Hari ini, umat Islam di seluruh dunia merayakan Iedul Fitri. Merayakan kemenangan setelah sebulan lamanya melakukan Jihad Akbar, yakni berperang melawan hawa nafsu.Â
Usai Perang Badar, perang terbesar yang dipimpin langsung oleh Nabi Muhammad Rasulullah SAW dimana umat Islam beroleh kemenangan gilang gemilang, Rasulullah bersabda bahwa ada perang yang lebih besar dari Perang Badar. Perang itu adalah perang melawan hawa nafsu. Maka perang melawan hawa nafsu adalah jihad terbesar bagi umat Islam. Meski banyak yang menilai sebagai hadits dhoif (lemah), hadits tentang hal itu sangat populer. Namun ada hadits lain tentang jihad terbesar adalah perang melawan hawa nafsu, yang merupakan hadits sahih.
Hari ini, di Indonesia khususnya tidak ada yang bisa dikategorikan perang membela agama. Bahkan perang Palestina versus Israel, masih sangat debateble apakah itu merupakan perang membela agama atau bukan. Bagi saya itu bukan perang agama. Tidak semua pejuang Palestina beragama Islam. Ada juga umat Kristiani. Mereka berjuang bersama untuk menjadi bangsa yang merdeka. Demikian juga di Israel, tidak semua penganut agama Yahudi. Ada juga Umat Kristiani. Mereka bersama-sama berjuang mempertahankan eksistensi negaranya.Â
Hari-hari ini kita terperangkap dalam jebakan misinformasi, ketika ekskalasi pertempuran antara tentara Israel dan pejuang Palestina meningkat. Lihatlah di media sosial, masyarakat dunia maya terpecah menjadi 2 kelompok, yaitu kelompok umat Islam yang mendukung Palestina dan non Muslim (khususnya Umat Kristiani) yang mendukung Israel. Kita yang jauh dari Jalur Gaza justru terbelah. Kedua kelompok, sama-sama tidak paham apa yang sebenarnya terjadi di sana.  Bahwa  Indonesia sebagai bangsa dan negara memberikan dukungan kuat kepada Kemerdekaan Palestina tidak ada hubungannya dengan persoalan agama. Dasar dukungan Indonesia adalah amanat konstitusi yang tertuang di dalam Pembukaan UUD 1945 bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa. Juga sebagai kewajiban moral sebagai penggagas dan penyelenggara Konferensi Asia Afrika di Bandung tahun 1955.
Jika perang Palestina versus Israel saja masih debateble , maka menjadi sebuah kesalahan besar jika menganggap meledakkan gereja atau meledakkan bom di tengah-tengah puluhan atau ratusan orang non Muslim sebagai jihad. Â Jika kita ingin berjihad tanpa kesalahan landasan berpikir, berperanglah melawan hawa nafsu.
Memelihara dan menebar kebencian yang membabi buta adalah bentuk kekalahan dalam berperang melawan hawa nafsu. Iri dan dengki adalah pijakan untuk munculnya kebencian seseorang atau sekelompok orang kepada orang atau sekelompok orang lain. Kebencian sekelompok orang di Indonesia kepada etnis Tionghoa misalnya, adalah buah dari rasa iri ini.
Puasa bukan sekedar menahan lapar dan dahaga serta hasrat seksual. Esensi puasa adalah perang melawan hawa nafsu. Maka saat puasa Ramadhan berakhir, umat Islam merayakan Iedul Fitri sebagai ungkapan kegembiraan setelah berhasil memenangkan perang melawan hawa nafsu itu.
Keberhasilan memenangkan perang melawan hawa nafsu, adalah langkah umat Islam untuk menjemput janji Allah SWT, Â yakni mendapat ampunan dari segala dosa dan menjadi mutaqin (orang yang bertakwa). Untuk menjadi mutaqin, seseorang harus terbebas dari dosa, baik dosa besar maupun dosa kecil. Manusia adalah makhluk yang cenderung berbuat dosa, baik yang disadari maupun yang tidak disadari.Â
Iedul Fitri adalah kembali kepada fitrah, jati diri yang sesungguhnya dari manusia, yakni suci dari segala dosa seperti layaknya bayi yang baru lahir. Semua bayi lahir tanpa dosa. Tidak ada yang namanya dosa bawaan. Semua bayi laki-laki adalah cakep dan semua bayi perempuan adalah cantik, itulah persepsi dari semua orang tua dan kerabat si bayi. Tidak ada yang putih lebih cakep dari yang hitam. Atau yang mancung lebih cantik dari yang pesek. Semua sama. Â Ketika saat Iedul Fitri, Allah berkenan (ridlo) untuk mengampuni dosa seseorang, maka pelajaran dari Ramadhan adalah senantiasa menjaga dirinya dari perbuatan dosa dan sesegera mungkin mohon ampunanNYA ketika karena sesuatu hal ia berbuat dosa.
Berbuat salah dan dosa dalam interaksi kehidupan di dunia adalah sesuatu yang tidak mudah untuk dihindari. Ketika kita berbuat dosa kepada Allah, kita dengan "mudah" bisa mohon ampunanNYA. Dimana saja dan kapan saja. Mohon ampunan Allah SWT bisa dilakukan di tempat manapun di dunia ini dan tidak terikat waktu, boleh di pagi buta, siang, sore atau di larut malam. Allah SWT Maha Memenuhi Janji. Barang siapa yang memohon anpunanNYA dengan sungguh-sungguh, Allah SWT pasti mengampuni. Tapi berbuat dosa kepada sesama manusia, tidak mudah untuk memperoleh maaf. Bisa karena keengganan kita untuk mengakui kesalahan dan dosa ataupun karena kita enggan meminta maaf baik karena rasa malu atau bisa juga karena keangkuhan ego kita.
Tingkat kesulitan beroleh maaf dari sesama manusia, bisa terjadi karena kita sudah tidak bisa berkomunikasi dengan orang yang kita berbuat salah kepadanya, misalnya saja sudah meninggal dunia atau berdomisili di tempat yang jauh. Atau bisa juga terjadi karena orang yang bersangkutan tidak memberikan maafnya kepada kita. Bukan sesuatu yang mudah untuk memaafkan orang lain. Orang bisa saja mengucapkan maaf untuk kita, tapi apakah ucapan maaf itu berasal dari hati yang tulus ? Inilah beratnya ketika kita berbuat dosa kepada sesama manusia. Allah SWT tidak akan mengampuni dosa kita kepada sesama manusia ketika kita belum dimaafkan oleh orang yang kita telah berbuat dosa kepadanya. Maka hindarilah sebisa mungkin berbuat dosa kepada sesama manusia. Memberi maaf adalah hal yang tidak mudah, tapi lebih tidak mudah lagi meminta maaf.