Mohon tunggu...
Kang Win
Kang Win Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penikmat kebersamaan dan keragaman

Ingin berkontribusi dalam merawat kebersamaan dan keragaman IG : @ujang.ciparay

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Etika Bertelepon dalam Merawat Relasi Persahabatan

20 Juli 2020   19:21 Diperbarui: 21 Juli 2020   15:05 278
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi menelepon. (sumber: pixabay/nicedude)

Dewasa ini etika menjadi sesuatu yang mahal dalam kehidupan masyarakat. Etika tampaknya semakin menjauh dari keseharian kita. Bukan etika yang sengaja menjauhi kita tapi kitalah yang secara sadar atau tidak telah meninggalkan etika jauh di belakang.

Etika tidak hanya ditinggalkan oleh masyarakat umum kebanyakan, tetapi juga oleh mereka yang memiliki tingkat pendidikan yang tinggi. Pada organisasi-organisasi profesi, kode etik hanya dipandang sebagai pajangan. Kata-kata yang ada di dalamnya, tidak lagi menjadi panduan profesionalitasnya tetapi justru seolah menantang untuk dilanggar.

Seorang dokter bisa dengan mudah mengeluarkan surat keterangan yang menguntungkan seseorang yang sedang bermasalah secara hukum. 

Mondar-mandirnya seorang napi tipikor untuk dirawat di sebuah rumah sakit, sering kita saksikan. Bukti bahwa dokter-dokter yang merekomendasikannya, tidak lagi berkaca kepada kode etik yang dipegangnya.

Seorang akuntan, bisa dengan mudah menyembunyikan peristiwa luar biasa dari kliennya yang seharusnya ia "disclosure" dalam opininya.

Etika semakin jauh dari kita. Berpegangan pada etika dianggap sebagai ketertinggalan. Adab sopan santun sebagai bagian dari etika pergaulan masyarakat, terus dikikis hingga habis.

Kebiasaan cium tangan yang dipraktikan oleh sebagian masyarakat kita digugat sebagai bentuk feodalisme. Padahal cium tangan adalah bentuk dari menghormati orang lain. 

Penghormatan seorang anak kepada orang tuanya, penghormatan seorang istri kepada suaminya, atau penghormatan seorang murid kepada gurunya.

Pendek kata, cium tangan adalah bentuk sopan santun kepada orang yang layak untuk dihormati. Tidak ada urusannya dengan feodalisme, juga bukan bentuk penghormatan yang berlebihan.

Etika penting untuk diterapkan dalam praktik pergaulan, khususnya dalam merawat relasi persahabatan. Tentang ini sahabat Kompasianer, Pak Tjipradinata Effendi mengulas dengan lugas dalam artikel beliau yang berjudul:"Panggilan Telepon Tengah Malam".

Dalam artikel tersebut Pak Tjip menggarisbawahi pentingnya etika bertelepon agar relasi persahabatan tetap terjaga.
Dengan memohon ijin beliau saya tulis artikel ini dengan mengambil inspirasi dari tulisan beliau pada artikel itu.

Salah satu episode perjalanan hidup saya dihabiskan di kota Suabaya. Banyak sahabat di kota itu, salah satu seorang dari Etnis Madura. 25 tahun sudah kami bersahabat. 

Setelah saya tidak tinggal di Surabaya, jika sekali waktu saya hadir di kota itu, saya selalu menyisihkan waktu 1 malam menginap di rumahnya. Selepas Isya setelah menikmati hidangan makan malam kesukaan saya yaitu Sop Buntut atau Gule Kikil, maka ngobrol menjadi agenda berikutnya.

Kami biasa ngobrol ngalor ngidul sampai larut malam. Sekitar jam 1 lepas tengah malam, saya biasanya undur diri untuk istirahat, sementara sang tuan rumah melanjutkan begadang sampai subuh. Ia memang terbiasa begadang dan baru selepas subuh ia tidur. Namun jam 8 pagi dia sudah siap menemani saya sarapan.

Di luar pertemuan tatap muka seperti itu, kami biasa berkomunikasi jarak jauh. Tidak sering, 3-4 bulan sekali. Tentu saja kami berkomunikasi di larut malam, selepas tengah malam, menyesuaikan kebiasaan dia begadang. Meski begitu, komunikasi via telepon, selalu kami dahului dengan pesan WA.

Seolah ada kesepakatan tidak tertulis, kami harus saling memastikan sikon dari masing-masing kami memungkinkan untuk ngobrol. Itu yang kami lakukan, kami tidak menganggap kedekatan menjadi alasan untuk berlaku sembarangan. Dengan cara komunikasi seperti itu, kami bisa merawat persahabatan di antara kami.

Ini cerita lain tentang relasi saya dengan 2 orang sahabat. Seorang di Bali, dan seorang yang berasal dari NTT. Kami biasa saling berkirim ucapan selamat pada saat salah satu dari kami merayakan hari besar keagamaan. Kami memang berbeda agama. Saya Muslim, sahabat yang di Bali tentu saja Hindu, sementara yang berasal dari NTT beragama Katolik.

Meski tidak lagi sering bertemu secara pisik, kami biasa saling mengabarkan keadaan masing-masing. Saya sangat senang ketika sahabat yang dari NTT mengabarkan baru pulang dari Spanyol dan pulang membawa patung Bunda Maria ukuran besar yang dibelinya di sana. Sedangkan sahabat di Bali biasa mengabarkan kesibukannya mempersiapkan "upacara".

Kalau sekali waktu, kami memerlukan untuk bicara per telepon, maka kedua sahabat itu selalu berkirim pesan WA terlebih dahulu. Menanyakan apakah saya bisa dihubungi via telepon. Sejatinya untuk menelepon saya mereka bisa telepon kapan saja dan saya akan dengan senang hati mengangkat telepon dari mereka. 

Betapa tidak, meski kami bersahabat, dari status sosial saya berbeda dengan kedua sahabat saya itu. Sahabat yang di Bali adalah salah satu orang penting di Sana, sementara satunya Provinsi Bali, sementara yang satunya adalah salah satu Tokoh Nasional asal Flores NTT. 

Tapi ketokohan mereka berdua tidak menghalanginya untuk menghargai saya yang bukan siapa-siapa. Begitulah, ketika etika menjadi bagian dari keseharian kita, maka keindahan yang nyata bisa kita rasakan. Dengan itu pula kami merawat persahabatan kami hingga bertahan lebih dari seperempat abad.

Meski terlihat sepele, hanya urusan bertelepon, etika menjadi kunci untuk tetap terjalinnya relasi persahabatan. Sebaliknya hal sepele ini bisa menjadi godam perusak persahabatan yang susah payah dibangun.

Benar kata Pak Tjiptadinata Effendi: "Hal yang tampak sepele, tapi bila tidak disikapi dengan bijak, dapat merusak, bahkan memutuskan hubungan persahabatan yang sudah terjalin lama".

Salam hangat
<Kang Win, Juli 20, 2020>

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun