Siang itu, kumandang adzan Dzuhur sudah menggema dari toa masjid yang jaraknya hanya selemparan batu dari gedung Imam Nawawi School, sebuah yayasan pendidikan Islam di bilangan Ciomas, Bogor. Beberapa menit setelah kumandang adzan usai, terlihat beberapa staf dan pengajar yayasan keluar dari gedung. Kita akan melihat para pria berjenggot dan bercelana cingkrang, khas penampilan orang-orang yang diasosiasikan dengan muslim salafi.Â
Masjid yang jaraknya selemparan batu dari sekolah salafi itu bukanlah masjid salafi. Itu hanya masjid masyarakat sekitar yang berpaham tarekat. Kenapa saya tahu bahwa itu masjid jamaah tarekat? Tentu saja saya bisa menilai apa aliran seseorang atau sekelompok orang dari kebiasaan dan amaliah mereka. Jamaah masjid tersebut biasanya berdzikir dengan cara dzikir khas jamaah tarekat. Pada mulanya mereka mendaras tahlil dengan tempo yang lambat, kemudian secara ritmis temponya semakin cepat.Â
Para staf pengajar di sekolah Salafi tersebut biasa mendirikan shalat Dzuhur dan shalat Jumat di masjid tersebut terlepas antara DKM dan jamaah memiliki perbedaan mencolok dalam amaliah ibadah. Yang menjadi imam--tentu saja--yang menjadi tuan rumah. Apakah orang-orang salafi boleh shalat di belakang orang non salafi? Tentu saja boleh! Mereka sama-sama Ahlu kiblat yang memiliki hak dan kewajiban yang sama sebagai sesama muslim.Â
Selepas shalat didirikan, ada dua konsentrasi jamaah. Sebagian berdzikir dengan dzikir khas tarekat, sebagian besar memilih berdzikir pelan dengan dzikir yang lebih singkat.Â
Pengalaman tersebut sengaja saya tulis untuk mematahkan stereotip bahwa salafi tidak membolehkan 'jamaahnya' berbaur dengan non salafi.Â
Sebagaimana dimaklumi, selama ini ada yang berpikir bahwa muslim 'aliran' salafi itu muslim yang ekslusif, tidak mampu berbaur dengan sesama muslim lainnya dan anti terhadap bentuk interaksi apa pun dengan muslim non salafi.
Padahal, anggapan itu hanya isapan jempol yang tidak berdasar.Â
Dalam kajian-kajian salafi, seringkali ustadz salafi menganjurkan dan menekankan kami untuk memiliki dan menerapkan adab-adab yang baik terhadap sesama, lebih-lebih terhadap sesama muslim terlepas apa pun manhajnya.Â
Jika tuduhan tidak mampu berbaur itu adalah karena muslim salafi tidak ikut maulidan, tahlilan atau acara-acara semisalnya, maka itu benar adanya. Bukan karena benci, tapi lebih karena urusan prinsipil yang dipegang teguh oleh muslim salafi dalam memahami 'hal-hal baru dalam agama (bid'ah).Â
Tunggu, tidak perlu merasa tersinggung ketika muslim salafi menyebutnya dengan istilah bid'ah. Sama seperti kita sebagai seorang muslim--secara frontal--tidak tersinggung terhadap orang Nasrani yang mengatakan Yesus itu tuhan. Meski hati mengingkari, tapi kita juga memahami bahwa keyakinan bukan hal yang harus dipaksakan. Tidak semua orang harus memiliki keyakinan yang sama dengan kita karena mereka memiliki hak prerogatif soal keyakinan. Entah lintas agama atau lintas Mazhab.Â
Jadi begitulah, kami tidak berbaur dalam hal yang prinsipil karena kami meyakini apa yang kami yakini dan menampakannya sebagai hak keyakinan kami. Tapi tidak semua amaliah sebagai muslim berbeda, bukan? Contohnya dalam perkara shalat, puasa, kurban dan semisalnya. Contoh nyatanya adalah sesederhana urusan shalat yang saya tulis di atas.Â