Mohon tunggu...
Kang Win
Kang Win Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penikmat kebersamaan dan keragaman

Ingin berkontribusi dalam merawat kebersamaan dan keragaman IG : @ujang.ciparay

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Geliat Kaum Muda dalam Pilkada, Kaderisasi dan Estafet Kepemimpinan

26 Juni 2020   01:23 Diperbarui: 26 Juni 2020   01:16 330
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pencalonan Gibran Rakabuming Raka dalam Pemilukada Kota Solo 2020 menjadi isue yang menarik perhatian kita. Menjadi topik berita utana di media televisi dan media cetak maupun media online. Berbagai analisa dan ulasan di berbagai media dari berbagai sisi dan sudut seolah tak habis-habis untuk ditulis.

Pencalonan Gibran memang sebuah fenomena yang sangat menarik. Setidaknya ada 2 hal besar yang menjadi alasannya. Pertama, dari sisi usia Gibran masih sangat muda dan minim pengalaman politik. Kedua, dan ini menjadi alasan utama, Gibran adalah anak dari Presiden Jokowi.

Saya tidak ingin mengulas lebih jauh tenting keriuhan isue pencalonan Gibran tersebut.

Bagi saya, status Gibran sebagai anak dari Presiden Jokowi adalah sebuah kenyataan yang memang layak untuk diperbincangkan. Tetapi yang menjadi pertanyaan sekarang adalah, jika Gibran bukan anak Presiden Jokowi akankah pencalonan Gibran bisa semenarik ini ? Menjadi topik hangat media pemberitaan dan meriuhkan jagat media sosial ?

Geliat kaum muda dalam pemilukada sebagaimana ditunjukkan oleh Gibran dan beberapa yang lainnya, juga fenomena AHY dalam kepemimpinan partai, harus dibaca sebagai oase dalam kaderisasi dan estafet kepemimpinan politik kita.  

Kepala daerah bukanlah jabatan karir, melainkan jabatan politik. Sebuah jabatan politik hanya lahir dari sistem dan mekanisme politik juga yang tidak akan pernah terputus dengan budaya politik kepartaian. Dan harus diakui kenyataan bahwa kaderisasi dan estafet kepemimpinan politik di negara kita masih belum berjalan mulus.

Kepemimpinan politik kita secara mainstream masih didominasi oleh generasi tua. Sementara kaum muda terus diragukan kesiapannya untuk menerima estafet kepemimpinan. Inilah problema kaderisasi kepemimpinan politik kita

Berbicara kaderisasi kepemimpinan politik sudah barang tentu terkait dengan sumber rekrutmen kader. Dunia politik harus memperluas pandangan terhadap sumber rekrutmen kader. Eksklusifisme atau inklusifisme adalah pilihan sikap dan idealisme kepartaian. Tapi tidak boleh mempersempit sumber rekrutmen kader. Partai harus membuka diri terhadap berbagai sumber yang bisa memperkaya khasanah perpolitikan.

Tapi partai politik sebagai simbol demokrasi negara, tidak bisa berjalan sendiri. Masyarakat punya peran besar untuk menjadikan partai politik bisa bermaslahat bagi bangsa.

Masyarakat tidak boleh apriori terhadap bisnisman yang terjun dalam politik, misalnya. Apa yang salah ketika seorang bisnisman sukses, seorang artis atau seorang dari kalangan “darah biru” partai menjadi kader partai.

Partai politik adalah sebuah keniscayaan karena partai politik adalah representasi dari demokrasi. Partai politiklah yang menjadi pemeran utama dalam proses politik dalam kehidupan bernegara.

Seorang kader politik bisa datang dari mana saja, selama potensial bisa memberikan manfaat untuk partai yang pada gilirannya bermanfaat untuk bangsa dan negara. Itulah yang harus menjadi sudut pandang utama dalam urusan kaderisasi dan estafet kepemimpinan politik.

Sikap apriori harus dijauhkan, agar kaum muda tidak memiliki keraguan untuk berkiprah dalam dunia politik dan kemudian sanggup menerima estafet kepemimpinan.

Sikap apriori  masih melekat erat di tengah-tengah masyarakat. Melihat AHY semata-mata dilihat dari sudut status sebagai anak SBY. Juga melihat Gibran sebagai anak Jokowi.

Masyarakat tidak mau tahu, kenyataan bahwa pangkat mayor yang disandang AHY dalam karir militernya tidak berhubungan erat dengan statusnya sebagai anak SBY. Pada saat dia mencapai pangkat itu, banyak teman seangkatannya mencapai pangkat yang sama. 

Dari sisi intelektualitas, AHY tidak perlu diragukan. Dia bisa meraih 2 gelar master dari 2 perguruan tinggi terkemuka di AS dan 1 gelar master dari salah satu universitas di Singapura. Jika sekarang dinilai belum menunjukkan kapasitas yang mumpuni sebagai Ketua Umum PD, biarlah waktu yang menempa dia sehingga saatnya kelak bisa berkontribusi besar bagi kemaslahatan bangsa dan negara.

Jangan ragukan kaum muda dalam perpolitikan. Karena kita butuh kaum muda untuk merawat keindahan Nusantara dan mengerek kebesaran bangsa dan negara.

Lihatlah Emil Dardak, misalnya. Kinerjanya sebagai Bupati Trenggalek banyak menuai pujian. Atau lihatlah Bima Arya yang sejak muda menjadi kader PAN. Dia mampu menembus dan menduduki lingkaran elit partai dalam usia yang relatif muda. Sebagai Walikota Bogor juga dinilai berhasil.

Emil Dardak, Bima Arya dan beberapa nama lain dari kaum muda, tidak pernah menjadi bahan keriuhan, karena mereka tidak kental sebagai “darah biru” partai. Tidak ada isue politik dinasti untuk mereka.

Darah biru, dunia usaha, perguruan tinggi, LSM, seniman dan budayawan, siapapun termasuk kalangan masyarakat biasa, adalah sumber yang tidak terbatas untuk kaderisasi kepemimpinan. Dari sumber-sumber itulah diharapkan muncul kaum muda yang potensial untuk saatnya menerima estafet kepemimpinan.

Dan alangkah indahnya ketika sebagian dari mereka bisa menerima estafet kepemimpinan dalam rentang usia muda. Muda dalam usia tapi matang dalam kepemimpinan. Semoga ……

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun