Tidak. Tidak ada yang salah dengan hujan. Hujan adalah anugrah Tuhan, bukan sekedar fenomena alam semata. Alloh SWT bahkan secara khusus menugaskan Malaikat Mikail sebagai pengatur turunnya hujan.
Hujan dan air konsisten dengan sifatnya. Hujan tetap turun dari langit pada waktunya, tak ada seorangpun yang mampu mencegahnya. Tak ada pawang yang mampu menghentikan hujan, juga tak ada teknologi yang manpu melakukan itu.
Demikian pula dengan air, yang konsisten dengan sifatnya mengalir dari tenpat yang lebih tinggi ke tempat yang lebih rendah. Air mengisi setiap rongga kosong yang dilewatinya dan membasahi yang tanah yang kering.
Hujan dan air memberi contoh konsistensi dalam bersikap. Hujan dan air juga memberi contoh sikap hanya memberi tanpa meminta. Kalau air konsisten membasahi tanah yang kering, maka manusia mestinya bisa membasahi kerongkongan manusia yang lain yang membutuhkan dengan mengalirkan kasih sayang. Dengan begitu tak ada seorangpun yang merasakan kemarau berkepanjangan dalam mulut, kerongkongan dan perutnya.
Kalau air bisa menghubungkan gunung dengan laut, dan hujan bisa menghubungkan air laut dengan mata air di gunung, maka kasih sayang mestinya bisa membuat hati manusia saling terpaut erat.
Bukanlah kehendaknya hujan dan air menjadi musibah bagi manusia. Hujan dan air hanya menjaga jati dirinya. Hujan dan air hanya menjalankan sunatulloh. Hujan turun dari langit, air mengalir ke tempat yang lebih rendah.
Manusialah yang tidak mau menghargai itu. Bukan karena tidak tahu. Kecerdasan, kepintaran dan kekuasaan yang dimiliki manusia tidak mampu menjadikan dirinya terpaut erat dengan kehendak alam. Manusialah yang melahirkan musibah dan mengundang azab
Masyarakat Sunda mengabadikan hujan dalam sebuah pepatah : “halodo sataun lantis ku hujan sapoe”. Halodo artinya kemarau, sedangkan lantis berarti hilang tanpa bekas. (Barangkali karena ini pula Mazda Lantis tidak laku di Bandung).
Pepatah itu mengandung makna bahwa kebaikan yang telah banyak dilakukan sebelumnya menjadi hilang terhapus oleh satu kesalahan (keburukan) saja. Lewat pepatah ini, Karuhun urang Sunda mengajarkan manusia harus senantiasa berhati-hati dalam hidup, jangan sampai keburukan menjadi akhir dari hidup.
Dalam ajaran Islam akhir yang buruk disebut dengan “suul khotimah” yang menjadi lawan kata dari “husnul khotimah” (akhir yang baik). Orang boleh berbuat salah, berbuat jahat, tapi pada akhir hayat harus menjadi orang yang baik. Dalam pemeo kekinian disebutkan “lebih baik jadi mantan penjahat, daripada menjadi mantan ustad”.