Mohon tunggu...
Kang Win
Kang Win Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penikmat kebersamaan dan keragaman

Ingin berkontribusi dalam merawat kebersamaan dan keragaman IG : @kangwin225

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Belajar dari Hujan, "Halodo Sataun Lantis ku Hujan Sapoe"

3 Oktober 2020   07:31 Diperbarui: 3 Juni 2021   14:31 1526
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya tidak sedang berfilsafat atau apapun yang serupa dengan itu. Ini hanya tulisan dari sebuah kerinduan akan datangnya hujan. Saya teringat New Rollies, sebuah grup band lawas yang menggubah lagu tentang kerinduan akan datangnya hujan. Lagu berjudul KEMARAU liriknya seperti saya tulis di bawah ini :

Panasnian kemarau ini
rumput-rumput pun merintih sedih
Resah tak berdaya
di terik sang surya
bagaikan dalam neraka

Curah hujan yang dinanti-nanti
tiada juga datang menitik
Kering dan gersang menerpa bumi
yang panas bagai dalam neraka

Mengapa, mengapa hutanku hilang
dan tak pernah tumbuh lagi
Mengapa, mengapa hutanku hilang
dan tak pernah tumbuh lagi

Pada rentang waktu yang tidak terlalu jauh, judul yang sama dengan lirik dan lagu yang berbeda, setidaknya ditampilkan oleh 2 Grup Band yaitu Prambors dan Rhoma Irama (Soneta)

Musim kemarau segera akan berlalu. Musim penghujanpun akan segera datang menjelang. Bagi kita yang berada di wilayah tropis, musim kemarau dan musim penghujan adalah pasangan abadi. Seperti halnya siang dan malam, gelap dan terang, sedih dan gembira.

Baca juga: Memanfaatkan Air Hujan

Meski kemarau dan hujan adalah pasangan, hujan ternyata lebih dinanti kehadirannya oleh banyak orang. Hujan adalah berkah bagi sebagian besar manusia. Di tengah-tengah penulisan artikel ini, hujan turun dengan derasnya. Mengaliri sungai yang mulai mengering dan membasahi tanah yang lama kering kerontang. Saya harus menghentikan penulisan untuk sejenak menyambut turunnya hujan, menikmatinya dan mensyukurinya.

Dalam perspektif sains, hujan adalah sebuah fenomena alam. Mengutif Ahmad Zubair (Studio Belajar.com) :

Proses terjadinya hujan berawal dari sinar matahari yang membawa energi panas menyebabkan adanya proses evaporasi. Dalam proses evaporasi, air yang berada di bumi (laut, danau, sungai serta badan air lainnya) menguap karena panas tersebut lalu menghasilkan uap-uap air. Uap-uap air terangkat ke udara dan mengalami proses kondensasi. Dalam proses kondensasi, uap-uap air berubah menjadi embun yang diakibatkan oleh suhu di sekitar uap air lebih rendah daripada titik embun air. 

Suhu udara yang semakin tinggi membuat titik-titik dari embun semakin banyak dan memadat lalu membentuk menjadi awan. Adanya perbedaan tekanan udara di langit menyebabkan pergerakan udara atau yang biasa kita kenal dengan angin. Angin menggerakan awan yang membawa butir-butir air menuju tempat dengan suhu yang lebih rendah. Awan-awan yang terkumpul bergabung menjadi awan besar yang berwarna kelabu (proses ini dinamakan koalensi).

Hujan sangat dinanti oleh para petani. Curahan air hujan dipercaya memberi lebih banyak manfaat kepada tanaman. Hujan juga sangat dinanti oleh penduduk perkotaan. Turunnya hujan menurunkan kadar polusi udara perkotaan, sehingga udara terasa lebih segar.

Hujan juga banyak memberi inspirasi bagi para penyair dan musisi untuk menuliskannya. Tak akan habis dalam ribuan bait puisi dan lagu untuk menuliskan hujan.

Hujan juga bisa juga menjadi musibah bagi sebagian orang. Orang yang terpaksa harus tinggal  di lereng perbukitan, senantiasa was-was dengan kedatangan hujan. Longsor adalah ancaman bagi mereka di musim hujan. Banjir dan air bah adalah ancaman lain yang senantiasa hadir dari hujan. 

Baca juga: Pentingnya Informasi Curah Hujan terhadap Pertanian

Hujan adalah berkah bagi sebagian orang, tapi bisa mendatangkan musibah bagi sebagian yang lain. Salahkah hujan ? Kenapa hujan bisa menjadi berkah bagi sebagian orang, tapi pada saat yang sama bisa menjadi musibah bagi sebagian yang lain. Diskriminatifkah hujan ?

Tidak. Tidak ada yang salah dengan hujan. Hujan adalah anugrah Tuhan, bukan sekedar fenomena alam semata. Alloh SWT bahkan secara khusus menugaskan Malaikat Mikail sebagai pengatur turunnya hujan.  

Hujan dan air konsisten dengan sifatnya. Hujan tetap turun dari langit pada waktunya, tak ada seorangpun yang mampu mencegahnya. Tak ada pawang yang mampu menghentikan hujan, juga tak ada teknologi yang manpu melakukan itu. 

Demikian pula dengan air, yang konsisten dengan sifatnya mengalir dari tenpat yang lebih tinggi ke tempat yang lebih rendah. Air mengisi setiap rongga kosong yang dilewatinya dan membasahi yang tanah yang kering.

Hujan dan air memberi contoh konsistensi dalam bersikap. Hujan dan air juga memberi contoh sikap hanya memberi tanpa meminta. Kalau air konsisten membasahi tanah yang kering, maka manusia mestinya bisa membasahi kerongkongan manusia yang lain yang membutuhkan dengan mengalirkan kasih sayang. Dengan begitu tak ada seorangpun yang merasakan kemarau berkepanjangan dalam mulut, kerongkongan dan perutnya.

Kalau air bisa menghubungkan gunung dengan laut, dan hujan bisa menghubungkan air laut dengan mata air di gunung, maka kasih sayang mestinya bisa membuat hati manusia saling terpaut erat.

Bukanlah kehendaknya hujan dan air menjadi musibah bagi manusia. Hujan dan air hanya menjaga jati dirinya. Hujan dan air hanya menjalankan sunatulloh. Hujan turun dari langit, air mengalir ke tempat yang lebih rendah. 

Manusialah yang tidak mau menghargai itu. Bukan karena tidak tahu. Kecerdasan, kepintaran dan kekuasaan yang dimiliki manusia tidak mampu menjadikan dirinya terpaut erat dengan kehendak alam. Manusialah yang melahirkan musibah dan mengundang azab

Masyarakat Sunda mengabadikan hujan dalam sebuah pepatah : “halodo sataun lantis ku hujan sapoe”. Halodo artinya kemarau, sedangkan lantis berarti hilang tanpa bekas. (Barangkali karena ini pula Mazda Lantis tidak laku di Bandung). 

Baca juga: Air Hujan yang Terukur dalam Ayat-ayat Semesta

Pepatah itu mengandung makna bahwa kebaikan yang telah banyak dilakukan sebelumnya menjadi hilang terhapus oleh satu kesalahan (keburukan) saja. Lewat pepatah ini, Karuhun urang Sunda mengajarkan manusia harus senantiasa berhati-hati dalam hidup, jangan sampai keburukan menjadi akhir dari hidup.

Dalam ajaran Islam akhir yang buruk disebut dengan “suul khotimah” yang menjadi lawan kata dari “husnul khotimah” (akhir yang baik). Orang boleh berbuat salah, berbuat jahat, tapi pada akhir hayat harus menjadi orang yang baik. Dalam pemeo kekinian disebutkan “lebih baik jadi mantan penjahat, daripada menjadi mantan ustad”. 

Terus berusaha menjadi lebih baik dan lebih baik lagi, mestinya menjadi prioritas dalam agenda hidup setiap orang tanpa kecuali. Agenda yang tidak bisa ditunda-tunda lagi, karena kita tidak pernah tahu masih adakah sisa umur untuk memulainya. Sedetik yang akan datang adalah rahasia milik Tuhan.

Selamat menyambut musim penghujan

Salam


< Kang Win, Oktober 03, 2020 >

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun