Mohon tunggu...
La OdeZalaluddin
La OdeZalaluddin Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa

Mahasiswa Magister Hukum Kenegaraan Universitas Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Urgensi Pendanaan Partai Politik di Indonesia

13 September 2019   23:27 Diperbarui: 13 September 2019   23:29 914
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Partai politik merupakan salah satu elemen penting untuk konsolidasi demokrasi yang sehat dan subtantif karena kualitas partai politik akan berpengaruh dalam menentukan keterwakilan dan akuntabilitas politik. 

Partai politik memiliki peran sentral untuk menyalurkan aspirasi masyarakat guna untuk mencapai kesejahteraan hidup berbangsa dan bernegara, atau dengan kata lain partai politik juga memainkan peran sebagai penghubung yang strategis antara pemerintah dengan warga negara. 

Selain itu peran fundamental lainnya yang dijalankan partai politik adalah karena secara formal hanya partai politik yang diakui dan diatur secara sah sebagai lembaga yang berfungsi menciptakan wakil rakyat di pemerintahan.

Di Indonesia, partai politik menjadi signifikan sejak reformasi 1998 dan sejak diundangkannya paket Undang-Undang Politik tahun 1999. Meskipun reformasi termasuk menyentuh perubahan signifikan dalam sistem perwakilan dan partai politik, namun berbagai kajian menunjukkan kesenjangan antara peran ideal partai politik yang dituntut dalam reformasi dan kondisi empiris partai politik. 

Tidak jarang peneliti menunjukkan adanya keberlanjutan karakteristik partai politik dengan era sebelum reformasi dimana partai politik tidak memiliki platform ideologi yang jelas dan hanya mendasarkan diri pada praktek bagi bagi kekuasaan demi kepentingannya sendiri.

Sehingga partai politik membentuk relasi kartel (Slater, 2004; Ambardi, 2008) ataupun menjadi predator kekuasaan dalam demokrasi (Robison dan Hadiz, 2004). Kajian yang lebih baru melihat kegagalan partai politik lebih kepada permasalahan internal partai politik, terutama dalam hal pendanaan partai (Mietzner, 2013).

Mengingat pentingnya peran dari partai politik dan dalam upaya menguatkan momentum konsolidasi demokrasi Indonesia, pemerintah secara konsisten terus berupaya memperkuat kelembagaan demokrasi, termasuk partai politik. 

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015-2019 (RPJMN 2015-2019), salah satunya menyebutkan untuk memfasilitasi peningkatan peran partai politik serta mengamanatkan untuk melakukan perubahan UU Parpol untuk mendorong pelembagaan partai politik dengan memperkuat sistem kaderisasi, rekrutmen, pengelolaan keuangan partai, dan juga pengaturan pembiayaan partai politik melalui APBN/APBD demi terciptanya partai politik yang sehat dan sebagai piranti dasar bangunan demokrasi itu sendiri.

Pendanaan partai Politik indonesia merupakan isu yang sangat menarik untuk dibahas diera demokrasi modern ini. Minimnya pendanaan partai politik yang bersumber dari APBN menjadi kendala yang dihadapi oleh partai politik dalam melakukan aktifitas politiknya. 

Sehingga banyak partai politik yang menerapkan mahar politik terhadap oknum yang ingin mencalonkan diri sebagai legislatif maupun eksekutif agar dapat menambah dana pemasukan dari partai tersebut. 

Selanjutnya, mahalnya dana kampanye juga meupakan persoalan yang harus dihadapi oleh partai politik yang mengakibatkan partai politik harus mencari dana sumbangan dari pihak lain.

Penerapan tentang mahar politik dan sumbangan dari pihak lain yang ilegal tentu menjadi permasalahan dari partai politik. Pasalnya, batasan sumber dana yang diatur dalam UU Nomor 2 Tahun 2011 pasal 34 menyatakan sumber pendanaan dari partai politik adalah iuran anggota yang menyangkut iuran wajib dan iuran sukarela  dan sumbangan perorangan dan badan usaha yang telah diatur jumah maksimum besarannya, 1 milyar untuk sumbangan perorangandan 7,5 milyar untuk sumbangan badan usaha.

Yang menjadi persoalan adalah belum adanya akuntabilitas dan transparansi anggaran dari partai politik terkait adanya dana yang masuk dari sumbangan dan iuran anggota sehingga banyak oknum yang mempertanyakan sumber dana tersebut.

Apakah berasal dari dana yang halal atau dana dari hasil korupsi dan lain lain yang dinilai ilegal. Sebagai akibat dari sumbangan yang ilegal, banyaknya anggota parpol yang telah duduk dipemerintahan yang dipenjara karena terlibat tindak pidana korupsi yang dikhawatirkan aliran dananya masuk ke dana partai. Dan hal itu ditandai dengan diamnya partai menanggapi terkait anggota parpol yang terlibat korupsi.

Sehingga pada 2018 Pemerintah resmi menerbitkan PP Nomor 1 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2009 tentang Bantuan Keuangan Kepada Partai Politik tentang Kenaikan Dana Parpol. 

Yang awalnya hanya Rp. 108 menjadi Rp 1.000 per perolehan suara di pemilu. Kenaikan jumah anggaran parpol oleh negara merupakan salah satu harapan dari KPK. Ketua KPK Agus Rahardjo mengusulkan agar negara memiliki peran lebih besar dalam pembiayaan parpol guna mengurangi korupsi di kalangan partai politik. 

