Tulisan ini dibuat pada tanggal 14 Juni 2022
Memasuki tahun pemilu 2024, muncul beberapa nama tokoh nasional yang kemungkinan akan bersaing memasuki persaingan calon presiden 2024 nanti. Sejumlah lembaga survei nasional juga telah membuat survei elektabilitas para tokoh-tokoh calon presiden nanti, diataranya Prabowo Subianto, Maharani, Ganjar Pranowo, Anies Baswedan, cak Imin, Airlangga Hartarto, Eric Tohir, Sandiaga, Agus Harimurti, dan beberapa tokoh lainnya.
Tahapan pemilu 2024 sendiri akan dimulai dari 14 Juni 2022[1] dan direncanakan berakhir pada Februari 2024 jika pemilu Presiden berjalan dalam satu putaran. Namun pesta demokrasi yang akan berlangsung tersebut kemungkinan besar akan menurunkan animo masyarakat untuk berpartisipasi didalamnya. Menguatnya politik otoritarian didalam partai, kondisi sosial ekonomi dan kebosanan masyarakat terhadap strategi politik pencitraan kemungkinan besar menajdi faktor yang menurunkan partisipasi masyarakat tersebut.
Â
Sejak pemilu 2004, angka golput dimasyarakat cendrung meningkat dari pemilu ke pemilu. Pada pemilu 2004, angka golput mencapai 21,8% - 23,4% (putaran kedua), sedangkan pada pemilu 2009 mencapai 28,3%, 2014 mencapai rata-rata 30,8% dan 2019 mencapai 23,3%[2]. Walaupun pengaruh dari masyarakat yang memilih untuk tidak memilih tidak mempengaruhi hasil pemilu namun, angka ini dapat menggambarkan seberapa besar legitimasi para pemimpin negara di mata masyarakat.
Â
Politik Indonesia tidak lagi Dinamis
Â
Pemilu 2019 dengan kemenangan Joko Widodo sebagai presiden 2019-2024, banyak diwarnai dengan penggunaan isu-isu politik identitas sebagai strategi kampanye para calon presiden. Strategi ini kemudian berakhir dengan kerusuhan yang memakan beberapa korban jiwa. Kejadian ini menjadi preseden buruk dalam memori kolektif masyarakat Indonesia terutama di kota seperti Jakarta, sehingga kemungkinan besar menurunkan partisipasi masyarakat dalam pemilu kedepannya.
Â
Anggota DPR dari hasil pemilu 2019 banyak muncul dari kalangan pengusaha[3] yang juga menjadi sponsor koalisi selama masa kampanye, serta beberapa keluarga dari kalangan pejabat yang belum memiliki pengalaman sebagai politisi maupun anggota parlemen. Sehingga politik di parlemen Indonesia tidak lagi kritis dalam menyuarakan kepentingan masyarakat. Hal ini terlihat tidak riuhnya isu-isu politik yang berkembang selama priode ini dan cendrung tidak ada oposisi berarti dalam menanggapi kebijkan-kebijakan pemerintah. Banyak undang-undang yang menegasikan peran masyarakat untuk terlibat dalam memberikan masukan, sehingga proses pembuatan Undang-Undang terkesan cepat dan hanya butuh stempel dari DPR sebagai mitra Pemerintah saja.Â
Â
Semakin menguatnya otoritarian di dalam partai juga turut membatasi munculnya politisi muda dan handal untuk tampil dan mengkritisi kebijakan-kebijakan pemerintah, sehingga mendorong dinamika politik menjadi biasa-biasa saja. Strategi untuk membuat koalisi besar pada priode 2019-2024 juga mendorong dinamika politik Indonesia juga tidak terlihat riuh akan ide dan gagasan yang membangun. Para anggota koalisi yang menang dibawah pemerintahan Joko Widodo terkesan hanya mementingkan kapling kuasa partai dan kelompok untuk pemilu 2024 tanpa harus mengkritisi kebijkan-kebijakan yang berjalan saat ini.
Â
Beberapa faktor ini kemudian kemungkinan besar akan mempengaruhi sikap dan animo masyarakat untuk ikut berpartisipasi dalam pemilu 2024 nanti. Selain itu jumlah penduduk usia muda yang masuk dalam Gen-Z juga memiliki pengaruh besar dalam dinamika politik Indonesia. Tokoh politik yang akan ikut dalam pemilu 2024 nanti kebanyak berasal dari generasi yang lebih tua dan sangat berbeda pandangan dengan generasi saat ini. Generasi millennial serta generasi Z yang terikat dengan gadget, banyak memiliki pandangan skeptik[4] terhadap kondisi dan keadaan politik Indonesia, atau dapat dibilang mereka tidak terlalu perduli dengan drama yang ditampilkan oleh generasi yang lebih tua.Â
Â
Perkiraan Calon Presiden 2024
Â
Politik Indonesia saat ini yang hanya didimonasi oleh keluarga-keluarga elit nasional sehingga hanya memberikan sedikit pilihan bagi rakyat untuk memilih calon presiden mereka. Disisi lain, kelompok-kelompok besar elit politik akan mencoba untuk mengurangi beban pemilu baik anggaran maupun risiko konflik seperti pada priode sebelumnya. Hal ini kemungkinan besar akan mendorong munculnya sedikit nama calon presiden dan calon wakil presiden pada pemilu kedepan. Setidaknya terdapat dua hingga tiga pasang calon yang akan bertarung di pemilu 2024.
Â
Jika Gerindra dapat berkoalisi dengan PDI Perjuangan sebagai partai dengan kursi terbanyak di DPR, maka kemungkinan besar ada dua pasang nama yang akan maju di tahun 2024 yang di dukung oleh koalisi PDI-Perjuangan-Gerindra serta koalisi lainnya yang mungkin di dukung oleh Nasdem-Golkar. Jika hal ini terjadi selain akan menurunkan beban anggaran negara, juga mengurangi konflik yang mungkin timbul di masyarakat karena berlarutnya masa pemilu.
Namun begitu, pemilu 2024 mungkin juga dapat berjalan tidak mulus, kita juga mungkin berkaca dari pemilu terdahulu, dimana para konstentan menggunakan strategi politik identitas yang mendorong keterbelahan masyarakat baik di kota maupun daerah. Bukan tidak mungkin strategi ini digunakan kembali pada pemilu 2024.Â
Strategi ini pun telah digunakan selama 10 tahun lebih sejak Presiden Joko Widodo maju sebagai Calon Gubernur DKI. Selain itu tokoh-tokoh hingga kelompok-kelompok yang sudah menikmati kuasa hampir 10 tahun belakangan ini tentunya juga tidak akan mau kehilangan peran begitu saja, sehingga jika kepentingan mereka tidak dapat diakomodir dengan baik, kemungkinan besar strategi politik identitas ini akan tetap ada pada pemilu mendatang. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H