Awal Oktober tahun 2024 kasak kusuk media, baik mainstream, media online, maupun di kalangan warganet Indonesia-- riuh rendah membahas calon menteri khususnya menteri pendidikan.Â
Jauh hari sebelum isu mendikbud terkulminasi, sudah banyak beredar di berbagai platform sosial media--kandidat mendikbud yang pada akhirnya kandidat yang dimaksud resmi ditunjuk sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (sekarang Mendikdasmen).
Obrolan seputar mendikdasmen baru, tidak terlepas dari kinerja Nadiem Anwar Makarim yang dinilai publik tidak signifikan mampu mengatasi permasalahan pendidikan di negeri ini.Â
Sang mantan bos Gojek tersebut, juga mendapat kritik tajam dari berbagai pihak  karena terobosannya yang dianggap kurang tepat, seperti penghapusan ujian nasional, tidak ada perankingan, maupun mengubah kurikulum 2013 menjadi Kurikulum Merdeka (Kurmer).
Karena itu khalayak pendidikan termasuk guru madrasah swasta menaruh perhatian besar terhadap Mendikdasmen baru. Menteri baru diharap mampu menyelesaikan permasalahan pendidikan di masa Nadiem Makarim.Â
Diketahui dari rekam jejaknya, Prof. Dr. Abdul Mu'ti merupakan praktisi pendidikan. Artinya Abdul Mu'ti mempunyai kemampuan yang linear dengan tugas yang diembankan padanya.
Walau dalam implementasi di lapangan,guru madrasah swasta tidak terhubung langsung dengan Mendikdasmen, tetapi kebijakannya akan menyentuh semua guru, baik guru yang bernaung di Kemendikdasmen dan Kemenag. Seperti kurikulum misalnya, menurut pernyataan Abdul Mu'ti pada rapat kerja (raker) dengan DPR akan mengevaluasi dengan prinsip mempertahankan yang sudah baik dan membenahi yang kurang baik.Â
Bahkan salah satu media online menurunkan berita dengan headline "Kurikulum Ful-Ful;Terobosan Pendidikan Mindful, Meaningful, dan joyful yang Siap Gantikan Kurikulum Merdeka?".
Dalam kesempatan raker, mantan ketua pemuda Muhammadiyah itu juga menyebutkan kenaikan tunjangan untuk guru yang pengalokasiannya pada tahun 2025. Kabar baik dari Mendikdasmen ini bisa menjadi angin segar bagi guru termasuk guru madrasah swasta. Seperti yang diwartakan media Kompas (31/10/2024) kenaikan gaji guru menurut Mendikasmen akan berbasis sertifikasi.
Akan tetapi jika kenaikan gaji guru hanya berbasis sertifikasi, berpotensi memperlebar disparitas antarguru. Sebab bukan rahasia umum dikotomi guru masih menjadi masalah klasik di Indonesia.Â
Belum berbicara klasifikasi guru ASN dan Non ASN di Kemendikdasmen ataupun guru di bawah Kemenag. Salah satu di antaranya guru madrasah swasta yang sampai saat ini menunggu kebijakan pemerintah yang benar-benar memperhatikan kesejahteraan guru madrasah swasta.
Perihal kesejahteraan guru madrasah swasta khususnya yang belum tersertifikasi sungguh menyedihkan. Gaji mereka sebesar Rp. 250.000,- perbulan yang pencairannya 2 kali dalam setahun dengan rincian setiap akhir semester ditransfer ke rekening guru penerima sebesar Rp. 1.500.00. Â
Walaupun ada dana BOS sebagai gaji ekstra tetap saja gaji mereka paling mentok satu jutaan. Dilihat dari besaran gaji tersebut sangat jauh beda dengan gaji buruh kendati bergaji di bawah upah minimum regional (UMR) sekalipun.
Guru madrasah swasta penerima tunjangan tersebut dikaktegorikan sebagai guru penerima tunjangan fungsional yang sekarang disebut  tunjangan insentif. Mengenaskan lagi banyak guru tersebut sudah mengajar selama dua dekade dan belum disertifikasi.Â
Belum tersertifikasinya banyak guru madrasah terkendala teknis yang bisa bersifat intrenal dan eksternal. Akibatnya guru madrasah insentif ini terpinggirkan.
Selain guru madrasah swasta level guru insentif, ada guru madrasah swasta tersertifikasi non Inpassing dan Guru Madrasah Swasta Inpassing (disetarakan). Â
Tersebut belakangan ini, sejak lama menuntut kejelasan karier. Guru madrasah swasta yang katanya disetarakan dengan guru negeri tidak jelas arah dan tujuannya. Padahal legal formal seperti Surat Keputusan (SK) Inpassing yang dimaksud, vertikal ke pusat, dikeluarkan Dirjen Pendidikan Islam. Sepatutnya kans diupgrade statusnya menjadi ASN terbuka lebar.Â
Hanya saja Guru Inpassing tidak terkover UU ASN sebagaimana guru PPPK langsung terkover UU ASN meski baru muncul muncul belakangan.
Realitas di lapangan menunjukkkan, status guru madrasah swasta Inpassing sejak tahun 2011 hingga kini terus berupaya menuntut kejelasan nasib.Â
Berbeda dengan guru honorer yang telah dinyatakan sebagai guru Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK), arah tujuan mereka sudah jelas. Mereka terkover dengan UU ASN Nomor 20 Tahun 2023 dan tentu saja hanya soal waktu mereka naik grade ke guru ASN. Berbeda dengan guru Inpassing yang hanya terkover UU Guru dan Dosen Nomor 14 Tahun 2005 Pasal 14.
