Baru sekitar 5 minggu berlalu, ketika induk sepakbola Indonesia, PSSI, memutuskan menghentikan untuk sementara waktu perhelatan Liga 1 dan Liga 2 musim kompetisi 2020. Â
Penghentian ini berkaitan dengan pandemi covid-19 yang melanda negara kita dan negara lain di seluruh dunia. Liga 1 sempat berjalan sampai pekan ketiga, sementara Liga 2 baru pertandingan perdana, ketika keputusan penghentian kompetisi itu diambil oleh PSSI.Â
Baru sekitar lima minggu, tapi terasa lama. Terasa sudah berbulan-bulan.
Saya termasuk penggemar berat sepakbola, meski tidak cukup untuk mengklaim sebagai gila bola. Kalo ditanya pernahkah jadi pemain bola, maka jawabannya, pernah. Meski cuma pemain amatir. Sempat punya klub sepakbola remaja, mainnya tarkam, dan tanpa sepatu, meski sudah pake jersey keren, niru-niru disain jersey timnas beberapa negara lain.
Anak pertama saya, mungkin bisa disebut gila bola. Ketika kami tinggal di Surabaya, sejak kelas 1 SD sudah mengidolakan Persib dan Persebaya. Sempat masuk SSB Dolog Jatim, namun tidak bisa lanjut karena kondisi kesehatannya tidak memungkinkan. Namun kesenangannya kepada sepakbola tidak berhenti. Jika di TV ada live yang menayangkan pertandingan Persib, maka kami semua penghuni rumah diharuskannya mengenakan jersey Persib.
Kecintaannya kepada Persib semakin menjadi-jadi ketika kami "pulkam" ke Bandung. Dia aktif menjadi pengurus komunitas bobotoh Persib. Dan kemanapun Persib main tandang, inginnya dia pergi untuk nonton secara langsung di stadion.
Saya sendiri termasuk jarang hadir di stadion nonton langsung pertandingan. Saya lebih suka nonton live di TV. Bagi saya nonton pertandingan sepakbola, meski hanya nonton di layar kaca, merupakan hiburan tersendiri.
Oh ya, saya termasuk sangat jarang nonton siaran sepakbola luar negeri. Kalaupun nonton hanya sebatas ketika berlangsung event-event tertentu seperti Piala Dunia atau Euro. Boleh dikatakan saya spesialis nonton sepakbola Indonesia.
Bagi saya sepakbola Indonesia lebih menarik daripada liga-liga eropa. Meski secara kualitas, memang tidak bisa dibandingkan. Sepakbola kita jelas kalah jauh dari hampir segala aspek. Mungkin kita hanya menang dari sisi suporter yang rata-rata memiliki fanatisme yang sangat tinggi terhadap klub yang disukainya, meski ini kadang-kadang terlalu berlebihan.
Tapi inilah yang menarik dari sepakbola kita.. keriuhan di luar lapangan hijau jauh lebih seru daripada pertandingannya sendiri.
Penantian kapan bergulirnya kembali musim kompetisi 2020, menjadi penantian yang terasa panjang. Hari-hari menjalani kondisi pandemi covid-19 dengan berbagai kondisi yang menyertainya, WFH, SFH, Jaga Jarak, Di Rumah Aja, PSBb, menjadi benar-benar terasa sunyi. Hari-hari tanpa keriuhan yang terdengar dari stadion, atau dari jalanan menuju stadion. Kita tidak lagi bisa menyaksikan puluhan bis The Jak yang berduyun-duyun menuju kota lain di Jawa Tengah, misalnya. Atau kereta api Surabaya - Bandung disesaki oleh para bonekmania yang ingin mendukung tim kesayangannya bertanding.Â
Keriuhan-keriuhan yang "menghibur" itu kini tidak ada lagi. Untuk sementara waktu, entah berapa bulan lagi, keriuhan itu bisa terdengar lagi. Aaach, dunia memang sepi tanpa sepakbola.
Namun meski stadion tak lagi menyajikan keriuhan, sayup-sayup masih ada terdengar keriuhan. Tentu bukan dari stadion, atau jalanan menuju stadion. Keriuhan yang terdengar justru muncul dari gedung berhawa sejuk, berpendingin ruangan di tengah-tengah panasnya hawa ibu kota.Â
Sekretariat PSSI, ada riak-riak kecil di sana. Riak-riak yang menyertai "kepergian" sang ibu Ratu, Ratu Tisha Destrya, dari kursi Sekertaris Jenderal. Kepergian yang tiba-tiba, terasa menyentak, insan-insan sepakbola terhenyak. Kepergian Kartini Masa Kini yang lulusan ITB dan Program Master FIFA ini, satu minggu menjelang peringatan Hari Kartini, telah disesali banyak pihak.Â
Keriuhan hadir dengan munculnya spekulasi-spekulasi mengenai alasan mundurnya Ratu Tisha Destrya, serta spekulasi atas integritas kepemimpinan Sang Nakhoda Kapal.
Itulah sepakbola Indonesia. Keriuhan bisa datang dari mana saja.Â
Kita tentu sangat berharap pandemi covid-29 segera berakhir. Agar kita bisa kembali terhibur dengan gairah yang dibawa si kulit bundar. Agar kita lebih sering lagi menyaksikan indahnya dua kelompok suporter dari dua tim yang bertanding, saling berbagi tribun mendukung tim kesayangannya masing-masing.Â
Berbagi tribun, adalah keindahan yang sejatinya mulai menjadi warna baru keriuhan sepakbola Indonesia, setelah berpuluh tahun kita merindukannya. Sayang harus terhenti sementara waktu, menunggu berakhirnya pandemi covid-19.
Kebersamaan kita dalam memutus rantai penyebaran virus covid-19, akan mempercepat terwujudnya harapan kita, kembali menjalani hidup normal.
Salam olah raga
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H