Kemarin 24 Mei 2020 umat Islam merayakan Idul Fitri 1 Syawal 1441 H
Seperti sudah diprediksi jauh-jauh hari, kaum Muslimin merayakan Idul Fitri atau lebaran tahun ini berbeda dengan biasanya, sebagai dampak dari pandemi covid-19.
Dibandingkan dengan  di belahan dunia lainnya, umat Islam di Indonesia paling merasakan akibat pandemi covid-19 ini dalam merayakan  idul Fitri. Hal ini terkait dengan tradisi perayaan Idul Fitri di Indonesia yang jauh berbeda dengan negara lainnya, termasuk dengan negara serumpun seperti Malaysia.
Di Indonesia, tradisi perayaan Idul Fitri jauh lebih semarak dengan melibatkan berbagai aspek kehidupan. Tradisi mudik, misalnya. Mungkin hanya di Indonesia tradisi mudik lebaran yang memiliki tingkat kompleksitas yang sangat tinggi. Tidaklah heran apabila dalam tradisi mudik lebaran, dituntut keterlibatan negara secara penuh. Berbagai unsur pemerintahan termasuk Polri dan TNI dari pusat sampai daerah semua bahu membahu mensukseskan berlangsungnya tradisi ini.
Tahun ini, tradisi mudik tidak bisa terlaksana seperti biasanya. Penyebabnya penerapan PSBB dan larangan mudik terkait dengan pandemic covid-19.Â
Menjelang lebaran tahun ini, kita tidak lagi menyaksikan antrian panjang kendaraan bermotor di ruas-ruas jalan tertentu yang berada di jalur-jalur mudik. Kita tidak lagi melihat semaraknya posko-posko arus mudik. Tidak ada pula program-program liputan khusus arus mudik yang biasanya menghiasi layar kaca dari semua stasiun TV Nasional.
Terlepas dari terjadinya "kebocoran", larangan mudik dan penerapan PSBB telah menjadi pembeda utama suasana lebaran tahun ini.
Lebaran kali ini tidak tampak kemeriahaan dan kecerian lebaran bersama dari sebuah keluarga besar, misalnya. "Rumah Nenek" yang biasanya menjadi pusat keceriaan itu, kini sepi meski hidangan lebaran tetap tersaji.
Sebagian masyarakat mensiasati kondisi ini dengan melakukan lebaran bersama secara virtual. Meski dapat sedikit mengobati "kerinduan" tetap saja tidak melahirkan kemeriahan dan keceriaan yang biasanya diwarnai dengan acara makan bersama yang dihidangkan sang nenek.
Dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia, lebaran memberikan dampak ekonomi yang luar biasa secara nasional. Kalangan perbankan misalnya, harus menyiagakan dana cash yang berlipat-lipat untuk mengantisipasi peningkatan penarikan dana oleh masyarakat.
Perayaan Lebaran juga memberikan "berkah" kepada sektor perdagangan berupa kenaikan omzet yang signifikan. Selain barang-barang kebutuhan "dapur" dan "meja tamu", barang-barang fashion menjadi primadona dalam sektor perdagangan menjelang lebaran.
Lebaran itu identik dengan celana dan baju baru, sarung dan baju takwa baru, sandal san sepatu baru serta baju hijab baru. Juga peci baru, sajadah baru.
Sepertinya tidak afdol jika pergi sholai ied tanpa sarung dan baju takwa baru atau baju hijab baru. Rasanya kurang greget jika acara kunjung mengunjungi tanpa celana dan baju baru. Dan tampak kurang oke jika piknik lebaran tanpa jeans dan T-shirt baru.
Sampai awal-awal tahun 2000-an, kita madih bisa menyaksikan eksisnya penjahit-penjahit rumahan dan kios-kios tailor yang menerima jasa pembuatan celana dan baju baru. Banyak di antara mereka sampai-sampai harus nolak pelanggan karena sudah penuhnya "orderan". Toko-toko kain ramai dipenuhi orang yang belanja bahan celana dan baju.
Dalam belasan tahun belakangan ini, peran mereka pelan-pelan diambil alih oleh departement store dan toko busana muslim sekelas Shafira. Juga oleh toko-toko pakaian yang bermunculan dan kios-kios pakaian di pasar-pasar tradisional. Toko-toko kain pun berubah haluan menjadi toko pakaian.
Mesin-mesin jahit lama masih kelihatan di pojok-pojok tempat parkir. Bukan menerima jasa pembuatan pakaian, tapi hanya rombak levis (memotong dan mengecilkan celana jeans).
Dalam lebaran tahun ini, omzet perdagangan fashion secara nasional dipastikan anjlok secara signifikan. Selain karena penerapan PSBB yang antara lain melarang beroperasinya kawasan-kawasan komersial tertentu, juga diakibatkan oleh anjloknya daya beli masyarakat.Â
Banyak sekali perusahaan yang tidak mampu membayar THR karyawannya. Kalangan UMKM dan sektor informal, apalgi. Mereka bahkan kehilangan usaha yang berakibat kepada hilangnya pendapatan. Barangkali hanya kalangan ASN sajalah yang masih baik-baik saja, THR pun aman-aman saja diterima penuh.
Barangkali inilah pertama kali lebaran di era modern tanpa keceriaan baju baru.
Ini memang fenomena sesaat sebagai dampak dari pandemi covid-19. Tapi kalau boleh berharap, ini bisa menjadi the new normal. Bahwa lebaran tidak harus baju baru. Jika tahun ini kita bisa, kenapa tidak di tahun depan dan tahun-tahun selanjutnya.
Dengan begitu, uang THR yang selama ini dialokasikan dengan cukup besar untuk kebutuhan baju lebaran, dapat direalokasi untuk kebutuhan lain yang lebih urgen. Misalnya untuk cadangan dana pendidikan anak atau untuk dana pemeliharaan keseharan keluarga.
Bukankah yang dianjurkan dikenakan pada saat sholat ied adalah pakaian terbaik yang saat itu dimiliki, bukan baju baru.
Selamat berlebaran 1441 H
Mohon maaf lahir dan batin
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H