Ditinjau dari latar belakangnya, guru PPPK ini berasal dari guru honorer kategori satu (K-1) dan guru honorer kategori dua (K-2). Guru honorer K-1 Surat Keputusannya dikeluarkan oleh Kepala Dinas Pendidikan Provinsi sedangkan guru honorer K-2 Surat keputusannya dikeluarkan oleh Kepala Dinas Kabupaten.
Dikomparasikan dengan Surat Keputusan guru Inpassing sebagaimana disebut di muka, terlihat bahwa SK guru Inpassing lebih legitimate (hierarki ke pusat) dibanding guru K-1 dan K-2 yang sekarang menjadi guru PPPK (hierarkinya kedaerahan).Â
Sehingga menjadi pertanyaan besar mengapa guru PPPK yang hadirnya belakangan bisa masuk ke UU ASN Nomor 20 Tahun 2023 sedangkan guru inpassing tidak dimasukkan ke UU ASN? dengan mempertimbangkan legitimasi surat keputusan guru inpassing yang dikeluarkan Dirjen Pendidikan Islam Kementerian Agama tersebut.
Dari dua hal pembanding tersebut, ditemukan kebijakan pemangku kebijakan terkesan diskriminatif. Melengkapi sekian dari banyak diskriminasi antarguru yang terjadi di negeri yang berasas kemanusiaan yang adil dan beradab.
Apabila merujuk pada Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen. Ketentuan ini mengatur dengan jelas hak dan kewajiban guru dalam menjalankan tugas keprofesionalannya sebagai guru.Â
Khususnya Pasal 14 ayat 1 UU Guru dan Dosen secara rinci menegaskan guru dalam melaksanakan tugas keprofesional memiliki hak di antaranya bagian (a) memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan sosial; (b) mendapatkan promosi dan penghargaan sesuai dengan tugas dan prestasi kerja dan seterusnya.
Sesuai pasal 14 UU Guru dan Dosen Tahun 2005 bagian (a) dan (b) di atas, seyogianya pemerintah berlaku adil kepada semua guru tanpa memandang mereka mengajar di mana, guru madrasah atau tidak, sertifikasi atau non sertifikasi, atau guru insentif dan non insentif. Selanjutnya mengupayakan kesejahteraan yang layak agar besaran gaji sesuai UMR seperti yang dijanjikan pemerintah.
Selain dari permasalahan diskriminasi, pergantian kurikulum setiap pergantian menteri selama ini hanya pergantian casing saja dalam artian pergantian terminologi seputar administrasi pembelajaran.Â
Pun konon pendekatan terbaru yang diwacanakan oleh Mendikdasmen dengan Deep Learningnya (Mindful, Meaningful, dan Joyful) Â pada dasarnya sudah dilakukan oleh para guru di lapangan sejak dulu. Hanya saja istilahnya saja yang berbeda sedangkan substansi ataupun konten/isi relatif sama dengan kurikulum-kurikulum sebelumnya.
Contohnya sebelum reformasi dikenal istilah pengajaran; Tujuan Instruksi Umum (TIU) dan Tujuan Intruksi Khusus (TIK).Â
Setelah reformasi, kurikulum berganti  dengan beberapa istilah seperti Standar Kompetensi (SK) dan Komptensi Dasar (KD) untuk Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK 2004) dan Kurikulum Satuan Pendidikan (KTSP 2006). Kemudian dikenalkan Kompetensi Inti (KI) untuk kurikulum 2013 (K-13).Â
Terkini kuikulum merdeka mengenalkan istilah Capaian Pembelajaran (CP), Alur Tujuan Pembelajaran (ATP), dan Modul Ajar.
Dampak dari pergantian itu, guru lebih banyak disibukkan pelatihan membuat perangkat dengan casing baru daripada pelatihan lebih substantif semisal pelatihan bagaimana praktik mengajar kekinian.Â
Alih-alih mengurangi beban administrasi guru, justru beberapa kali pergantian kurikulum hanya menambah beban administrasi yang tidak sedikit. Sehingga terobosan Rencana Pembelajaran (RPP) satu lembar ala Nadiem Makarim nyaris tidak mengubah apapun.
Mencermati sekian banyak problematika pendidikan, sebagaimana yang telah dipaparkan di muka, tiada lain yang diharapkan guru madrasah swasta, selain menuntut keadilan perlakuan di pemerintahan baru ini. Diberikan hak-haknya secara patut sehingga guru madrasah swasta bisa melaksanakan kewajiban mengajarnya dengan baik.
Sedangkan yang berkaitan dengan kurikulum, guru madrasah swasta berharap, administrasi pembelajaran tidak membebani guru seperti yang sudah terjadi selama ini.Â
Walau bagaimana pun, administrasi tetap menjadi hal penting bagi guru. Hanya saja, guru madrasah berharap kewajiban administrasi bisa lebih sederhana dari sebelumnya.
Untuk itu, momentum hari guru nasional 2024 bisa menjadi semangat baru bagi Kabinet Merah Putih memperhatikan nasib guru swasta. Seturut dengan itu, sesuai  Surat Edaran Sekretaris Jendral Kementerian Agama Nomor 34 Tahun 2024 Tentang Pedoman Peringatan Hari Guru Nasional Tahun 2024 yang mengambil tema "Guru Berdaya, Indonesia Jaya" menjadi sangat relevan.Â
Tentu saja tema yang diusung tak sekadar retorika tapi langsung menjadi aksi nyata memberdayakan guru madrasah swasta. Â Sehingga dengan begitu, guru madrasah swasta kembali bisa memupuk asanya dan stereotipe pemangku kebijakan; pemberi harapan hampa yang cenderung melekat selama ini akan hilang dengan sendirinya. Allahu'alam.
Lombok Tengah, 241124
#GuruBerdaya #IndonesiaJaya
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI