Hampir tiap hari, tepatnya tiga kali sehari tayangan berita di TV-TV swasta dan juga pemberitaan di media cetak dan online penuh dengan pembicaraan soal transisi pemerintahan dan juga prediksi pemerintahan baru. Tidak hanya di TV, perbincangan di media social pun tak kalah ramai. Salut, itu yang bisa saya katakan menjadi bagian dari sejarah bangsa menyaksikan betapa tingginya animo masyarakat kita yang kini melek politik. Ini membuktikan bangsa kita merupakan bangsa yang pintar dan mau berpartisipasi aktif dalam kehidupan perpolitikan negeri.
Indonesia memang kini diakui dunia sebagai Negara yang demokratis dan berhasil mengatasi berbagai tantangan dan krisis yang menghantam. Bayangkan, sebagai Negara yang paling beragam yang pernah ada, dan juga wilayahnya dipisahkan oleh lautan. Indonesia masih mampu berdiri tegak selama 69 tahun menentukan nasibnya sendiri. Tentunya hal ini merupakan akibat dari membaiknya kualitas Sumber Daya Manusia kita dan pemimpin-pemimpin bangsa. Bagaimana tidak membaik, anggaran pendidikan dan juga pengelolaan pemerintah yang baik terus ditingkatkan selama satu decade terakhir.
Namun, ada hal yang membuat kita sedih dan mengganjal. Betapa tidak, kedewasaan berpikir masyarakat kita harus dinodai dengan bacaan dari koran-koran yang konon katanya, notabene merupakan ‘koran independen’. Headline dibuat sebombastis dan seekstrem mungkin agar menarik mata para pembaca ketika memegangnya dan menaikan oplahnya. Isinya, ada yang murni menjelek-jelekan, setengah menyindir atau bahkan memutar balik logika publik. Padahal, publik kita tidak bodoh lho..
Yang paling kentara adalah bagaimana kita lihat semakin masifnya serangan (baik asli maupun pesanan) dan bombardir informasi (yang tidak tahu benar atau tidaknya) dari sana sini tentang pemerintah. Lama-lama kita sebagai publik gerah juga. Ini kok menjelang akhir masa kepemimpinan SBY semua orang berbondong-bondong sibuk mengkritik SBY sih? Memangnya SBY selama 10 tahun ini salah semua? Padahal, jelas-jelas dari data dan fakta yang ada, kehidupan masyarakat kita jauh jauh jauh lebih baik. Coba lihat ada berapa banyak orang yang punya telepon genggam lebih dari satu? Mobil atau motor lebih dari satu? Kalau ada yang berteriak bilang minta keadilan dan pemerataan ekonomi, coba dilihat dan dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Apakah jumlahnya naik atau terus berkurang. Janganlah kita naif, seolah-olah masalah kemiskinan dapat diselesaikan secara cepat dan tuntas seperti mudahnya membalik telapak tangan. Semuanya itu butuh proses, dan inilah yang menjadi masalah tidak hanya bagi Indonesia tapi juga bagi hampir setiap Negara di dunia.
Selama hampir sepuluh tahun, dengan terus bertambahnya laju penduduk kita, pemerintahan SBY menekan tingkat kemiskinan di negeri kita. Dari awal berjumlah 16,7%, dengan berbagai dinamika global seperti krisis finansial dunia di tahun 2008, saat ini tingkat kemiskinan di Indonesia turun menjadi 11,47 %. Itu berarti, 5,23 % penduduk kita (sekitar 8 juta orang) berhasil keluar dari kemiskinan. Fantastis! Bahkan, cuma di zaman SBY pemerintah gemar memberikan bantuan bagi rakyat miskin, pastinya kita ingat dengan progam-program itu, ada Raskin, PKH dan juga BLSM. Perlu dicatat dan diketahui juga bahwa selama sepuluh tahun ini, Indonesia berhasil melunasi hutang IMF sebesar Rp 69 triliun lebih cepat dari yang seharusnya. Cadangan devisa kita bahkan hampir empat kali lipat dari tahun 1999-2004 yang hanya mencapai US$ 36,3 miliar, yaitu menyentuh US$ 124,6 miliar. Itu angka yang fantastis. Padahal selama sepuluh tahun ini, Indonesia tidak sepi lho dari krisis. Sebut saja krisis minyak yang pernah menyentuh angka US$ 120 per barel, dan tekanan ekonomi untuk emerging markets di tahun 2013. Sampai-sampai saya berpikir, apa bisa Presiden berikutnya ini melanjutkan capaian-capaian ini. Ini bukan hal yang mudah lho..
Lalu, isu berikutnya adalah isu kenaikan BBM. Hampir dua minggu ini, secara sistematis, muncul pakar-pakar ekonomi dan juga tokoh-tokoh partai politik dengan warna-warna tertentu yang bilang bahwa pemerintahan SBY harus naikan harga BBM segera. Kalau tidak, hal ini lah yang akan jadi beban bagi pemerintahan baru. Lucu, benar-benar lucu. Ada dua alasan mengapa saya bilang lucu. Yang pertama, adalah alasan konstitutional. Jelas-jelas di akhir pemerintahan, pemerintahan yang incumbent jangan membuat suatu keputusan besar yang bernilai strategis. Bagi yang belum paham, naikin harga BBM itu gak semudah yang lo pikir.. Sudah tahu dua bulan lagi SBY gak lagi jadi Presiden, kok maksa banget naikin harga. Kenapa gak di pemerintahan baru aja naikin harganya. Katanya gak takut dengan mengambil kebijakan yang tidak populis? Sebenarnya alasan pertama masih bersangkutan dengan alasan yang kedua. Yaitu, coba ditengok deh drama ‘Wakil Rakyat’ kita ketika setahun lalu, pemerintah SBY bersusah payah melobi para wakil rakyat di DPR untuk naikin harga BBM dan mengalihkannya ke subsidi lain. Apa yang terjadi di DPR waktu itu? Sibuk melawan upaya pemerintah dan malah rame-rame menggagalkan kenaikan harga BBM? Kalau lupa, coba dicek di youtube deh.. Partai warna apa saja yang heboh teriak-teriak untuk bilang “Jangan naikin harga BBM, karena bla bla bla..” dan sekarang bandingkan di TV, partai warna apa saja yang sibuk dan heboh bilang, “SBY harus naikan harga BBM.. karena sudah defisit dan bla bla bla..” BINGUNG? Sama dong kalau gitu.. Sungguh drama yang membuat pilu hati rakyat. Wakil rakyat ini maunya apa ya? Kita-kita yang diwakilin kok jadi tersayat gini dengarnya. Jadi sebenarnya, pemerintahan SBY sudah mengingatkan dari SETAHUN YANG LALU lho untuk mengalihkan subsidi tersebut. Tapi para wakil rakyat ini yang ogah-ogahan. Jadi yang wakilin rakyat ini sebenarnya siapa ya?
Kayaknya kebiasaan buruk putar balik logika publik kayak gini mulai udah gak asik untuk dilihat deh. STOP pembodohan publik dengan cara-cara sok akademisi. STOP komporin rakyat dengan alasan-alasan yang dibuat-buat. Jangan karena takut gak bisa melanjutkan prestasi pemerintahan SBY, pemerintahan yang baru (siapapun Presidennya) berusaha merusak dan menjelek-jelekan prestasi nyata pemerintahan SBY. Kalau mau lebih hebat, ya usaha dong.. Bukannya usaha jatuhin pemerintahan yang lama. Atau memang, pemerintahan yang baru sudah bingung ya, dengan cara apa bisa mengambil hati rakyat dan publisitas (media darling) dari prestasi yang sudah sedemikian gemilang diraih pemerintahan yang lama. Penuh beban sih sepertinya.. Harus diingat, masyarakat Indonesia itu tidak bodoh.. Lama-lama publik bisa menilai, mana yang benar-benar bisa berjanji dan menepatinya, dan mana yang hanya bisa berjanji tanpa bisa menepatinya. Mana yang benar-benar berprestasi, dan mana yang hanya bisa ‘ngomong doang..’
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H