Salah satu episode perjalanan hidup saya dihabiskan di kota Suabaya. Banyak sahabat di kota itu, salah satu seorang dari Etnis Madura. 25 tahun sudah kami bersahabat.Â
Setelah saya tidak tinggal di Surabaya, jika sekali waktu saya hadir di kota itu, saya selalu menyisihkan waktu 1 malam menginap di rumahnya. Selepas Isya setelah menikmati hidangan makan malam kesukaan saya yaitu Sop Buntut atau Gule Kikil, maka ngobrol menjadi agenda berikutnya.
Kami biasa ngobrol ngalor ngidul sampai larut malam. Sekitar jam 1 lepas tengah malam, saya biasanya undur diri untuk istirahat, sementara sang tuan rumah melanjutkan begadang sampai subuh. Ia memang terbiasa begadang dan baru selepas subuh ia tidur. Namun jam 8 pagi dia sudah siap menemani saya sarapan.
Di luar pertemuan tatap muka seperti itu, kami biasa berkomunikasi jarak jauh. Tidak sering, 3-4 bulan sekali. Tentu saja kami berkomunikasi di larut malam, selepas tengah malam, menyesuaikan kebiasaan dia begadang. Meski begitu, komunikasi via telepon, selalu kami dahului dengan pesan WA.
Seolah ada kesepakatan tidak tertulis, kami harus saling memastikan sikon dari masing-masing kami memungkinkan untuk ngobrol. Itu yang kami lakukan, kami tidak menganggap kedekatan menjadi alasan untuk berlaku sembarangan. Dengan cara komunikasi seperti itu, kami bisa merawat persahabatan di antara kami.
Ini cerita lain tentang relasi saya dengan 2 orang sahabat. Seorang di Bali, dan seorang yang berasal dari NTT. Kami biasa saling berkirim ucapan selamat pada saat salah satu dari kami merayakan hari besar keagamaan. Kami memang berbeda agama. Saya Muslim, sahabat yang di Bali tentu saja Hindu, sementara yang berasal dari NTT beragama Katolik.
Meski tidak lagi sering bertemu secara pisik, kami biasa saling mengabarkan keadaan masing-masing. Saya sangat senang ketika sahabat yang dari NTT mengabarkan baru pulang dari Spanyol dan pulang membawa patung Bunda Maria ukuran besar yang dibelinya di sana. Sedangkan sahabat di Bali biasa mengabarkan kesibukannya mempersiapkan "upacara".
Kalau sekali waktu, kami memerlukan untuk bicara per telepon, maka kedua sahabat itu selalu berkirim pesan WA terlebih dahulu. Menanyakan apakah saya bisa dihubungi via telepon. Sejatinya untuk menelepon saya mereka bisa telepon kapan saja dan saya akan dengan senang hati mengangkat telepon dari mereka.Â
Betapa tidak, meski kami bersahabat, dari status sosial saya berbeda dengan kedua sahabat saya itu. Sahabat yang di Bali adalah salah satu orang penting di Sana, sementara satunya Provinsi Bali, sementara yang satunya adalah salah satu Tokoh Nasional asal Flores NTT.Â
Tapi ketokohan mereka berdua tidak menghalanginya untuk menghargai saya yang bukan siapa-siapa. Begitulah, ketika etika menjadi bagian dari keseharian kita, maka keindahan yang nyata bisa kita rasakan. Dengan itu pula kami merawat persahabatan kami hingga bertahan lebih dari seperempat abad.
Meski terlihat sepele, hanya urusan bertelepon, etika menjadi kunci untuk tetap terjalinnya relasi persahabatan. Sebaliknya hal sepele ini bisa menjadi godam perusak persahabatan yang susah payah dibangun.