dan stigma separatis.
“Presiden membalas pesan kami dengan mengatakan akan mengajak mencari solusi penyelesaian secara menyuruh…Presiden meminta gerakan OPM dihentikan dan operasi militer juga dihentikan, agar terbuka ruang dialog,” jelas Yemima. http://zonadamai.com/2014/09/03/tekad-jokowi-wujudkan-dialog-damai-jakarta-papua/
Sementara Presiden Jokowi, di awal masa pemerintahannya, langsung melakukan blusukan ke Jayapura dan Sorong, bahkan ke Markas OPM. Menurutnya, Orang Papua tidak hanya membutuhkan pelayanan kesehatan, pendidikan, infrastruktur jalan, tetapi mereka juga perlu didengar dan diajak bicara perihal apa yang diinginkan.
Mengapresiasi kunjungan tersebut, Komisioner Komnas HAM asal Papua, Natalius Pigai mengatakan, Presiden Jokowi harus segera merealisasikan dialog antara Jakarta-Papua. Menurutnya, dialog itu penting dilakukan untuk menyelesaikan masalah Papua secara menyeluruh. Apalagi Presiden Jokowi setidaknya sudah melihat kondisi ril yang ada di Papua. Dialog Jakarta-Papua harus melibatkan berbagai pihak di wilayah itu termasuk Organisasi Papua Merdeka.
Dengan berbagai upaya dan langkah-langkah yang telah dilakukan oleh Pemerintah Indonesia dalam 10 tahun terakhir, sudah banyak kemajuan pembangunan yang dicapai di wilayah Papua. Tetapi masalah dialog sebagaimana diinginkan oleh tokoh-tokoh Papua belum juga terwujud. Perlu pemahaman yang sama tentang format dialog yang akan dilakukan agar dialog tersebut berdampak positif terhadap integritas bangsa Indonesia dan serta memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kesejahteraan Orang Papua di segala aspek kehidupan. Dan bukan sebaliknya mempertajam perpecahan dan disintegrasi bangsa Indonesia tercinta. Semoga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H