Mohon tunggu...
kania ditarora
kania ditarora Mohon Tunggu... Guru - Tenaga Pengajar di madrasah swasta

Menulis adalah sebuah implementasi mencintai diri sendiri, sesama, dan semesta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Obsesi Pak Polisi

18 November 2023   08:18 Diperbarui: 18 November 2023   12:09 133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Baru saja Bagas menyandarkan tubuhnya di rumah, seorang pria muncul. Ia mendekat. Berbisik. Bagas hanya tersenyum sambil manggut-manggut. Ia memang terbiasa mendapat informasi seputar kamtibmas oleh masyarakat setempat. Tidak mengherankan, dalam satu hari bisa belasan laporan yang ia terima.

Selama tinggal di Desa tempat ia bertugas, Bagas biasa mangkal di sebuah warung milik warga. Sekadar menyeruput segelas kopi ia sering terlihat karib dengan pelanggan mau pun pemilik warung, seorang janda tua. Oleh sebagian besar warga, ia biasa disapa dengan;komandan.

Nama Bagas sudah tidak asing di telinga warga. Pertama kali bertugas di tempat ini. Ia melakukan sweeping sabung ayam. Warga yang melihatnya seketika mengambil langkah seribu. Beberapa orang yang tidak sempat melarikan diri ditangkap. Anehnya ia tidak memborgol warga pelaku sabung ayam. Ia hanya membisikkan sesuatu. Sambil senyum-senyum  orang tersebut berlalu.

Di desa ini perilaku masyarakat tergolong bebas. Antara warga yang satu dengan yang lain cenderung tidak mau tahu dengan masalah sekeliling mereka. Konon pemuka agamanya juga tak pernah digubris nasehatnya. Alhasil merebaknya penyakit masyarakat. Premanisme, pencurian, dan perjudian jadi pemandangan galib di sana. Khusus perjudian orang-orang tertentu saja yang tahu. Karena perjudian ini dilakukan terselubung.

Meski demikian, bukan Bagas namanya kalau ia tak mampu mencium aroma judi. Diambilnya seragam kebesaran yang menggantung di belakang pintu rumah kontrakan. Ia bergegas setelah menerima laporan. "Siapkan segala sesuatu, atur sedemikian rupa, ujarnya via handpone.

Sebentar mematut diri di depan cermin. Ia menuju TKP. Tidak lupa pistol terselip di ikat pinggangnya sebelah kanan. Seragam yang ia kenakan semakin lengkap dengan tanda segitiga berwarna perak tersusun di kedua pundaknya. Sebuah simbol yang menegaskan bahwa ia seorang Brigadir Polisi.

Motor trail berwarna biru metalik membelah jalanan. Sesekali meliuk menghindari jalan berbatu. Tempat yang dituju lumayan jauh. Berjarak 2 km dari kontrakannya. Sebuah tempat strategis. Sebab kawasan ini merupakan kawasan zona merah. Sebagian warga meyakini, di tempat ini, semua makhluk halus beristana. Sehingga nyaris di sepanjang jalan tak akan ditemukan warga melintas.

Berjarak beberapa meter dari lokasi, ia berhenti di sebuah warung bekas pinggir jalan. Seorang pria menunggu.

"Gimana kesiapannya Jon?" Bagas menyelidik sambil mengambil tempat duduk berhadapan.
"Beres Ndan." Saya sudah mengondisikan semuanya, Jon menjelaskan.
"Sesuai laporan kamu tadi, berapa orang yang sudah deal?" Bagas memastikan.

"Semua sepakat dengan tawaran, tinggal dibuat seolah operasi tangkap tangan agar tak ada kecurigaan dari mereka yang tak tahu Ndan, Jon panjang lebar.

"Oke, kita segera meluncur Jon, perintah Bagas.

Deru dua motor trail memasuki sebuah gubuk di dalam hutan kecil. Beberapa orang melarikan diri begitu tahu siapa yang datang. Dengan gaya seorang crosser Bagas cekatan menghentikan motornya. Ia dan anak buahnya memasuki gubuk. Diamatinya orang-orang yang sedang asyik masyuk bermain domino.

