Jauh sebelum ditetapkan sebagai hari libur nasional pada era kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid, sejatinya kita bangsa Indonesia sudah cukup familier dengan tahun baru Imlek. Masyarakat kebanyakan mungkin mengenalnya sebagai tahun baru Cina. Di lingkungan masyarakat Sunda, tahun baru Cina atau tahun baru Imlek lebih dikenal dengan "pabaru Cina".
Istilah "pabaru Cina" sendiri bagi masyarakat Sunda sebenarnya tidak menunjuk secara khusus kepada "satu tanggal", tetapi lebih kepada suatu periode waktu disekitar (beberapa hari sebelum dan sesudah) tahun baru Imlek. Periode waktu ini biasanya ditandai dengan sangat seringnya turun hujan di pagi hari.
Sebagai tokoh yang sangat pluralistik, Gus Dur paham betul bahwa keberadaan etnis tionghoa, Konghucu dan Tahun Baru Imlek adalah sebuah keniscayaan dalam kekayaan kita sebagai bangsa. Dan keberagaman adalah kekayaan yang merupakan anugrah Tuhan kepada kita Bangsa Indonesia. Dalam konteks inilah meski bukan keturunan Tionghoa, penulis senantiasa menyambut Tahun Baru Imlek sebagai bagian dari rasa syukur kepada Tuhan Sang Pemilik Waktu. Sebagaimana juga penulis senantiasa menyambut tahun baru dari kalender-kalender lainnya seperti Tahun Baru Hijriyah, Tahun Baru Masehi juga Tahun Baru Saka.
Perayaan tahun baru Imlek, tahun ini menjadi menarik karena bertepatan dengan kondisi pandemi covid-19 yang belum menampakkan tanda-tanda mereda. Cuti bersama yang ditetapkan pemerintah terkait dengan Imlek menimbulkan kekhawatiran munculnya kluster baru penularan covid-19.
Ini menjadi tantangan tersendiri bagi kita Bangsa Indonesia secara keseluruhan. Tidak terbatas kepada saudara-saudara kita etnis Tionghoa. Bukankah libur cuti bersama berlaku untuk semua, tidak terbatas kepada mereka yang merayakannya. Kita layak bersyukur karena dalam 3 hari berjalan cuti bersama sejauh ini tampak bahwa protokol kesehatan berjalan relatif baik.
Imlek tahun ini juga menarik, karena jatuh di saat sedang merebaknya sikap intoleransi dari sebagian kita. Isu rasial yang sejatinya tidak akrab dengan kehidupan kita sebagai bangsa, tiba-tiba menyeruak ke permukaan. Kisruh persetruan Abu Janda dan Natalius Pigal  misalnya, menjadi contoh nyata betapa isu rasial menjadi amunisi hebat untuk meluluhlantakan sikap toleransi. Frasa Aseng dan Asing yang secara nyata disteorotifkan kepada saudara-saudara kita etnis Tionghoa dan Negara RRC, adalah bukti kuat bahwa apapun bisa "digoreng" untuk kepentingan sekelompok orang yang tidak mau melihat Indonesia menjadi bangsa yang harmonis.
Penulis merasa beruntung tumbuh di lingkungan yang sangat menghargai keberagaman dimana toleransi menjadi bagian dari napas kehidupan masyarakatnya.
Tempat penulis berasal adalah sebuah kota kecil bernama Ciparay. Tahun 70-an di masa kanak-kanak penulis, di tempat kami jumlah keluarga Tionghoa tidak lebih dari hitungan jari tangan. Umumnya mereka berasal dari daerah Gombong di Jawa Tengah.Â
Meski jumlah mereka sangat sedikit, kami tidak pernah menganggap mereka warga minoritas. Kondisi ini juga ditunjang oleh sikap mereka yang tidak bersikap ekslusif, meski secara sosial ekonomi mereka lebih dari rata-rata warga lainnya. Jadi di masyarakat kami tidak ada dikotomi mayoritas - minoritas, juga pribumi -- nonpribumi.
Saya tumbuh di tempat yang penuh dengan toleransi dan kebersamaan. Tahun 80-an ketika mulai dikenalkan Siskamling, semua kepala keluarga dari etnis Tionghoa bergabung menjadi anggota Hansip. Dengan penuh kebanggaan mereka kenakan seragam Hansip, berlatih baris berbaris di alun-alun, dan ikut giliran jaga kampung.Â
Ketika salah satu anak dari keluarga mereka (generasi ketiga) bisa menembus Pelatnas Bulutangkis di era kejayaan Susi Susanti kami semua mendukungnya dan ikut bangga karenanya. Dan ini yang paling hebat, salah seorang dari mereka (dari generasi kedua), bekerja sebagai Guru Tetap di SMP Muhammadiyah, meski dia pemeluk Kristen yang taat.