Timor Timur dalam Disintegrasi
Sejak berkhirnya Orde baru pada tanggal 21 Mei 1998, yang menyebabkan terjadi pergantian presiden dari Soeharto kepada B.J Habibie, hal itu membuka cakrawala baru bagi penyelesaian masalah Timor Timur. Akhirnya, pada masa pemerintahan B.J Habibie ,pemerintah Indonesia mengambil kebijakan untuk melakukan jajak pendapat di Timor Timur.
 Referendum atau lebih dikenal dengan jajak pendapat akhirnya dilaksanakan pada tanggal 30 Agustus 1999 di bawah pengawasan misi PBB untuk Timor Timur, yaitu UNAMET (United Nations Mission for East Timor). Hubungan antara Indonesia da Timor Timur hancur sepenuhnya ketika rakyat Timor Timur menolak tawaran otonomi Indonesia. Pejabat pejabat Orde Baru yakin pada propagandanya sendiri , sejak awal proyek integrasi mereka telah menegaskan bahwa rakyat Timor Timur akan menerima integrasi kalau mereka mengalami manfaat material dari pembangunan Indonesia. Miter marah dan sangat kecewa dengan penolakan oleh rakyat Timor Timur dan berakhirnya secara mendadak proyek integrasi. Terror yang dilakukan oleh militer pada proyek ini bukanlah pengalaman baru bagi wilayah ini, selama masa pendudukan rakyat Timor Timur menjadai sasaran tktik militer yang ekstrem. Sampai setengah dari seluruh penduduk telah mengalami pemindahan paksa pada akhir dasawarsa 1970an dan pendukung pendukung serta anggota Fretelin mengalami pembunuhan sewenang wenang. Pada minggu minggu setelah pengumuman hasil Referendum pada awal September 1999, sekitar 1.400 orang Timor Timur yang mendukung kemerdekaan dibunuh dan sampai 250.000 orang Timor Timur dipaksa keluar dari wilayahnya memasuki kamp kamp yang kondisinya buruk, kebanyakan berada di seberang perbatasan di Timor Barat.
Perusakan 70% infrastruktur fisik hampr seluruh pembangunan yang digembor gemborkan diberikan dengan sangat murah oleh Indonesia kepada Timor Timur memperlihatkan sifat kolonial dari hubungan ini dalam bentuknya yang terburuk. Karena pembangunan tidak membuahkan hasilyang diharapkan kerangkanya tidak akan ditinggalkan untuk rakyat Timor Timur yang tidak mau berterimakasih. Rakyat dengan paksa dipindahkan ke Indonesia dan ditahan disanan oleh milisi untuk menunjukkan kepada dunia bahwa jumlah besar rakyat Timor Timur ketakutan kalau Timor Timur terlepas dari Indonesia.
 Jajak pendapat yang menunjukkkan 78,5 % rakyat Timor Timur melepaskan diri dari Indonesiadan berdiri sebgai Negara merdeka diumumkan oleh Sekjen PBB Kofi Annan pada tanggal 4 September 1999 dan selanjutnya pada tanggal 19 Oktober 1999, MPR RI mengeluarkan ketetapan yang mengesahkan hasil jajak pendapat mengenai Timor Timor. Setelah melalui masa transisi, maka pad atanggal 20 Mei 2002 Timor Timur mendapatkan kemerdekaan penuh dengan nama Republik Demokraik Timor Leste dengan presidennya yang pertama Xanana Gusmao dari Partai Fretilin.
 Banyak orang Indonesia yang kecewa dengan penolakan rakyat Timor Timur dan merasa putusnya hubungan itu menyakitkan. Mereka merasa bahwa mereka telah sangat bermurah hati kepada Timor Timur membantu membangun wilayah itu. Departemen Luar Negri telah melakukan banyak upaya sejak 1975 untuk mendapatkan pengakuan internasional pad akedaulatan Indonesai atas Timor Timur. Pejabat pejabat Indonesia mengkritik Negara Negara Barat, khususnya Australia, yang mengubah sikapnya tidak lagi mendukung integrasi.
 Penghancuran 1999 sekali lagi menunjukkan betapa Timor Timur sangat termiliterisasi  meskipun militer Indonesia  seperti yang mereka lakukan  pada 1975  mengingkari peran utamanya dalam kekerasan di Timor Timur. Pemimpin Timor Timur pada 1999 merasa akan menang dan sadar mengenai kesempatan unik yang ditawarkan PBB, pemimpin pemimpn Perlawanan Timor Timur setuju untuk tetap berada di dalam kantonisasi yang telah disepakati dengan demikian menggagalkan strategi militer Indonesia untuk menimbulkan keadaan yang membuat mereka bisa mengklaim bahwa mereka harus melakukan tindakan untuk menghentikan pertikaian.
Pemindahan paksa diperkirakan 250.000 orang Timor Timur yang pro- maupun anti-integrasi , dirancang untuk membuktikan bahwa penuduk menolak hasil referendum. Keberangkatan mereka diorganisasikan dengan baik dan direncanakan sebelumnya serta dimulai segera setelah hasil referendum diumumkan pada 4 September 1999. Kebanyakan dari mereka dipindahkan melalui jalur darat atau dengan kapal ke Timor Barat, tetapi sebagian dipindahkan ke pualu pulau lain Indonesia.
Referensi
Hasibuan, Albert S.H dkk, Rekaman Peristiwa 1991 (Jakarta:PT Pustaka Sinar Harapan, 1992)
Nevins, Joseph, Pembantaian Timor Timur (Yogyakarta: Galangpress, 2008)