Masyakarat kita memang terkenal religius. Itu menurut data survey yang diinisiasi oleh Gallup dan dirilis  Pew Research Center pada tahun 2019 silam. Survey tersebut bisa jadi benar, bisa juga salah. Karena faktanya, negara kita justru didapuk sebagai negara dengan judi online tertinggi.Â
Lalu bagaimana mungkin masyarakatnya yang gemar judi online bisa disebut masyakarat religius? Oke, mungkin masyarakat kita tidak terlalu religius, tapi kalau untuk masalah simbol-simbol agama dan tradisi agama, mereka begitu lekat dan akrab. Ada jutaan masjid di negara kita dan ada ribuan tradisi, simbol dan ritual berbasis agama yang menjadi nafas masyarakat kita.
Untuk alasan itulah agama sangat laku 'diperjualbelikan' di negara kita. Mulai dari sinetron-sinetron yang menyisipkan aktor-aktor agamis lengkap dengan ustadz-ustadznya. Bahkan, konon ada ustadz sinetron yang justru jadi ustadz beneran, Â saking seringnya main karakter ustadz di banyak sinetron.Â
Lalu muncul sinetron-sinetron azab yang memperjualbelikan 'ancaman Allah' untuk orang-orang berdosa yang justru terkesan cringe. Dan kemarin, ramai pula orang bicara film-film horror yang selalu memuat unsur-unsur simbol agama semacam mushaf, kyai, mukena dan segala tetek bengeknya. Yang sayangnya, justru kehadiran simbol-simbol agama itu membuat kesakralan agama menjadi ternodai karena menempatkan simbol agama sebagai 'sarang' keberadaan setan.
Well, sebelum masuk ke ranah seni peran dan perfileman, sebenarnya masyakarat kita sudah akrab dengan bisnis agama sejak dahulu. Dimana, unsur dan simbol agama seringkali dijadikan ladang bisnis untuk keuntungan pribadi. Bahkan terkesan memanipulasi umat dengan memakai kedok agama.
Sebagai catatan, tolong bedakan antara memanipulasi agama dengan berbisnis untuk agama demi kemaslahatan ummat. Â Nanti, jika tidak mampu membedakan keduanya bisa jadi kita terjatuh pada sikap mengolok-olok keberadaan insan-insan yang bergerak di ranah pelayanan umat berbasis agama. Semisal, travel umrah, gaji guru agama/ustadz, dan semisalnya. Dua contoh tersebut tentu sah-sah saja, karena ini menyangkut jasa yang secara nalar masuk akal.
Tapi berbicara tentang jasa, ada juga sebagian orang yang berkamuflase menjual jasa atau produk tapi pada faktanya justru menjual agama untuk keuntungan pribadi. Misal, dukun-dukun berjubah kyai. Barangkali, ketika disodorkan kata 'dukun', yang ada di benak kita adalah seorang lelaki paruh baya berkumis tebal, memakai pangsi hitam dan ikat kepala hitam, dengan setangkai keris, secawan air dan kemenyan serta mantra-mantra yang didesiskan.Â
Tapi faktanya, ada pula dukun bersorban, membawa tasbih, berjubah putih dan akrab dengan unsur agama. Ketika mengobati pasien, hakikatnya sama, dia menjual mantra-mantra dalam bentuk isim/rajah, simbol-simbol arab yang tidak dipahami maknanya dan sama-sama bekerjasama dengan setan. Ini tentunya memiliki konsep yang berbeda dengan ruqyah syar'iyyah.
Tapi orang-orang kadung menganggapnya kyai dan berbondong-bondong datang untuk menyembuhkan penyakit atau bahkan meminta mantra pengasihan/pelet atau penglaris. Jika melihat apa yang mereka lakukan, pada hakikat sama-sama dukun.
Kemudian ada pula penipuan memakai istilah-istilah agama. Sebagai contoh adanya investasi syariah yang ternyata bodong dan menipu umat hingga ratusan juta. Ada pula travel umrah yang menggelapkan duit jamaahnya.Â
Mungkin di benak para konsumen terbetik pikiran bahwa tidaklah mungkin orang-orang yang berbisnis 'syariah' bertindak lancung. Padahal, mereka hanyalah orang-orang bermental kriminal yang memanfaatkan simbol dan istilah agama untuk mengelabui orang-orang beragama yang kehilangan daya kritisnya.
Ada yang lebih mengherankan dari itu, di sebuah kampung (di banyak kampung barangkali juga ada) ada seorang kyai yang menjual doa untuk orang-orang yang meninggal dunia. Dia menangguk untung dari kematian manusia. Jika ada keluarga yang meninggal dunia, sang Kyai akan menawarkan paket tahlilan dengan tarif tertentu. Meski perilaku ini jarang terjadi, tapi memang ada dan tidak bisa kita pungkiri.
Para penikmat 'bisnis' agama ini juga bukan dari kalangan rakyat jelata dan para kyai gadungan, para pejabat dan penguasa pun akan ngiler ketika melihat betapa agama bisa dimanipulasi untuk keuntungan-keuntungan pribadi.
Jangan heran jika kamu melihat ada para pejabat, caleg dan calon pemimpin yang mendatangi ulama dan kyai dengan tujuan-tujuan tersembunyi. Ada udang di balik batu, begitulah pepatah bilang. Biasanya, para calon pejabat itu mendatangi kyai yang karismatik dan banyak pengikutnya.Â
Secara lahiriah, mereka datang untuk meminta doa restu. Tapi ada tujuan lain yang lebih urgent daripada sekedar meminta doa. Tujuannya tidak lain dan tidak bukan supaya timbul image bahwa dia dekat dengan ulama. Efeknya, karena lekat dengan ulama, para pengikut, pengagum, murid dan fans kyai tersebut yang jumlahnya ribuan, bahkan jutaan akan dengan sukarela menyumbangkan suara untuk sang politisi culas itu.Â
Analoginya sama seperti beternak lebah. Kita tidak mungkin memindahkan lebah satu persatu ke dalam kotak kayu dimana kita ingin mereka bersarang di sana. Kita hanya perlu mengambil sang ratu dan memindahkannya ke dalam kotak kayu. Hanya dalam beberapa menit saja, satu koloni yang jumlahnya ribuan ekor akan dengan sukarela mengikuti kita. Sungguh sangat mudah, bukan?
Maka tidaklah heran ketika masa pemilu tiba, kita begitu akrab dengan baliho yang menampilkan sang calon presiden atau caleg disandingkan dengan foto kyai yang mereka dekati. 'Kami bersama kyai Fulan. Kami didukung kyai Fulan.' Kurang lebih seperti itulah 'caption' penyertanya.
Bahkan, tak tanggung-tanggung, kyai juga seringkali digandeng untuk menjadi wakil. Dalam perhelatan pertarungan calon presiden misalnya. Pernah ada beberapa presiden/calon presiden yang menggandeng 'kyai' untuk bertarung memperebutkan suara. Para pengamat politik bilang, menggandeng tokoh-tokoh agama sengaja dilakukan untuk mendapatkan simpati dari umat agama mayoritas.
Selain menggandeng kyai, mereka juga biasanya menggandeng ormas Islam yang pengikutnya tentu jauh lebih banyak dari seorang figur. Tak heran jika mereka juga mengunjungi tokoh-tokoh organisasi Islam dengan kedok 'silaturahmi.'
Dan sayangnya, umat Islam dengan kefanatikan yang lumayan tinggi memang terkesan mudah untuk dijadikan alat-alat pemuas mereka yang di atas. Ketika giliran berkuasa, mereka lupa kepada umat yang pernah dengan sukarela menyumbang suara. Bahkan lupa dengan sekeranjang janji-janji yang begitu manis. Saking manisnya, janji-janji itu membuat mabuk pengikutnya sehingga tak mampu berlogika.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H