Kata wayang dalam Gunung Wayang (2.182 mdpl) bukan berasal dari kata wayang (golek)  yang kita kenal. Wayang berasal dari kata "wa" yang berarti angin lembut dan "hyang" yang berarti Tuhan atau Dewa. Jadi kata wayang yang menjadi nama Gunung Wayang berarti "angin dewata yang lembut" yang mencitrakan keindah-permaian alam yang abadi.
Gn. Wayang sudah dikenal sejak lama, seperti ditulis dalam daun lontar oleh Bujangga Manik, rahib pengelana dari Kerajaan Sunda Lama abad ke 15. Ia menulis "Meuntas aing di Cisanti, sananjak ka Gunung Wayang" (Aku menyebrangi Cisanti mendaki ke Gunung Wayang). Ia mengunjungi Gn Wayang dalam perjalanan pulang setelah ekspedisi suci mengelilingi Pulau Jawa dan Bali.
Dalam sasakala (legenda) Gn Wayang, tersebutlah seorang keturunan ratu bernama Pangeran Jaga Lawang yang kesehariannya bersemedi di Puncak Gn Wayang. Ia mempunyai seorang putri yang cantik tiada tandingannya bernama Putri Langka Ratnaningrum yang segera akan menikah dengan Gagak Taruna, seorang keturunan Kerajaan Galuh.
Pada saatnya waktu pernikahan tiba, Gagak Taruna tidak muncul padahal rombongan pengiring calon pengantin pria itu telah tiba di tempat acara. Gagak Taruna ditemukan tewas mengambang di Cisanti karena tergoda bayangan gadis cantik yang bernama Nyi Kantri Manik, yang sebenarnya sudah meninggal dan kuburannya ada di Cisanti.
Putri Langka Ratnaningrum yang sangat sedih, terus berjalan tak tentu arah sampai pada suatu hutan, air mata darah terus mengalir kemudian membentuk air terjun cibeureum di Gn Bedil. (Beureum artinya merah, cibeureum artinya air merah).
Para nayaga yang masih berharap Pangeran Gagak Taruna datang, tak mau pergi hingga berubah menjadi arca. Tidak heran bila pada malam bulan purnama sering terdengar sayup-sayup suara gamelan. Sedangkan bila terlihat asap mengepul berlapis-lapis, itu artinya keluarga calon pengantin perempuan sedang sibuk memasak.
Dari Gn Wayang inilah awal mula air Citarum berasal, bersih dan suci, seperti nama mata airnya Cisanti, air suci dan mensucikan.
Uraian di atas saya sarikan dari sebuah  Laporan Penelitian yang dibuat oleh T. Bachtiar yang dipublikasikan oleh Balai Besar Wilayah Sungai Citarum (BBWSC), lembaga di bawah Kementrian PUPR. Laporan ini saya dapatkan dari Situs www.citarum.org
Kalau anda mencari jurnal ilmiah yang ditulis dengan gaya yang memikat sehingga enak dibaca, inilah yang anda cari.
Dimulai dari judul laporan, dibuat sangat menarik, puitis. Demikian juga judul bab-bab yang ada di dalamnya. Judul Laporan ini adalah "Citarum Mengalir Sampai Ke Hati". Judul yang indah bukan ?
Mari kita lihat Judul Bab, antara lain "Legenda Sangkuriang, selaras peristiwa alam", "Dari Gunung Wayang, tempat angin dewata berhembus" atau "Tiga Pesona Sang Dewi Alam". Semuanya ada 7 bab dengan judul-judul yang menarik.
Secara keseluruhan Laporan yang terdiri dari 75 halaman isi ini menyajikan profil Citarum dari mulai zaman pra sejarah. Yang menarik dari Laporan ini, selain ditulis dengan gaya bahasa yang enak dibaca, juga menyandingkan data-data ilmiah dengan mitos-mitos, legenda dan sejarah kehidupan masyarakat di sepanjang aliran Citarum. Selain itu, dilengkapi dengan photo-photo yang menarik pula yang dibuat oleh 6 photografer.
Bab 1 dari laporan ini mengulas kata tarum secara luas, baik dalam konteks sebagai penghasil zat pewarna alami (hitam) maupun dalam konteks kehidupan masyarakat di sepanjang aliran Citarum.
Ditulils dalam laporan itu, nama Citarum berasal dari kata Ci dan Tarum. Tarum adalah sejenis tanaman yang menghasilkan zat pewarna alami berwarna hitam, sehingga zaman dahulu banyak digunakan sebagai tinta dalam pembuatan batik. Salah satu jenis dari tarum, yaitu "tarum areuy" sering digunakan oleh orang tua yang menginginkan anaknya memiliki rambut hitam. Caranya dengam membilaskan air remasan tarum areuy ke kepala bayi.
Bab II dan Bab III dari Laporan ini mengulas tentang sejarah terbentuknya Gunung Tangkubanparahu dan Danau. Bandung Purba. Yang menarik ulasan secara ilmiah tentang kedua hal di atas disandingkan dengan Legenda Sangkuring yang dikisahkan marah karena gagal membendung Cirarum untuk digunakan berperahu dengan wanita idamannya yaitu Dayang Sumbi. Karena marah perahu yang sudah dibuatnya ditendang kemudian berubah menjadi Gunung Tangkubanparahu (perahu yang tertelungkup).
Sedangkan permasalahan Citarum saat ini seperti buruknya kualitas air dan bencana banjir yang senantiasa menggenangi kawasan aliran sungai Citarum, serta pesona alamnya khususnya di Bandung dan sekitarnya diulas pada Bab IV dan Bab VI.
Bab V mengulas tentang Gn Wayang dan Situ Cisanti yang menjadi hulu Citarum. Di bab ini diulas secara menarik tenrang Legenda Gn Wayang seperti di awal tulisan ini.
Pada Bab VII diulas tentang kehidupan zaman prasejarah di sepanjang aliran Citarum, termasuk bukti-bukti yang menunjukkan bahwa gajah, badak dan tapir pernah hidup di sepanjang aliran Citarum.
Itulah sekilas tentang Laporan (jurnal) yang berjudul Citarum Mengalir Sampai Ke Hati.
Saya menemukan laporan ini beberapa tahun lalu. Seringkali saya membuka dan membacanya untuk sekedar mengobati kerinduan kepada kampung halaman. Gn Wayang dan Situ Cisanti meski berjarak cukup jauh sekitar 28 km dari kampung saya, tetapi punya arti khusus buat saya. Dari kampung istri saya di Perkebunan Kina Cikembang, Gn Wayang hanya butuh waktu kurang dari 30 menit berjalan kaki untuk menjangkaunya.
Citarum adalah sungai terpanjang di Jawa Barat. Melintasi lima kabupaten, menggenangi 3 waduk raksasa dengan 3 PLTA yang menghasilkan listrik terbesar untuk jaringan Jawa Bali. Dari salah satu waduk buatannya yaitu Jatiluhur, Citarum menjadi pemasok terbesar kebutuhan air bersih warga DKI Jakarta.
Dengan peran strategisnya itu, Citarum dengan berbagai persoalannya menjadi isue strategis nasional. Tahun lalu Presiden Jokowi mencanangkan program penyelamatan Citarum bertajukan "Citarum Harum". Diperkirakan dibutuhkan dana lebih dari 35 trilyun untuk menyelamatkan Citarum. Dana sebesar itu, termasuk bantuan dana hibah dari beberapa lembaga internasional.
Salam hangat
<Kang Win, Juni 19, 2020>
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H