Pagar rumah kami hanya terpisah oleh jalan desa selebar 4 meter dari bibir sungai Cirasea. Sungai selebar kurang lebih 15 meter ini berhulu di Gunung Kolotok (2205 mdpl) yang berada di Kecamatan Arjasari Kabupaten Bandung dan bermuara di Sungai Citarum di Kampung Parigi Desa Magung Kecamatan Ciparay Kabupaten Bandung. Panjang sungai dari hulu sampai ke muara hanya 20,7 km.
Cirasea memang bukan sungai besar dan panjang, sehingga hanya ada 2 jembatan besar yang melintang di atasnya, yaitu Jembatan Cirasea Girang di Jalan Raya Pacet dan Jembatan Cirasea Hilir di Jalan Raya Laswi. Rumah tinggal kami terletak persis di ujung utara Jembatan Cirasea Girang.
Dari halaman rumah, saya bisa melihat aliran air sungai dari sebelah selatan dan berbelok ke arah timur persis di hadapan rumah kami. Di rumah itulah saya tinggal sejak lahir, menjalani mada kecil hingga remaja, dan kembali ke situ menjelang usia senja. Karena itulah mungkin yang menyebabkan terasa ada ikatan batin dengan rumah dan sungai. Cirasea adalah sungai dimana saya banyak menghabiskan waktu masa kecil dan remaja saya. Tidak heran kalau kemudian saya dan kawan-kawan sepermainan menamakan diri kami sebagai warga perancis, akronim dari peranakan cirasea.
Lewat tulisan ini saya ingin berbagi kenangan saya dalam berinteraksi dengan Cirasea, dan kondisi terkini dari sungai yang bagi saya sangat “ngangeni”.
Teuteuleuman
Bagi sebagian orang mungkin agak susah ya membacanya. Jangan keliru ini bukan bahasa Jerman tapi basa Sunda. Di sebuah tempat di Cirasea sekitar 200m dari rumah ada leuwi (semacam lubuk) yang dikenal dengan nama Leuwi Jengkol. Entah kenapa diberi nama Jengkol, tapi kami lebih sering menyebut tempat itu loa. Karena di leuwi itu ada pohon loa (lo) yang akar-akar besarnya menjulur kuat di bahu sungai. Persis di sekitar pohon loa itulah kami belajar berenang. Ketika berenang tidak pernah terlewatkan teuteuleuman.
Teuleum atau titeuleum dalam basa Sunda berarti tenggelam. Teuleum juga berarti menyelam. Teuteulaman berarti kuat-kuatan menyelam dalam air. Sehabis berenang biasanya saya mengambil beberapa butir buah loa untuk dibawa pulang ke rumah, dibuat rujak atau menjadi lalapan.
Ketika sore hari selepas ngaji sore, pohon loa menjadi spot pavorit untuk nguseup (mancing ikan). Senang rasanya jika nguseup dapat ikan Lele dan ikan paray meski Cuma 1 atau 2 ekor saja. Ikan paray itu mirip ikan mas tapi paling besar hanya sekitar 2 jari orang dewasa. Ikan paray memang banyak terdapat di Cirasea. Barangkali ini yang melatarbelakangi kenapa kota kecamatan kami memiliki nama Ciparay.
Selain nguseup, mancing ikan bisa pula dilakukan dengan cara neger. Ini biasanya dilakukan ketika debit air sungai sedang tinggi. Pada neger senar pancing hanya sekitar 1 meter saja yang diikatkan pada akar pohon yang ada di pinggir sungai. Mancing dengan cara neger tidak ditunggui, tapi ditinggal begitu saja. Ketika setengah atau satu jam kemudian senar pancing ditarik biasanya sudah ada lele yang tersangkut mata pancing kita.
Papalidan
Palid dalam basa Sunda berarti hanyut. Papalidan adalah menghanyutkan diri mengikuti aliran sungai. Semacam rafting di zaman sekarang, tapi hanya menggunakan ban dalam mobil. Untuk keamanan, papalidan hanya bisa dilakukan ketika arus sungai tidak begitu besar. Asyiknya papalidan adalah ketika ban kita saling bersinggungan dengan ban lain sehingga salah satu terpaksa terguling. Atau ketika ban kita menabrak batu besar di tengah sungai.