Mohon tunggu...
SATRIA KUSUMA DIYUDA
SATRIA KUSUMA DIYUDA Mohon Tunggu... Wiraswasta - ya begitu deh...

Menulis di waktu senggang saja...

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Tulisan Hura-hura di Tengah Pandemic Covid-19

23 April 2020   15:49 Diperbarui: 23 April 2020   15:55 310
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebagaimana kita tahu, terdapat dua kebijakan mendasar pemerintah yang dapat mempengaruhi permintaan dan penawaran agregat, yaitu kebijakan fiskal dan moneter. Namun pada saat ini, kebijakan tersebut pun terbagi dalam dua otritas yang berbeda, yaitu Bank Sentral sebagai penguasa kebijana moneter dan Eksekutif atau pemerintah dan DPR yang menguasai kebijakan fiskal dalam bentuk anggaran belanja.

Dalam ekonomi sendiri terdapat berbagai pasar yang turut mempengaruhi ekonomi, diantaranya adalah, pasar keuangan, pasar tenaga kerja, pasar barang, pasar jasa, serta pasar modal. Pasar keuangan sendiri adalah pasar yang tempat bertemunya permintaan serta penawaran uang, pasar ini lah yang sebagian besar masuk kedalam otritas moneter yaitu Bank Sentral, harga uang akan sangat ditentukan oleh tingkat bunga yang berlaku yang biasanya dari lelang pasar uang di bank sentral, namun juga kebijakan bank sentral sendiri apakah akan memperbanyak uang beredar atau memperketatnya.

Sedangkan pemerintah dalam hal ini eksekutif juga turut mempengaruhi kebijakan pasar uang di mana lembaga-lembaga intermediari non bank masuk dalam pengaturannya, seperti lembaga pinjama, leasing, koperasi simpan pinjam dan lain sebagainya. Sedangkan pasar seperti barang, jasa, modal, dan tenaga kerja masuk dalam pengaruh intervensi pihak eksekutif serta DPR, dimana mereka dapat mengeluarkan kebijakan untuk memperketat serta memperlonggar pasar-pasar ini.

Besarnya kekuasaan eksekutif dan DPR dalam mempengaruhi kebijakan pasar-pasar lain selain pasar uang, tentu sangat krusial dalam mempengaruhi maju tidaknya perekonomian. Sehingga kebijakan buruk dapat menyebabkan menurunnya produktifitas perekonomian karena akan mempengaruhi banyak sektor. Teori ekonomi yang paling dasar mengatakan bahwa kesejahteraan dapat dicapai dengan seberapa banyak pilihan konsumsi yang dapat dilakukan oleh setiap individu, semakin banyak pilihan dalam mengkonsumsi barang dan jasa, maka akan semakin sejahtera setiap individu didalam suatu perekonomian.

Pembahasan kali ini kita mencoba menganalisa kebijakan pemerintah ditengah pandemi Covid-19 serta hantaman krisis ekonomi yang juga sedang berlangsung saat ini, lalu kita juga mencoba membandingkan apakah pengeluaran pemerintah dalam jangka pendek mampu untuk mempengaruhi sektor lainnya atau faktor lain yang mempengaruhi pertumbuhan GDP, yang berarti mempengaruhi pasar-pasar lainnya dalam perekonomian.

Permasalahan yang dihadapi pemerintah

Saat ini pemerintah dihadapkan oleh beberapa masalah, dalam pandangan penulis setidaknya terdapat tiga masalah besar, pertama adalah pandemi Covid-19 dimana memaksa pemerintah untuk membuat kebijakan karantina luas sehingga semi memaksa masyarakat Indonesia untuk menurunkan kegiatan ekonominya agar dapat membatasi penyebaran wabah.

Permasalahan kedua adalah, defisit pendapat pemerintah yang telah dimulai sejak awal pemerintahan. Defisit ini awalnya terjadi karena kebutuhan pemerintah untuk menambah anggaran belanja guna membiayai pengeluaran infrastrukturnya. Untuk menambah pemasukan, banyak sektor ekonomi yang mulai dikenakan pajak, dari mengenai pajak ekspor sumber-sumber daya alam seperti melegalkan ekspor benih lobster, penambahan bea untuk barang-barang plastik dan sebagainya serta mengenaikan pajak perdagangan online.

Namun dikarenakan cepatnya situasi berubah, akibat pandemi Covid-19, yang menyebabkan pemerintah tidak jadi menambah pendapatannya malah harus tetap mempertahankan pendapatannya akibat menurunnya kegiatan ekonomi, ditambah lagi kebijakan pemerintah yang menambah subsidi untuk masyarakat terdampak.

Permasalahan ketiga adalah dampak dari menurunnya ekonomi global yang akan sangat berpengaruh ke ekonomi domestik terutama investasi, konsumsi serta perdagangan internasional.

Kebijakan pemerintah

Pada awal pandemi COvid-19 terjadi di Wuhan China, pemerintah Indonesia tidak melihat hal ini sebagai suatu yang mengancam, namun juga tidak membuat perencanaan terburuk jika hal ini dapat mengacaukan segala segi kehidupan masyarakat. Beberapa politisi di DPR pun melihat pandemi ini bukan suatu hal yang mengancam hingga terdapat beberapa anggota DPR yang menjadi korban, bahkan salah satu menteri kabinet juga terkena wabah.

Minimnya perencanaan dan gegabahnya pilihan kebijakan yang diambil harus dibayar mahal oleh setiap masyarakat Indonesia. Diawal pandemi, setidaknya pemerintah memang hanya melihat ancaman ekonomi yang akan terjadi, sehingga mengeluarkan kebijakan untuk mendorong ekonomi terutama di sektor pariwisata, dan sektor terkait seperti konsumsi pada kuartal pertama untuk dapat tumbuh positif sebelum terjadinya dampak resesi global sampai ke Indonesia.

Kebijakan tersebut adalah dengan terus membuka sektor wisata memberi subsidi kepada travel dan penerbangan yang mendorong sektor wisata, sedangkan negara-negara lain telah bersiap untuk membatasi lalulintas orang antar negara yang diperkirakan dapat menyebarkan wabah.

Ketidak siapan pemerintah dalam hal perencanaan dan eksekusi juga terlihat ketika pemerintah terkesan tidak memiliki koordinasi baik dan terkesan tergopoh-gopoh dalam mengeluarkan statement soal penanganan wabah, ketika ini, Indonesia telah terkena wabah, dan sudah tidak ada lagi kebijakan pencegahan, bahkan kemenkominfo sendiri yang seharusnya menjadi leading dalam komunikasi dengan masyarakat baru bekerja setidaknya, mengirimkan SMS blasting pada tanggal 16 atau 17 Maret ketika mulai bermunculannya kasus Covid di Jakarta.

Pada pertengahan Maret juga, pemerintah mengadakan rapat terbatas kabinet dimana Menteri Kuangan memberikan pengarahan mengenai dampak ekonomi akibat Covid-19 ini terhadap perekonomian Indonesia, dalam bentuk beberapa skenario dari optimis hingga sangat buruk dimana pertumbuhan ekonomi diperkirakan -3%, dan besarnya defisit pendapatan pemerintah (skenario sangat buruk) bisa mencapat 400 an trilliun rupiah. Pada ratas ini juga pemerintah kemudian menginginkan adanya program BLT untuk menjaga konsumsi masyarakat bawah yang kemungkinan akan sangat terdampak akibat Covid.

Realita di Lapangan terkait pilihan kebijakan pemerintah

Hingga saat ini pun, pemerintah masih terlihat tidak memiliki kejelasan mengenai kebijakan yang tepat yang akan diambil, baik itu menyangkut penanganan COvid, maupun dampak ekonomi yang ditimbulkannya. Seperti halnya kebijakan PSBB yang pada kenyataannya di lapangan masih banyak warga yang tidak mengikuti aturan pemerintah karena merasa tidak mendapat insentif yang jelas dari kebijakan ini.

Semakin bertambahnya angka kasus positif Covid dapat dilihat sebagai indikator gagalnya kebijakan pemerintah soal penerapan PSBB. Terdapat sebagian masyarakat memang yang telah menerapkan untuk tidak berpergian keluar, namun karena tidak merata, masyarakat yang terlebih dahulu tidak keluar rumah mengakibatkan mereka juga kehabisan logistik dan juga turunnya pendapatan.

Kebijakan yang lebih konyol adalah pemberian sembako baik oleh pemerintah daerah maupun pusat kepada keluarga-keluarga tidak mampu dimana pelaksanaan program tersebut tidak serentak. Artinya, misalnya pada minggu pertama ada sebagian keluarga yang mendapat bantuan, sedangkan keluarga yang lainnya tidak dan harus terpaksa keluar rumah untuk memenuhi kebutuhannya.

Sedangkan pada minggu kedua, keluarga belum dapat kemudian mendapatkan bantuan, sedangkan keluarga yang pada minggu pertama mendapatkan, kemungkinan besar bantuan tersebut telah habis, dan harus terpaksa keluar rumah lagi untuk memenuhi kebutuhan mereka. Dari eksekusi kebijakan ini terlihat sangat tidak efektif terutama dalam mencegah peneybaran Covid. Permasalahan ini belum termasuk data penerima manfaat yang amburadul dan kemungkinan besar banyak tidak tepat sasaran.

Kebijakan pemerintah lainnya yang sedang berjalan adalah pemberian kartu pra pekerja, dimana kebijakan ini kemudian menimbulkan polemik, baik penerapannya maupun pemilihan pelaksana lapangannya.

Kebijakan ini awalnya diberikan kepada para pekerja yang terkena PHK akibat dampak dari pelemahan global yang memang diprediksi akan menghantam Indonesia pada tahun 2020, namun ketika wabah merebak, kebijakan ini pun masih dipaksakan untuk terus didorong.

Tentu saja kebijakan ini menjadi kurang tepat, selain mengalihkan sumberdaya pemerintah untuk penanganan Covid, program-program yang diberikan melalui kartu pekerja juga tidak terlihat manfaatnya kepada para pekerja yang terkena PHK, apakah benar program ini dapat menjaga perekonomian dari dampak buruk resesi global? Saya rasa tidak, karena tidak ada satupun yang menghasilkan produk, nilai tambah produk ataupun yang menghasilkan nilai tambah dalam perekonomian.

Dari semua kebijakan pemerintah saat ini, saya melihat pemerintah hanya berfokus kepada bagaimana menjaga pengeluaran pemerintah saja dalam jangka pendek, mungkin pemerintah berharap, dengan menjaga pengeluaran pemerintah dan membaginya kepada beberapa kelompok masyarakan, akan dapat menjaga daya beli masyarakat sehingga menjaga sektor konsumsi. Padahal sebagian besar kelompok masyarakat menahan konsumsinya karena merasa khawatir akan dampak wabah, sehingga jika mereka tetap mengurangi makan hal ini lah yang akan memberikan pengaruh negatif terhadap sektor lainnya.

Sebenarnya pengeluaran pemerintah tidak dapat menggantikan pengeluaran konsumsi rumah tangga, ataupun investasi pemerintah tentu tidak dapat mengganti investasi swasta dan pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi dalam jangka pendek. Namun kebijakan-kebijakan yang baik dan tepat, seperti bagaimana mempercepat penyelesaian wabah, bagaiman mendorong sektor usaha dan bagaimana mendorong pariwisata domestik untuk kembali bangun lagi dengan tepat adalah kebijakan yang harus segera menjadi fokus utama pemerintah, bukan kebijakan pengeluaran yang bertujuan membagi-bagi

Saya sempat membuat analisa kecil-kecilan dengan menggunakan data kuartal dari tahun 1993 sampai dengan 2019, untuk melihat seberapa besar pengaruh pengeluaran pemerintah dalam jangka pendek terhadap pertumbuhan ekonomi dan juga sektor lainnya.

Variabel yang saya gunakan adalah Pertumbuhan GDP, Pertumbuhan konsumsi rumah tangga, Pertumbuhan Pengeluaran Pemerintah, Pertumbuhan Investasi serta pertumbuhan ekspor Impor. Analisa ini menggunakan metode VAR untuk melihat model multivariat,dimana variabel eksogen (yang mempengaruhi) juga dapat menjadi variabel endoge (yang dipengaruhi). dari hasil perhitungan dengan menggunakan eviews saya kemudian mendapatkan:

Dimana cell yang berwarna hijau adalah konstanta variabel yang memiliki nilai P signifikant dan mempengaruhi variabel endogen. Variabel dalam kolom menunjukkan variabel eksogen dan varibel pada baris atas menunjukkan variabel endogen. Sebenarnya metode VAR lebih di tujukan untuk melihat respon suatu variabel terhadap variabel lain dan jarang digunakan untuk melakukan peramalan. Namun untuk analisa ringan setidaknya kita dapat gunakan untuk melihat polah hubungan antar variabel.

Dok. pribadi
Dok. pribadi
Pada kolom pertama kita dapat melihat, pertumbuhan ekonomi dipengaruhi secara signifikan oleh pertumbuhan ekonomi pada tiga kuartal sebelumnya (Q-1, Q-2, Q-3) artinya Pertumbuhan ekonomi pada quartal 4 tahun 2019, akan di pengaruhi oleh GGDP kuartal ke 3, kuartal ke-2 dan kuartal ke-1 2019. Sedangkan variabel konsumsi rumah tangga tiga kuartal sebelum nya yaitu misalnya kuartal 1 2019 turut mempengaruhi GGDP kuartal ke-4 2019. Sedangkan pertumbuhan pengeluaran pemerintah kuarta ke-3 dan kuartal ke-1 2019 adalah variabel yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi kuartal ke-4 2019. sedangkan pada kolom kedua, kita melihat tidak ada satupun variabel pengeluaran pemerintah yang secara signifikan mempengaruhi pertumbuhan konsumsi rumah tangga.

Jika kita melihat pola ini, kita juga dapat membayangkan pertumbuhan ekonomi kuartal ke-4 tahun 2020, kemungkinan dapat dipengaruhi oleh pengeluaran pemerintah di kuartal pertama (Januari-Maret) dan kuartal ke-3 (Juli-September). itupun hanya memberikan efek -0.05% dan 0.06% terhadap pertumbuhan ekonomi. Sedangkan pengaruhnya terhadap pertumbuhan konsumsi sama sekali tidak ada pada kolom kedua tidak ada.

Lalu kita membayangkan dengan pola seperti ini, apa yang dikejar oleh pemerintah dengan semua pengeluaran jangka pendeknya dalam bentuk BLT, ataupun Kartu Pra Pekerja seperti saat ini? Sedangkan pengeluaran pemerintah dalam jangka pendek pun tidak memiliki pengaruh besar terhadap sektor lainnya, seperti Konsumsi, investasi maupun ekspor impor.

Seandainya pemerintah lebih fokus untuk menyelesaikan wabah Covid dengan cepat, lalu kemudian kembali mendorong aktivitas warga masyarakat seperti sedia kala, saya rasa dampak pelemahan ekonomi global tidak akan terlalu membebani ekonomi Indonesia. Pemerintah dapat mendorong sektor pariwisata kembali aktif dan diisi oleh wisatawan domestik misalnya dengan aman tanpa ada rasa khawatir harus tertular wabah dan lain sebagainya.

Walaupun terlihat jelas pemerintah tidak memiliki action plan dalam menghadapi situasi seperti ini, namun ada baiknya jika pemerintah mengambil kebijakan yang matang baik dari segi target maupun eksekusi di lapangan, dan tidak tergopoh-gopoh dalam mengeluarkan suatu kebijakan yang berpengaruh banyak terhadap masyarakat, dan bukan hanya sekedar melakukan pengeluaran belanja yang membabi buta.

Jakarta 23 April 2020

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun