Titik-titik kecil berpendar dengan terang di langit. Salah satu titik tersebut berkelap-kelip dan bergerak melintasi langit. Rasa ingin tahu ku segera muncul dan terpana dengan titik itu. Aku berlari mengikuti ke mana titik tersebut bergerak tanpa melihat tanah pijakanku, sampai aku hampir terjatuh, jika tidak ada ayah yang menangkapku. Aku tanyakan pada Ayah --- yang masih mengomeliku karena tidak berhati-hati dan berusaha menggendong aku --- apa itu titik terang yang bergerak dan mengira titik tersebut adalah bintang. Namun tak lama setelah aku mengatakannya, ayahku tertawa terbahak-bahak dan berusaha menahan tawanya ketika melihat ada kebingungan dalam ekspresiku. 'Apakah itu pertanyaan bodoh?' pikirku.
Aku meminta ayahku segera menjawabku dan menggoyang-goyangkan kakiku dengan gemas. Ia pun menjawab dengan sebuah senyuman bahwa titik tersebut adalah lampu yang menempel di pesawat dan itulah mengapa titik tersebut bergerak. Aku pun mencoba menerima informasi tersembut sambil mengangguk-anggukkan kepala. Tiba-tiba ia mengangkat tubuhku dan memutarku di udara membuatku berteriak kegirangan.
Kira-kira begitulah gambaran akan masa kecilku secara sepintas, masa kecil yang penuh tawa dan canda, masa dimana kebahagiaan menjadi sebuah bagian dalam hidupku, setidaknya sebelum hal itu direnggut dari diriku.
Sepuluh tahun kemudian...
Kata-kata seperti "penderitaan" dan "sakit" yang semula tidak ada dalam kamusku, secara bertubi-tubi memaksa mencuat dari dalam otakku dan memenuhi keseluruhan diriku. Langit seolah mengejekku. Baru sebentar kakiku menyentuh tanah halaman rumah, seketika langit berubah sendu, membuatku makin geram dan akhirnya terduduk dengan lemas. Oh, Tuhan mengapa hidupku seperti ini? Aku menghela napas berkali-kali sampai rasanya warga di ujung gang pun dapat mendengarku.
Dari kejauhan terdengar suara tentara sedang menyuruh para warga untuk terus bekerja. Ya, para tentara Jepang itu menerapkan kerja paksa pada warga kami, Indonesia. Tidak, aku tidak ikut bekerja. Namun jika bisa memilih, lebih baik aku bekerja di bawah sinar matahari yang terik dibandingkan harus menahan rasa jijik dan takut setiap harinya karena tubuhku digunakan untuk memenuhi nafsu majikanku. Orang-orang sepertiku biasa disebut dengan "Jugun Ianfu" atau wanita penghibur. Ingin rasanya kupukul kepala para tentara agar ini semua berakhir, namun kurasa aku akan mati jika melakukannya. Bukannya aku menikmati "pekerjaan" ku sebagai wanita penghibur, namun aku tak punya pilihan lain. Semuanya berawal dari 2 bulan yang lalu.
"Ibu, ibu! Teman-temanku berkata para tentara Jepang sedang mencari wanita remaja untuk dipekerjakan sebagai pembantu rumah tangga. Letak rumah-rumahnya juga tidak jauh dari sini, Bu. Kumohon, izinkan aku bekerja di sana ya? Aku berjanji akan sering mengunjungimu dan memastikan Ibu baik-baik saja." pintaku kepada ibu dengan mata yang berbinar-binar. Sepintas aku melihat raut wajah Ibu berubah menjadi sendu. Ibu terlihat ragu sejenak, namun akhirnya mengangguk dan berusaha memberi senyuman terbaiknya. Aku bersorak kegirangan dan memeluk ibu dengan erat. Akhirnya, aku akan mendapat pekerjaan.
Tetapi ternyata, semua itu hanyalah bualan belaka. Para tentara berbohong. Aku dan wanita-wanita lainnya tidak akan dipekerjakan sebagai pembantu rumah tangga. Memang benar kami akan bekerja, namun sebagai hal terburuk yang pernah ada di dunia. Sebuah mimpi buruk. Kami akan dijadikan wanita penghibur. Keringat mengucur deras dari wajahku. Oh Tuhan, mengapa harus seperti ini?
Dari cerita-cerita yang kudengar, memang sering wanita dibohongi dengan diiming-imingi menjadi wanita penghibur bagi tentara Jepang yang "jauh" dari rumah dan haus akan "kasih sayang" seorang wanita. Mata kami ditutupi oleh kain dan mulut kami ditempeli lakban. Di mana-mana terdengar suara teriakan dan tangisan. 'Aku tidak akan pernah melupakan hari ini,' batinku.
Aku berusaha menahan tangis dan mencoba berlari ke mana pun yang aku bisa. Namun lenganku segera dicengkeram oleh seseorang dan ditariknya aku. Ia meneriaki aku dan menyuruhku patuh jika tidak ingin dipukuli. Aku pun terpaksa mengiyakannya. Aku teringat ayah dan ibuku di rumah lalu mulai menangis. Aku tidak akan bisa menemui mereka lagi. Aku terjebak selamanya dalam dunia kelam ini. setidaknya itulah yang selalu aku pikirkan selama 2 bulan lamanya.
Saat ini, aku bertekad untuk melarikan diri dari rumah majikanku. Sudah cukup mental dan fisikku lelah akan perbudakan ini. Aku telah menemukan cara untuk lari dari majikanku yang keji. Setiap harinya ia akan melampiaskan rasa lelahnya dengan menggunakan tubuhku berjam-jam hingga pernah aku pingsan tak berdaya. Ia pun sering memukul dan mencaci-maki diriku, tanpa melihat seberapa parah kondisiku sebenarnya. Aku tak ingin lagi berada di sini.