Menurut Undang-Undang (UU) Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen, pekerjaan sebagai Guru, Dosen, dan Guru Besar/Profesor merupakan pekerjaan profesional. Adapun yang dimaksud profesional adalah pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan seseorang dan menjadi sumber penghasilan, keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu, atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi.
Sebuah pekerjaan profesi tidak saja menuntut keahlian dan kecakapan tertentu tetapi juga adanya lembaga profesi yang menjadi rumah baginya. Sebagaimana dikemukakan oleh D. Westby Gibson yang salah satunya menyebutkan setiap pekerjaan profesi harus mempunyai organisasi profesi.
Organisasi profesi yang dalam hal ini rumah aspirasi guru adalah Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI). Â Selain PGRI terdapat banyak lembaga profesi guru. Banyaknya organisasi profesi menjadi indikasi PGRI belum sepenuhnya mampu mengakomodir guru Indonesia.
Bukan rahasia umum dikotomi guru masih tetap mengemuka. Diskriminasi guru tidak saja bahaya laten tetapi sebuah stigma yang mesti diupayakan dibuang sejauh-jauhnya. Sesuai dengan frasa "persatuan" seyogianya guru disatupadukan tanpa diskriminasi dalam beberapa hal.
Profesi juga dilekatkan dengan profesionalitas. Parameter profesional bukan pada selembar sertifikat pendidik yang nonsubtansial. Tapi profesionalitas diejawantah dalam sikap ataupun integritas seorang guru sebagai laku budi substansial. Apakah semua guru sudah profesional?
Menjawab pertanyaan tersebut membutuhkan alat ukur jujur guru menilai diri sendiri. Pada aspek ini guru wawas diri. Menjadikan seluruh aktivitas pembelajaran dengan murid menjadi sarana umpan balik bagi peningkatan profesional.
Selain tersebut di atas, tak bisa dimungkiri banyak guru yang gaptek khususnya generasi X (berkelahiran 60 s.d 70-an) belum adaptif dengan perangkat teknologi khususnya perangkat pendukung pembelajaran. Alih-alih mampu mengemas pembelajaran berbasis kecerdasan artifisial (AI) beberapa guru Gen X tidak mampu mengoperasikan laptop atau PC. Alhasil proyektor atau laptop satuan pendidkan jadi nirfungsi.
Beberapa permasalahan tersebut sekelumit saja dari kompleksnya permasalahan Guru dan pendidikan di Indonesia pada umumnya. Ditemukannya  guru bergaji 150 ribu khususnya guru di sekolah swasta jadi pembenaran, betapa profesi guru belum sepenuhnya mengangkat muruah seorang guru.
Berbicara dari sudut pandang kompetensi, semisal saja kompetensi pedagogik kita ambil saja nilai Asesmen Kompetensi Guru (AKG) sebagai alat ukur. Maka akan didapatkan fakta mencengangkan. Banyak guru kompetensinya hanya pada level cukup. Sebagian kecil saja yang barangkali bisa mencapai level mahir atau ahli.
Terkait dengan masih rendahnya penghargaan terhadap guru Indonesia dapat dilihat dari banyak guru dipolisikan karena mendisiplinkan murid. Fenomena beberapa tahun terakhir ini membuat muruah guru tidak saja jadi pertaruhan, tapi masa depan pendidikan Indonesia berpotensi jadi bom waktu yang sewaktu-waktu yang akan menghancurkan semua anak bangsa.
Terlepas dari problematikanya, guru sebagai profesional dituntut untuk tidak hanya menjadi guru biasa melainkan menjadi guru luar biasa. Guru luar biasa tidak hanya menguasai  didaktis pedagogik melainkan dapat menjadi motivator, inovator, kreator, dan inspirator bagi peserta didik sesuai dengan amanat konstitusi bidang pendidikan.
Jika menjadi guru sekadar mentransfer pengetahuan semata, maka sama saja guru hanya mengajar tapi belum sampai mendidik. Sebab pemindahan pengetahuan tanpa proses mendidik berpotensi melahirkan out put niradab.
Sehingga perlu setiap guru mengevaluasi diri. Mereorientasi tugasnya agar selaras amanat undang-undang. Dalam Undang Undang Nomor 14 Tahun 2004 Tentang Guru dan Dosen Pasal 1 Ayat 1 disebutkan; Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar dan pendidikan menengah.
Mengacu pada tugas utama guru pada undang-undang tersebut di atas, sangat tepat bila guru disebut pelita dalam gulita. Terus terang ketika cahaya hidup meredup. Terus menyala ketika sinar akan padam.
Dalam konteks kata "berterus terang" terdapat dua pengertian yang dimaksud. Pertama, berterus terang dalam leksikon KBBI berarti; mengatakan yang sebenarnya atau jujur. Jujur merupakan harga mati yang harus dimiliki guru tanpa tawar menawar. Sikap ini nantinya tercermin dalam integritas seorang guru.
Kedua, kata "berterus terang" mengandung arti tamsilan sesuai pemaknaan lagu-lagu tentang guru. Ragam judul lagu tentang guru memiliki substansi sama yakni; guru diumpamakan pelita, suluh, sinar, atau cahaya yang harus terus terang mempelita di tengah gulita, menyuluh di tengah keruh, menyinari di tengah pendar, serta bercahaya di tengah lara.
Oleh karena itu menutup catatan ini kita berharap kebijakan pendidikan di masa mendatang betul-betul berpihak pada guru khususnya guru di lembaga nonpemerintah. "Pendidikan berkualitas tidak semata lahir dari mewahnya gedung dan fasilitas tetapi lahir dari para guru yang ikhlas". Akhir kata; Selamat Hari Guru Nasional 2023. Teruntuk  semua Guru yang terus berupaya mencerdaskan anak bangsa tetaplah jadi suluh di tengah masih gulitanya pendidikan di negeri ini.
Lombok Tengah, 251123
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H