Di setiap sudut, tampak dua orang bertugas sebagai penjaga keamanan. Empat orang berbadan atletis bertugas di pintu utama. Persis di tengah-tengahnya, meja berukuran besar. Meja-meja kecil dengan empat tempat duduk mengelilingi meja utama. Pada meja utamalah orang-orang sedang bertransaksi.

Begitu tahu yang datang, seseorang segera menyediakan tempat duduk. Bagas dan anak buahnya mendekat. Lelaki paruh baya mengambil tempat duduk berhadapan dengan Bagas. Ia menyerahkan amplop berwarna coklat. "Hitung jumlahnya Jon!" Perintah Bagas. Ia melemparkan amlop yang diterimanya pada Jon yang berdiri di belakang.

"Tidak perlu khawatir. Aktivitas kalian aman jika uang pengamannya lancar seperti ini." Beber Bagas tersenyum. Ia menyalami lelaki paruh baya itu. Membisikkan sesuatu sembari menepuk-nepuk pundaknya. Sebelum berlalu, ia meminta Jon untuk mengawasi.

Jon orang kepercayaannya. Di antara banyak informan yang dimiliki, Jon paling diandalkan. Setiap perintah Bagas selalu ia amini. Barangkali latar belakang Jon yang tak bisa baca tulis membuat Bagas kepincut merekrutnya. Ia berpikir orang seperti ini cocok untuk pekerjaannya. Setiap operasi mau pun transaksi ia selalu dilibatkan. Bagas menyadari, orang seperti Jon-lah yang dibutuhkan. Tidak neko-neko seperti yang lainnya.

Memang selama ini, ada saja informan yang membuat ulah. Pernah suatu ketika, salah seorang informan meminta uang bonus tambahan. Ia mengancam, akan melaporkan Bagas ke atasannya. Meski ia sendiri tidak tahu siapa atasan Bagas. Ia juga heran, tidak pernah sekali pun ia melihat Bagas didatangi sesama anggota polisi.

Sampai pada suatu ketika, tepatnya lima bulan  Bagas melancarkan aksinya di desa itu. Kecurigaan anak buah Bagas selama ini terkuak. Semua terang benderang. Kejadian tidak terduga terjadi. Seperti biasa, arena sabung ayam dipenuhi warga. Termasuk juga pengawalan Bagas, Jon dan anak buah lainnya.

Tiba-tiba terdengar letusan senapan. Warga bergeming. Mereka tidak peduli sebab merasa aman saja dengan pengawalan Bagas. Mereka juga mengira Bagas yang usil. Berjarak dua menit, kembali suara tembakan meletus. Kali ini mereka celingukan mencari sumber suara.

Belum sempat mereka menyadari apa yang terjadi. Satu peleton polisi bersenjata lengkap menyerbu. Satu teriakan microphone menggema. "Jangan melawan, kalian telah terkepung!" Bagas, Jon, dan lainnya mencoba kabur dari arah belakang. Namun benar, tempat itu sudah dikuasi sepenuhnya oleh kepolisian.

Semua menyerah. Warga digelandang ke truk kecuali Bagas yang dimasukkan ke mobil khusus. Dari peristiwa yang entah siapa pelapornya ke aparat. Diketahui Bagas adalah polisi gadungan. Selama ini ia menjadi DPO aparat. Sudah banyak yang menjadi korbannya.

Diketahui pula Bagas sangat terobsesi menjadi Polisi. Keterangan ini diperoleh dari rekannya yang kebetulan menjadi komandan operasi penangkapan. Mereka berteman sejak bangku SMA. Menurutnya sejak SMA Bagas sering menggunakan atribut polisi. Baik itu sepatu mau pun celana ia memakainya ketika hari rabu dan kamis.

Selepas SMA ia telah berulangkali mendaftar sebagai anggota polisi. Namun selalu gagal. Melihat dari tubuhnya yang atletis dan berwajah cukup tampan orang akan heran bila ia tak lulus tes polisi. Usut punya usut sawah satu-satunya milik ayah Bagas tidak mau dijual, sehingga Bagas harus rela mengubur impiannya.  

Lombok Tengah, 181123

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun