Setelah melakukan investigasi di beberapa desa di Kabupaten Karawang, tentang berapa besaran uang yang harus dibayarkan sepasang calon pengantin kepada “petugas pencatat nikah” agar mereka bisa mendapatkan status perkawinan yang legal, ditemukan adanya pungutan biaya nikah satu juta hingga satu juta lima ratus ribu rupiah. Dan ini diduga ada pungli yang dilakukan petugas pencatat nikah..
Pasal 2 Undang-undang Nomor1 tahun 1974 mengatakan ;
(1). Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu.
(2). Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Bagi ummat Islam, pernikahan adalah salah satu ibadah yang disyariatkan dengan ketentuan-ketentuan yang jelas pengaturannya. Ada mempelai (calon suami dan calon istri), wali nikah. dua saksi, dan ijab qobul. Bila syarat-syarat tersebut terpenuhi, maka sah perkawinan. Negara hadir dalam peristiwa itu untuk mencatat dalam sistim administrasi kenegaraan yang dibebankan kepada Kementerian Agama. Dengan demikian, negara wajib memberikan sertifikat nikah kepada kedua mempelai sebagai bukti telah dicatatkan. Dan itu kewajiban negara yang harus dilaksanakan aparatnya.
Sejalan dengan perkembangan, untuk melangsungkan pernikahn muncul biaya nikah yang harus dikeluarkan mempelai kepada pegawai pencatat nikah. Berpariasi sesuai dengan kebutuhan. Itu biasanya disampaikan oleh “amil”, untuk biaya itu, biaya ini dan seterusnya, termasuk untuk penghulu yang menikahkan. Dalam masyarakat ketimuran, hal seperti itu dianggap wajar dan tidak bermasalah, ketika masih bisa dijangkau sesuai kemampuan. Tapi ketika “syarat” itu sudah menjadi momok bagi masyarakat kurang mampu, karena mahalnya, karena wajibnya, maka terjadi permasalahan, bahkan menjadi permasalahan serius. Di satu daerah bahkan tidak sedikit orang menghindari pernikahan resmi (tercatat di KUA) hanya karena tidak mampu membayar biaya nikah. Maka muncullah istilah nikah “bawah tangan”, yaitu pernikahan yang tidak didaftarkan ke pemerintah (KUA), meski ketidak mampuan membayar biaya nikah bukanlah satu-satunya penyebab terjadinya nikah bawah tangan.
Dalam kontek itu, pemerintah membuat regulasi pelayanan terhadap pencatatan nikah dengan mengeluarkan peraturan perundang-undangan, terakhir terbitnya ;
- Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2004 Tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Departemen Agama.
- Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2004 Tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Departemen Agama.
- Peraturan Menteri Agama Nomor 46 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak Atas Biaya Nikah atau Rujuk di Luar Kantor Urusan Agama Kecamatan.
- Keputusan Direktur Jendral Bimbingan Masyarakat Islam Nomor DJ.II/748 Tahun 2014 Tentang PETUNJUK TEKNIS PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK ATAS BIAYA NIKAH ATAU RUJUK DI LUAR KANTOR URUSAN AGAMA KECAMATAN.
Di dalamnya memuat spesifik tata cara pembayaran biaya nikah berikut besarannya.
PP 48/2014 pasal 1 menyebutkan ;
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2004 tentang Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Departemen Agama (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 149, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4455) diubah sebagai berikut :
- Ketentuan pasal 6 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut :
(1). Setiap warga negara yang melaksanakan nikah atau rujuk di Kantor Urusan Agama Kecamatan atau di luar Kantor Urusan Agama Kecamatan tidak dikenakan biaya pencatatan nikah atau rujuk.
(2). Dalam hal nikah atau rujuk dilaksanakan di luar Kantor Urusan Agama Kecamatan dikenakan biaya transportasi dan jasa profesi sebagai penerimaan dari Kantor Urusan Agama Kecamatan.
(3) Terhadap warga negara yang tidak mampu secara ekonomi dan/atau korban bencana yang melaksanakan nikah atau rujuk di luar Kantor Urusan Agama Kecamatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dikenakan tarif Rp 0,00 (nol rupiah)
(4) dst.
2. Ketentuan dalam Lampiran Angka II mengenai Penerimaan dari Kantor Urusan Agama Kecamatan diubah sehingga berbunyi sebagai berikut :
Jenis Penerimaan Bukan Pajak
SATUAN
TARIF
(Rp)
PENERIMAAN DARI KANTOR URUSAN AGAMA KECAMATAN
per peristiwa nikah atau rujuk
600.000,00
Kemudian dipertegas pada Peraturan Menteri Agama Nomor 46 Tahun 2014 pada BAB III pasal 9, diperjelas lagi oleh SK Direktur Jendral Bimbingan Masyarakat Islam Nomor DJ.II/748 Tahun 2014 , keduanya menyatakan bahwa biaya nikah di luar Kantor Urusan Agama Kecamatan adalah Rp. 600.000,00 (enam ratus ribu rupiah) dan uang itu disetor di Bank yang ditunjuk atau pada petugas yang ditunjuk di KUA setempat. Bila pernikahan dilakukan di KUA pada jam kerja, sama sekali tidak dipungut biaya alias gratis.
Uang itu masuk Kas Negara (PNBP) melalui Panitia Pengelola PNBP yang kemudian melalui mekanisme yang sudah diatur dibayarkan kembali secara berkala kepada Kepala KUA.
Persoalannya, mengapa di beberapa tempat biaya nikah dimintakan oleh petugas pencatat nikah besarannya tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku ?
Bila Petugas Pencatat Nikah meminta biaya nikah lebih dari enam ratus ribu rupiah, bukankah itu PUNGLI ?
Hallo 193 Hallo 1193
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H