Dalam artikel itu, I Ketut Suweca menulis sebagai berikut :
“ Saya melihat sejumlah Kompasianer yang ngebut menulis. Mereka menulis dan menulis lagi, rajin sekali. Mungkin memiliki target tertentu dalam sebulan, entah berapa judul yang ingin dihasilkannya ”.
Saya dibuatnya mati kutu. Betul-betul mati kutu. Sederet pertanyaan muncul di pikiran saya. Dimanakah posisi saya berada ? Jangan-jangan saya ada di “hebat sendiri” dan ogah “hebat bersama”. Pertanyaan ini muncul bukan karena saya merasa sudah hebat, tetapi justru sebelum saya menjadi hebat saya harus terlebih dahulu bisa menjawab itu.
Pertanyaan lain, apakah saya termasuk yang dengan penuh semangat menggebu-gebu untuk menulis. Menulis dan menulis lagi, dengan target kuantitatif berapa judul yang dihasilkan dalam sebulan.
Pertanyaan-pertanyaan itu membuat saya mati kutu, seolah kehilangan ide untuk menulis. Dengan susah payah berdarah-darah saya selesaikan artikel “Sekolah Favorit, Ambisi Orangtua Atas Nama Masa Depan Anak”. Artikel itu ditulis dalam suasana batin yang diliputi pertanyaan-pertanyaan di atas. Betul-betul susah payah berdarah-darah. Hasilnya sungguh belepotan. Saya dapat komentar dari Yana Haudy sebagai berikut :
“Aduh jd , inget uwa saya di Tasik kalo ngomong f pasti jd p, pavorit. Khas urang Sunda ya, Pak 😆“
Sebelum saya edit kemudian, saya menulis favorit dengan pavorit
Komentar yang “menyakitkan” hehehe
Itu adalah artikel ke 100 saya tepat 11 minggu berpetualang di Kompasiana. Dan saya memutuskan untuk “hold” dari petualang saya tepat di artikel ke 100 itu.
Saya butuh waktu sejenak untuk merenung dan mereview jejak petualang saya, mungpung belum terlalu banyak artikel yang saya tulis. Mumpung belum terlanjur menjadi “hebat” hahaha.
Selama masa “hold’ itu hanya ada 2 hal yang saya lakukan. Pertama, menjelajah mengunjungi sahabat-sahabat Kompasianer lewat artikel-artikelnya. Kedua, membuka kembali artikel-artikel saya yang sudah tayang di Kompasiana.