Pembiayaan ini dilakukan untuk mencegah parpol mencari cara-cara yang bertentangan dengan hukum dan mencari pembiayaan lain, sehingga perlunya pemerintah menaikkan pagu anggaran biaya partai politik kemudian menetapkan audit yang mendalam. Dan bahkan KPK menginginkan negara memberikan biaya yang cukup besar, sehingga auditnya bisa sangat mendalam. 

Paku anggaran dari pemerintah yang besar dan audit yang mendalam itu, akan menimbulkan konsekuensi yang sangat besar bagi parpol jika melakukan suatu pelanggaran yaitu didiskualifikasi parpol sampai pada pembubaran partai politik itu sendiri.  

Wakil KPK Saut Situmorang menambahkan, jika persoalan korupsi merupakan persoalan yang kompleks mulai dari sistem, struktur masyarakat, politik, pemerintahan, dan lain sebagainya. 

Hal tersebut membuat kombinasi dan pendekatan serentak pada semua potensi penyebab korupsi harus dilakukan. Namun kembali dijelaskan Saut bahwa penindakan pada kasus korupsi saja tidak cukup. Perlu adanya pencegahan, termasuk dengan dana parpol lewat APBN.

Keputusan ini tentu menjadi ujian pemerintah, setidaknya ada dua hal. Pertama, menagih komitmen pemerintah soal penghematan anggaran yang sedang digalakkan termasuk memangkas berbagai subsidi terkait kesejahteraan masyarakat dalam APBN. 

Kedua, soal harapan agar parpol tak jadi pemicu korupsi, yang bisa diuji dengan bercermin dari negara lain dalam memberikan bantuan kepada parpol. Di sisi lain, pendanaan partai politik oleh APBN dapat mengurangi politik transaksional yang selama ini menghantui sejarah perpolitikan Indonesia. 

Selama ini, partai politik terkesan mengabaikan kepentingan masyarakat, hal ini bisa terjadi dikarenakan sumber dana dari partai politik tidak mutlak dari pemerintah saja. 

Misalnya, pendanaan partai politik dari perusahaan swasta. Ketika partai politik didanai oleh perusahaan swasta, secara otomatis perusahaan yang bersangkutan juga meminta imbalan berupa dipenuhi kepentingannya oleh partai politik. 

Direktur Eksekutif Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi, Titi Anggraini, menyatakan bahwa bantuan dana pemerintah akan membantu menekan pengaruh sektor swasta dan mengurangi kendalinya atas parpol. 

Walaupun anggaran telah dinaikan, tetapi anggaran negara terhadap parpol di Indonesia masih sangat rendah dibanding dengan negara-negara lainnya. Mengacu pada tahun 2016 anggaran yang diterima oleh partai politik yang telah diakumulasi dari 10 partai politik berjumlah 174,23 Miliar Rupiah.

Di Meksiko misalnya, pada 2012 untuk parpol diberikan bantuan dana 387 juta dolar AS. Setahun kemudian, jumlahnya turun menjadi 144 juta dolar AS. Pemerintah Turki juga memberikan bantuan dana kepada parpolnya, pada 2011 disuntikkan dana 163 juta dolar AS untuk parpol. Negara maju seperti Jerman pada 2014 juga memberikan bantuan 157 juta Euro.

Bila ditelaah lebih lanjut, Meksiko salah satu negara yang memberi dana sumbangan kepada partai politik memberikan bantuan sebanyak 70 persen dari kebutuhan parpol. 

Kenyataannya korupsi masih terus merajalela di negara tersebut. Transparency International (TI) dalam laporannya soal indeks persepsi korupsi global 2016 mencatat Meksiko berada di peringkat ke-123 dari 176 negara. Meksiko mengantongi poin 30 (sedangkan poin 100 paling bersih dari korupsi). Capaian Meksiko ini relatif sangat buruk karena masih jauh di bawah rata-rata indeks yang mencapai 43 poin.

Kondisi berbeda justru terjadi di Selandia Baru. Negara itu menjadi salah satu negara yang tidak mendanai partai politik. Namun, laporan indeks persepsi korupsinya berada di posisi ke-2 di seluruh dunia, termasuk negara yang paling bersih. 

Di Selandia Baru, semua dana dari para donatur tercatat disertai besaran sumbangannya buat parpol. Sementara itu, di Jerman, besaran dana bantuan negara bagi partai politik beragam. 

Jumlah bantuan tergantung perolehan suara saat pemilu. Per suara nilainya mencapai satu Euro atau Rp16.000. Pada 2015 misalnya, NPD menerima 1,3 juta Euro atau 1,38 juta dolar AS sebagai dana bantuan parpol. 

Laporannya indeks persepsi korupsi global 2016 menunjukkan Jerman berada di peringkat ke-10 dengan nilai 81 poin. Skor ini menunjukkan bahwa tindak korupsi di Jerman termasuk salah satu yang terendah atau negara bersih dalam hal korupsi.


La Ode  Zalaluddin Kapege, S.H., 

(Mahasiswa Magister Hukum Kenegaraan Universitas Indonesia)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun