Pembangunan jiwa tidak bisa tidak fondasinya melalui pendidikan agama. Melalui pendidikan agama an sich diharap menjadi keharusan. Efektifitas pendidikan agama akan terasa jika porsi pelajaran agama memadai di sekolah-sekolah tanpa pengecualian. Baik itu sekolah swasta apatah sekolah negeri.
Namun tataran praksisnya bertolak belakang. Â Porsi pelajaran agama di sekolah umum paling banter 4 jam pelajaran. Pergantian kurikulum dari masa ke masa oleh penyelenggara negara sejak ORLA, ORBA, hingga sekarang ini belum menempatkan pelajaran agama sebagai pelajaran wajib. Sehingga tidak mengherankan keterpurukan yang selama ini terjadi karena negara ini melupakan jiwa bangsa yang merupakan tindakan melupakan sejarah. Bukankah Bung Karno selalu menegaskan "Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah".
Lantas bagaimana dengan pesantren? Pendidikan agama di pesantren memang menjadi ruhnya, akan tetapi impaknya belum membumi. Pendidikan yang membumi dan komprehensif efektif dilakukan oleh negara.
Belum seriusnya negara membangun jiwa bangsa melalui pendidikan agama di sekolah menciptakan gap antara pesantren dengan sekolah umum. Sehingga kesan di lapangan pendidikan agama di pesantren maupun di sekolah umum berjalan sendiri-sendiri. Secara tidak langsung mendikotomi ilmu agama dan ilmu umum yang sepatutnya terintegrasi.
Berkenaan dengan itu dapat dilihat pembangunan tidak berimbang. Hingga membuat bangsa belum mampu keluar sepenuhnya dari keterpurukan. Membangun badan bangsa tanpa membangun jiwa bangsa terlebih dahulu melahirkan masyarakat rusak. Namun harapan selalu terbuka, bangsa Indonesia adalah bangsa besar. Memiliki sumber daya manusia yang andal. Momentum hari Kemerdekaan, bangsa Indonesia harus mampu membangun jiwa dan badannya untuk "Indonesia Raya". Â Wallahu'alam.
Lombok Tengah, 170823
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H