Mohon tunggu...
Kang Win
Kang Win Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penikmat kebersamaan dan keragaman

Ingin berkontribusi dalam merawat kebersamaan dan keragaman IG : @ujang.ciparay

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Fanatisme Lintas Kultur a la Sepak Bola

15 April 2020   18:55 Diperbarui: 22 April 2020   06:52 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hingar bingar perhelatan kompetisi Liga 1 baru saja dimulai, ketika wabah korona mulai menyeruak dalan kehidupan masyarakat Indonesia. Tercatat baru menjelang pekan ke 4, perhelatan itu terpaksa harus dihentikan, dengan memunculkan sinyal ketidakpastian mengenai nasib kompetisi ini. Penghentian kompetisi sepakbola yang terjadi tahun ini, tidak hanya dialami Liga di Indonesia tetapi juga oleh hampir seluruh negara di dunia.

Bagi dunia sepakbola Indonesia, penghentian kompetisi di tengah jalan, sejatinya bukanlah hal baru. Setidaknya yang masih bisa diingat adalah tahun 2015.  Pada tahun itu  semua kompetisi (ISL, Divisi Utama, Liga Nusantara) dihentikan akibat konflik antara PSSI dengan Kemenpora yang kemudian berujung jatuhnya sanksi FIFA.

Meski sama-sama dihentikan, suasana yang menyertainya berbeda. Ketika penghentian kompetisi musim 2015, publik masih "dihibur" oleh hingar bingar perseteruan PSSI dengan Kemenpora. Sementara para pemain masih bisa bermain, setidaknya berlatih menjaga kebugaran dan feeling bolanya. Beberapa pemain, beruntung bisa mendapatkan klub di beberapa negara tetangga.

Sedangkan penghentian di musim kompetisi tahun ini, meski masih bersifat sementara, setidaknya sampai tanggal 29 Mei, telah menyebabkan terhentinya seluruh aktifitas. 

Tidak ada lagi latihan bersama, tidak ada lagi pertandingan uji coba. Bahkan untuk sekedar menjaga kebugaran, para pemain hanya bisa berlatih seadanya di rumah masing-masing. 

Publik pun mengalami situasi yang sama, tanpa aktifitas yang berhubungan dengan sepakbola. Tidak ada lagi kerumunan suporter antri masuk stadion. Tidak ada lagi, penggemar yang mengejar pemain idolanya setelah latihan untuk sekedar selfie. Tidak ada lagi Nobar, bahkan untuk sekedar nonton siaran langsung liga-liga Eropa. Semua sunyi, semua terdiam.

Sebagai olah raga yang paling digemari, hiburan masyarakat bernama sepakbola, telah direnggut begitu saja oleh Pandemi Covid-19. Denyut emosi dan nafas kebahagiaan publik, dipaksa berhenti. Hanya harap-harap cemas menjalani ketidakpastian, apakah kompetisi bisa lanjut, ataukah justru berhenti secara permanen.

Bagi publik, sepakbola adalah kerinduan. Sepakbola menumbuhkan rasa memiliki. Rasa memiliki klub pavoritnya, rasa memiliki pemain idolanya. Sedih dan bahagia, senantiasa menyertai naik turunnya prestasi klub pavoritnya, dan naik turunnya performa pemain idolanya.

Sepakbola telah melahirkan fanatisme. Bukan fanatisme kedaerahan yang berhubungan dengan domisili klub. Bukan pula fanatisme golongan, ras ataupun agama.

Paguyuban suporter sepakbola merangkum semua strata. Usia, gender, profesi, status sosial, golongan (afiliasi) politik, agama dan ras. Sepakbola adalah kosmopolitan dan egaliter.

Tengoklah perseteruan antar kelompok suporter dari klub yang berbeda. Perseteruan yang telah turun temurun, dan konon sulit untuk diakhiri, akan serta merta mencair manakala bertemu dengan kepentingan yang sama, kepentingan yang jauh lebih besar daripada sekedar fanatisme klub. Ketika Timnas berlaga, disitulah tampak tidak ada sekat apapun yang menghalangi suporter dengan latar belakang klub yang berbeda.

Bencana banjir awal tahun 2020 di Jakarta dan sekitarnya, menjadi contoh paling aktual tentang keguyuban suporter sepakbola. Publik tidak mudah membayangkan, dua kelompok supoerter yang paling berseteru, bobotoh (Persib) dan The Jak (Persija), bisa bahu membahu membantu korban banjir. Tidak ada sekat, tidak ada gesekan, hanya ada jabat tangan dan rangkulan.

Inilah sepakbola. Tidak ada sekat budaya yang membatasi. Sepakbola adalah lintas kultur. Karena sepakbola adalah kultur itu sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun