Mohon tunggu...
Kang Win
Kang Win Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penikmat kebersamaan dan keragaman

Ingin berkontribusi dalam merawat kebersamaan dan keragaman IG : @kangwin225

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Belajar dari Cirasea, Tidak Selalu Pemerintah Itu Buruk

20 Agustus 2020   22:56 Diperbarui: 21 Agustus 2020   09:08 627
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pagar rumah kami hanya terpisah oleh jalan desa selebar 4 meter dari bibir sungai Cirasea. Sungai selebar kurang lebih 15 meter ini berhulu di Gunung Kolotok (2205 mdpl) yang berada di Kecamatan Arjasari Kabupaten Bandung dan bermuara di Sungai Citarum di Kampung Parigi Desa Magung Kecamatan Ciparay Kabupaten Bandung. Panjang sungai dari hulu sampai ke muara hanya 20,7 km.

Cirasea memang bukan sungai besar dan panjang, sehingga hanya ada 2 jembatan besar yang melintang di atasnya, yaitu Jembatan Cirasea Girang di Jalan Raya Pacet dan Jembatan Cirasea Hilir di Jalan Raya Laswi. Rumah tinggal kami terletak persis di ujung utara Jembatan Cirasea Girang.

Dari halaman rumah, saya bisa melihat aliran air sungai dari sebelah selatan dan berbelok ke arah timur persis di hadapan rumah kami. Di rumah itulah saya tinggal sejak lahir, menjalani mada kecil hingga remaja, dan kembali ke situ menjelang usia senja. Karena itulah mungkin yang menyebabkan terasa ada ikatan batin dengan rumah dan sungai. Cirasea adalah sungai dimana saya banyak menghabiskan waktu masa kecil dan remaja saya. Tidak heran kalau kemudian saya dan kawan-kawan sepermainan menamakan diri kami sebagai warga perancis, akronim dari peranakan cirasea.

Lewat tulisan ini saya ingin berbagi kenangan saya dalam berinteraksi dengan Cirasea, dan kondisi terkini dari sungai yang bagi saya sangat “ngangeni”.

Teuteuleuman

Bagi sebagian orang mungkin agak susah ya membacanya. Jangan keliru ini bukan bahasa Jerman tapi basa Sunda. Di sebuah tempat di Cirasea sekitar 200m dari rumah ada leuwi (semacam lubuk) yang dikenal dengan nama Leuwi Jengkol. Entah kenapa diberi nama Jengkol, tapi kami lebih sering menyebut tempat itu loa. Karena di leuwi itu ada pohon loa (lo) yang akar-akar besarnya menjulur kuat di bahu sungai. Persis di sekitar pohon loa itulah kami belajar berenang. Ketika berenang tidak pernah terlewatkan teuteuleuman.

Teuleum atau titeuleum dalam basa Sunda berarti tenggelam. Teuleum juga berarti menyelam. Teuteulaman berarti kuat-kuatan menyelam dalam air.  Sehabis berenang biasanya saya mengambil beberapa butir buah loa untuk dibawa pulang ke rumah, dibuat rujak atau menjadi lalapan.

Ketika sore hari selepas ngaji sore, pohon loa menjadi spot pavorit untuk nguseup (mancing ikan). Senang rasanya jika nguseup dapat ikan Lele dan ikan paray meski Cuma 1 atau 2 ekor saja. Ikan paray itu mirip ikan mas tapi paling besar hanya sekitar 2 jari orang dewasa. Ikan paray memang banyak terdapat di Cirasea. Barangkali ini yang melatarbelakangi  kenapa kota kecamatan kami memiliki nama Ciparay.

Selain nguseup, mancing ikan bisa pula dilakukan dengan cara neger. Ini biasanya dilakukan ketika debit air sungai sedang tinggi. Pada neger senar pancing hanya sekitar 1 meter saja yang diikatkan pada akar pohon yang ada di pinggir sungai. Mancing dengan cara neger tidak ditunggui, tapi ditinggal begitu saja. Ketika setengah atau satu jam kemudian senar pancing ditarik biasanya sudah ada lele yang tersangkut mata pancing kita.

Papalidan

Palid dalam basa Sunda berarti hanyut. Papalidan adalah menghanyutkan diri mengikuti aliran sungai. Semacam rafting di zaman sekarang, tapi hanya menggunakan ban dalam mobil. Untuk keamanan, papalidan hanya bisa dilakukan ketika arus sungai tidak begitu besar.  Asyiknya papalidan adalah ketika ban kita saling bersinggungan dengan ban lain sehingga salah satu terpaksa terguling. Atau ketika ban kita menabrak batu besar di tengah sungai.

Kokombongan

Pada musim kemarau, air sungai biasanya menyusut. Beberapa bagian sungai menjadi kering tidak teraliri air. Pada keadaan seperti ini kegiatan saya di sungai berganti dengan merawat kokombongan yaitu kolam kecil yang dibuat dengan mengepras cadas di bagian tepi sungai dan mengisinya dengan bongkahan akar bambu. Bagian depan dari kokombongan sekitar 30 cm dibiarkan terbuka agar ikan-ikan masuk. Setiap seminggu sekali kokombongan dikuras airnya, pada saat itulah kita bisa mendapatkan ikan-ikan yang terperangkap di dalamnya.

Watervang

Di sungai Cirasea terdapat sebuah watervang atau bendungan yang dibangun untuk mengairi ratusan hektar pesawahan di sebelah barat sungai Citarum. Watervang Cirasea dibangun pada masa pemerintahan kolonial Belanda pada tahun 1929. Ini sesuai dengan prasasti pada bendungan yang berusi 3 baris sebagai berikut :

                    WATERVANG TJIRASEA

                           Voor 3905 Bouws

                                      1929

Watervang Cirasea hanya membendung air sungai untuk dibelokan ke arah saluran irigasi di sebelah barat sungai, sehingga sepanjang waktu air sungai dapat dimanfaatkan untuk mengairi pesawahan. Bendungan juga berfungsi untuk mengalihkan air sungai ke arah saluran irigasi jika sewaktu-waktu debit air sungai cukup tinggi sehingga dapat mencegah tumpahan air yang besar di sepanjang aliran sungai.

Bendungan dibangun dengan kontruksi beton yang bagian permukaannya dipasangi batu ekspose. Terdapat 2 tangga, di kedua sisi arah saluran sekunder menuju bagian atas bendungan. Plat baja dipasang di bagian bawah untuk menahan air dan roda pemutar di bagian atas untuk menaikkan dan menurunkan plat baja penahan air. Di antara plat baja dan roda pemutar terdapat besi ulir yang menjadi penghubung keduanya.

Ketika tahun 2009 saya dan keluarga pulang kampung dan kembali tinggal di rumah tempat masa kecil dan remaja, saya mendapati Cirasea telah berubah. Tidak tampak lagi batu-batu besar di sepanjang aliran sungai dari mulai watervang sanpai ke muara di Citarum. Tidak tampak lagi riak-riak air karena pergerakan ikan-ikan. Tidak ada lagi pohon loa tempat saya nguseup. Pasir berganti lumpur dan batu-batu tak lagi terlihat. Yang ada adalah tumpukan sampah di bibir sungai. Ya beberapa tempat dari bahu sungai telah berubah menjadi tempat pembuangan sampah.

Beruntung ada Program ,. DAS Cirasea merupakan salah satu sub DAS Citarum Hulu. Program Citarum Harum dengan alokasi dana puluhan trilyun rupiah memasukan DAS Cirasea menjadi bagian dari program itu. Kini Cirasea berada di bawah pengawasan dan pengendalian Satgas Citarum Harum Sub Sektor 9-21 Wilayah Ciparay. Dana ratusan milyar dialokasikan untuk memperbaiki DAS Cirasea.

Hal terpenting dari Program Citarum Harum khususnya yang dilakukan oleh Satgas Sub Sektor 9-21 adalah upaya edukasi kepada warga masyarakat di sekitar DAS Cirasea. Upaya persuasif dilakukan terus menerus terkait dengan kebiasaan warga membuang sampah ke sungai. Gerakan gotong royong membersihkan sampai dari aliran sungai rutin dilakukan. Dengan edukasi dan persuasi berbagai komunitas masyarakat ikut terlibat di dalamnya. Pemerintah dan masyarakat bahu membahu memperbaiki Cirasea. Satgas Citarum Harum yang ditukangi oleh TNI yang tegas tapi humanis telah mampu menjadi katalisator partisipasi masyarakat.

Hasilnya sangat menggembirakan. Tempat pembuangan sampah ilegal yang sebelumnya terdapat di banyak tempat sepanjang aliran sungai bagian hilir, kini sudah tidak ada lagi. Kebiasaan membuang sampah dengan menghanyutkannya di Cirasea sudah jauh berkurang. Sebagai contoh kegiatan patroli rutin Satgas Sub Sektor 9-21 pada tanggal 14 Agustus 2020 hanya mengangkat 15 kg sampah dari area pembersihan seluas 80 m2.

Cirasea sudah mulai pulih sebagai sungai yang bersih. Beberapa tahun yang akan datang ikan-ikan akan kembali bisa hidup dan berkembang biak, meski paray sudah terlanjur punah dan lele sudah berganti dengan dumbo. Anak-anak dan remaja, akan bisa lagi bermain air di sungai. Tukang pasir kembali akan bisa mengambil pasir di sungai. Para pemecah batu akan kembali melihat batu-batu besar tumbuh di sungai.

Pulihnya Cirasea memang bukanlah prestasi gemilang yang menjadi perbincangan jutaan orang. Tapi pulihnya Cirasea akan berkontribusi bagi terselamatkannya Citarum yang menjadi sumber air bagi puluhan ribu hektar pesawahan, menjadi sumber air baku bagi kebutuhan air bersih warga DKI Jakarta dan menjadi penyumbang terbesar energi listrik untuk Jaringan Jawa Bali.

Catatan penting dari cerita tentang Cirasea adalah tidak selalu pemerintah itu buruk. Jika mau, pemerintah bisa melakukan apapun untuk kebaikan rakyat. Dan rakyat akan rela melakukan apapun untuk mendukung pemerintah yang memperhatikan kebaikan rakyatnya.

Keberhasilan pemerintah adalah ketika pemerintah mampu meningkatkan peran rakyat dalam pembangunan. Peran itu bisa terwujud ketika rakyat memperoleh edukasi yang memadai bahwa pemerintah tidak bisa melakukan apa-apa tanpa peran rakyat.

< Kang Win, Agustus 21, 2020 >

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun