Mohon tunggu...
Kania Rahmawinata
Kania Rahmawinata Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

Mahasiswi Komunikasi Penyiaran Islam - UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Selanjutnya

Tutup

Book Pilihan

Resensi Buku Berani Tidak Disukai Karya Ichiro Dan Fumitake - Oleh Kania Rahmawinata

5 Mei 2024   01:05 Diperbarui: 5 Mei 2024   01:13 506
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kalimat di atas tertera pada bagian blurb buku, ditulis dengan ukuran besar berwarna merah menunjukan seolah buku ini berambisi mengubah nasib hidup manusia. Seperti judulnya, “berani tidak disukai” buku ini memang berani menyajikan konsep berbeda dengan kebanyakan buku lainnya, bagaimana tidak, isi buku ini disajikan dalam bentuk percakapan lima malam antara seorang pemuda yang tidak puas dengan hidupnya. Dia mengunjungi seorang filsuf untuk mencari tahu inti masalahnya. Buku ini benar-benar hanya berisi percakapan dari bab awal hingga akhir.

Hal berani lainnya ialah pada bab pertama ketika pembaca baru saja memulai petualangan menelusuri isi buku, pembaca akan langsung bertemu dengan gagasan yang baru dan asing bagi sebagian besar orang, yaitu gagasan tentang penyangkalan terhadap keberadaan trauma. Menurut buku yang banyak mengangkat gagasan psikologi Adler ini, menegaskan bahwa trauma itu tidak ada kecuali memang sengaja diciptakan.

Buku yang ditulis Ichiro Kishimi dan Fumitake Koga ini memaparkan bahwa diri manusia tidak ditentukan oleh pengalaman-pengalamannya di masa lalu, melainkan pada pemaknaan-pemaknaan yang  individu beri pada pengalaman tersebut. Buku ini akan membawa pembacanya berkelana menyelami pemikiran aliran psikologi Alfred Adler, satu dari tiga psikolog terkemuka abad kesembilan belas (selain Freud dan Jung).

Dalam aliran psikologi Adler, kebahagiaan orang hari ini ditentukan oleh cara orang tersebut menyikapi sesuatu dan kondisi yang terjadi pada hari ini. Hal ini bertentangan dengan apa yang disampaikan oleh aliran psikologi Freud yang berkata bahwa luka masa lalu seseorang berpengaruh bagi keberlangsungan hidup seseorang. Adler menolak hal tersebut, sebab menurutnya pengalaman tidak menentukan arah kehidupan seseorang.

“Jangan memperlakukan hidup sebagai garis. Pikirkan hidup ini sebagai serangkaian titik. Kalau melihat garis tebal yang digambar dengan kapur lewat kaca pembesar, kau akan mendapati bahwa apa yang kau anggap garis sebenarnya adalah serangkaian titik kecil.” – Berani tidak disukai, hal 292.

Lebih lanjutnya, buku ini menjelaskan hidup adalah serangkaian momen yang terdiri dari titik-titik yang tidak saling terhubung. Terperangkap dalam titik ketidakbahagiaan yang ada pada masa lalu hanya akan membuat seseorang terpenjara dalam ketidakbahagiaan pada masa kini.

Bahagia itu sederhana, hidup itu sederhana, namun banyak manusia yang tidak menyadarinya dan terperangkap dengan jalan yang rumit dalam mencari kebahagiaan. Misalnya, menjadikan jalan hidup orang lain sebagai standar hidup, berusaha memenuhi ekspektasi orang lain, dan jalan rumit lainnya. Buku ini mencoba menyangkal hal rumit tersebut dengan menyajikan cara pandang tentang hidup sederhana dalam setiap sub bab melalui percakapan naratif antara pemuda dan filsuf.

Sub bab-sub bab dalam buku ini dibuat dengan diksi menarik dan dapat memantik pembacanya, seperti sub bab “trauma itu tidak ada”, “hanya kaulah yang mencemaskan penampilanmu”, “kau bukanlah pusat dunia ini”, “gila kerja adalah dusta kehidupan”, dan sub bab lainnya.  Dengan penggunaan diksi yang gamblang dan berani semakin membuat isi buku ini terasa renyah.

Pembaca juga akan familiar dengan pengetahuan istilah baru yang terus dibahas dalam buku ini seperti istilah aetiologi, teleologi, kompleks inferioritas, kompleks superioritas yang dihadirkan dengan contoh kasus sederhana yang sering ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Konsep percakapan naratif semakin membuat suasana membaca lebih terasa alami dan membuat pembaca larut dalam imajinasi.

Pembaca mungkin pada awalnya akan merasa belum terbiasa dengan istilah baru dalam buku ini. Pembaca mesti lebih fokus dalam mencerna tulisan demi tulisan. Alangkah lebih baik pembaca juga menandai poin-poin penting dalam setiap bab. Menimbang buku ini tidak menyantumkan simpulan ataupun intisari setiap babnya.

Buku yang disajikan dalam bentuk percakapan naratif ini mudah sekali membuat pembacanya larut. Pembaca mesti berusaha agar tidak hilang fokus untuk menangkap poin-poin inti dalam setiap percakapan. Pandangan-pandangan baru yang terasa asing dan kompleks dalam buku ini memungkinkan pembaca mesti membaca ulang halaman atau mengambil jeda untuk mencerna ulang atau bahkan berusaha untuk memahaminya dengan membuat catatan singkat menggunakan bahasa yang lebih sederhana.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun